Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Tsamara Amany Bicara Blakblakan di kumparan
17 Juli 2017 16:39 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Tingkah polahnya seperti mahasiswi pada umumnya. Berbusana modis kekinian--kemeja lengan putih bermotif kembang, jeans biru, dan sneakers merah, Tsamara langsