Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Tsamara Amany: Bebas Korupsi Dimulai dari Birokrasi
17 Juli 2017 21:36 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Bukan Tsamara Amany namanya jika tak lantang bersuara--tentang apapun. Dan salah satu hal yang menjadi kekesalannya adalah tentang budaya korupsi yang mencengkeram dan menggurita di Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saat bertandang ke kantor kumparan, selain politik, soal korupsi pulalah yang selalu ia bicarakan. Dan tak lama setelah perbincangan soal korupsi itu, Ketua DPR Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka korupsi dalam kasus e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
KTP elektronik hanya satu contoh dari gunung es kasus-kasus korupsi yang belum juga lenyap dari tanah air. Berikut petikan perbincangan kumparan dengan Tsamara soal korupsi dan politik.
Korupsi bukan cuma masalah sistem. Ini kan juga terkait budaya--budaya memberi sogokan, money politics, pungutan liar, dan semacamnya. Mau dibuat peraturan seketat apapun, ketika menjadi budaya yang mengakar, itu akan terus berlanjut. Nah, bagaimana kita bisa mendekonstruksi budaya korupsi tersebut?
Begini, di Jepang itu, katanya anak-anak sebelum diajari apapun, mereka disuruh belajar antre dulu. Nyela antrean itu disebut korupsi. Nah, yang perlu dibangun itu memang budaya dari anak-anak kita.
ADVERTISEMENT
Dimulai dari kebiasaan-kebiasaan yang paling kecil. Misalnya, gak boleh nyogok ke guru-gurunya supaya dapat nilai bagus. Gak usah pakai grafitifikasi dengan bawain makanan ke gurunya. Budaya-budaya seperti itu penting.
Aku suka banget sama Jepang yang menerapkan budaya mengantre. Itu bisa ditanamkan (di Indonesia). Tapi kalau kita mau bikin budaya-budaya seperti itu, kalau nggak ada penegakan hukum yang kuat, nggak ada efek jera, ya susah.
Di kampusku ada mata kuliah antikorupsi. Itu oke. Kita bisa lihat bagaimana misalnya antikorupsi itu, bagaimana korupsi merajalela, dari hal yang paling kecil.
Yang memang harus dilakukan untuk mengubah budaya ini, kalau anak-anak kita mau diajarin bener kayak gitu nanti, besarnya nanti akan sama-sama lagi (korupsi) kalau birokrasi nggak direformasi.
ADVERTISEMENT
Membangun budaya bebas korupsi salah satunya dimulai dari birokrasi. Nah, kalau birokrasinya ini tidak punya jiwa melayani, itu percuma. Misalnya pelayanan publik, itu harus dipastikan bahwa (petugas) pelayanan publik ini tidak mau menerima uang.
Sehingga kalau ada warga yang mencoba menyogok, bilang saja nggak mau, kan warga diam. Di situ akan ada fungsi edukasi ke warga. Warga jadi berpikir, “Oh berarti kalau misalnya kita sekarang mengurus misalnya izin dan lain-lain itu harus ada sogokan. Karena memang dilarang.”
Reformasi birokrasi ini bisa dilakukan dengan sistem lelang jabatan. Nah, mereka-mereka yang sudah jelas korup, mereka-mereka yang kinerjanya nggak bagus, ya dibuang saja. Sementara yang bagus-bagus, yang muda-muda, yang punya budaya antikorupsi, ya naik.
ADVERTISEMENT
Nah kalau birokratnya baik, pemimpinnya ya terutama harus baik. Birokratnya baik, anak-anaknya akan dididik budaya-budaya antikorupsi. Itu akan berjalan dengan sendirinya.
Tapi kalau anak-anaknya dididik budaya antikorupsi, namun birokratnya masih korup mentalnya, nanti anak-anak itu pas sudah ketemu dunia usaha, masuk jadi PNS, masuk ke politik, ya sama-sama lagi--korupsi.
Jadi budaya dalam pemerintahan itu sangat penting untuk diubah. Budaya-budaya yang terlalu prosedural, banyak-banyakin peraturan, dibelit-belitin untuk (mempersulit) orang. Itu harus diubah. Harus dari situ. Reformasi birokrasi itu sangat penting.
Tapi korupsi itu enggak cuma bicara soal korupsi administratif. Ada juga korupsi politik. Dan di Indonesia, chronic capitalism cukup mengkhawatirkan. Di daerah misalnya, banyak praktik-praktik korupsi yang melibatkan “perselingkuhan” politisi dan korporasi, atau dengan kartel-kartel lokal. Nah, bagaimana generasi muda bisa meleyapkan itu?
ADVERTISEMENT
Itulah. Setiap anak muda di daerah harus menuntut transparansi ke pemerintahnya. Harus jelas, ini era keterbukaan informasi kok. Mungkin aku di Jakarta bisa bilang, “Ya gua tahulah anggaran Jakarta dipakai untuk apa aja, gua bisa lapor nih ke Qlue.”
Tapi orang-orang di daerah bisa nggak ngomong kayak gitu? Lu tahu nggak misalnya Gubernur Riau ngapain saja? Gubernur di daerah-daerah lain yang lebih jauh lagi--Papua, Maluku; ngerti nggak mereka ngapain? Nggak tahu jangan-jangan.
Nah karena itulah harus ada transparansi. Karena kalau nggak ada transparansi, masyarakat juga nggak bisa mengawasi (penggunaan anggaran). Makanya aku berpikir, mungkin Pak Jokowi harus bikin peraturan. Peraturan pemerintah atau misalnya undang-undang yang menyatakan bahwa setiap pemerintahan daerah wajib membuka anggaran untuk siapa saja.
ADVERTISEMENT
Juga wajib memberi tahu kepada masyarakat kalau ada tender dan sebagainya, sehingga masyarakat bisa ikut mengawasi di sana--untuk ikut memastikan dan mempersulit langkah mereka (pejabat berwenang) untuk korup.
Kalau tidak begitu, masyarakat umum kan nggak begitu mengerti (tentang para pejabat mereka). Misal dia (pejabat tertentu) terlihat bekerja dengan baik, lantas mencitrakan diri sebagai seorang pejabat yang merakyat dan religius, tapi ternyata di belakang main sama kartel, sogok-sogokan; apalagi misalnya terkait hutan-hutan yang kebakaran itu. Kita nggak tahu ada permainan apa kan di situ. Kita harus mengerti penegakan hukumnya.
Tapi kita nggak mau terus penegakan hukum tapi nggak ada pencegahan. Nah untuk mencegah, mempersulit langkah orang-orang itu untuk bekerja sama (dengan penjahat) guna menyulitkan hidup masyarakat, perlu transparansi. Karena di situlah partisipasi masyarakat akan masuk.
Bagaimana menjaga idealisme dan integritas kamu supaya cita-cita politik tercapai?
ADVERTISEMENT
Sekarang kan orang banyak memuji dan mengkritik aku. Tapi aku selalu merasa pujian dan kritikan itu kan bukan tujuan. Orang memuji, ya terima kasih. Makasih ya sudah menyemangati, akan dijadikan pegangan. Dan berharap, sangat berharap, tidak mengecewakan pujian, mengecewakan harapan mereka.
Orang yang mengkritik, nge-bully, ya enggak apa-apa, itu konsekuensi. Tapi yang aku inginkan bukan sekadar pujian dan kritik. Bukan sekadar panggung, tapi tujuannya apa.
Nah, kalau tujuannya mau menerapkan pemerintahan yang antikorupsi, menerapkan pemerintahan yang tegas mendukung toleransi, ya ke situ. Jangan terlalu memusingkan semua (pujian dan kritikan) itu.
Dan kenapa yang aku pilih wadah baru, partai politik baru? Karena kalau misalnya aku masuk ke wadah lama, dengan orang-orang lama, bisa jadi aku terkontaminasi. Pada akhirnya aku bisa dipaksa untuk berkompromi, sulit menjaga idealisme.
ADVERTISEMENT
Kepikiran, kalau masuk DPR nih, gw pengen kerja bener, terus dibilang “Eh, ikuti ya kata Ketum kita. Kata Ketua Fraksi lu mesti setuju sama hak angket (KPK).” Ya nggak bisa dong, ini nggak bener nih hak angket. “Kalau nggak bisa, lu gw recall.”
Lalu jadi keluar dari DPR. Waduh, udah susah-sudah cari uang masuk jadi anggota DPR, di-recall lagi. Jadi aku berpikir seperti itu.
Makanya perjuangan aku di partai politik baru, di PSI, nggak setengah-setengah. Kami orang-orang muda, bereksperimen politik gila, bisa kepilih bisa nggak, tapi nggak apa-apa. Lebih baik masuk ke sana membawa perubahan, daripada masuk kehilangan idealisme. Kalau mau masuk di sana ya bawa perubahan.
Kalau misalnya pun rakyat akhirnya tidak menghendaki, at least aku sudah berjuang, udah we give a good fight. Sudah mau mempertahankan idealisme. Di situ saja.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya kalau nanti terpilih jadi anggota DPR, dengan wadah baru, dengan orang-orangnya yang baru, kalau mau ribet sama fraksi lain, kalau ada tekanan dari eksternal, itu lebih mudah (dihadapi).
Yang berat itu kalau tekanan dari internal (partai). Kalau tekanan dari eksternal ya kami rame-rame satu tim, ayo ribut deh bareng-bareng. Itu akan lebih mudah.
Aku selalu bilang juga, mendukung Tsamara itu bukan sekadar memuji. Mendukung harus mengawal, mengkritik kalau misalnya nanti dirasa, “Wah kok kamu udah nggak sama lagi.”
Sampaikan kritiknya, karena kritik-kritik seperti itulah yang nantinya akan mengingatkan kami untuk berpegang teguh sama idealisme. Harus ada yang mengingatkan “Lu udah keluar dari track.” Jadi bagi aku, haters itu kadang bagus, karena kita akan tahu di mana kesalahan kita.
ADVERTISEMENT
Ini kan bukan cuma soal satu tim partai politik. Kamu akan duduk bersama dengan lawan politik, dan lawan politik itu kapanpun bahkan bisa berbalik jadi teman kamu. Karena kamu di dunia politik. Itu bagaimana?
Ya kami bisa berkawan secara politik, kalau misalnya memiliki tujuan yang sama. Misalnya dengan PDIP, dengan Golkar, di Pilkada Jakarta satu tujuan--melawan intoleransi, mengusung orang hebat.
Tapi dalam kasus hak angket, ya mohon maaf, kami bersimpang jalan, tujuan nggak sama. Kalian dukung hak angket, ya bagi kami itu upaya pelemahan KPK. Kami nggak setuju dengan hak angket.
Jadi nggak apa-apa berkawan, asal tujuannya sama. Kalau tujuannya udah nggak sama, misalnya udah minta kami setuju pelemahan KPK, ya nggak bisa kami bergabung.
ADVERTISEMENT
Nggak apa-apa berteman, tapi bukan berarti kami mau menggadaikan nilai-nilai, idealisme, prinsip sebagai partai politik, jika berteman dengan partai baru maupun partai-partai politik yang sudah mapan.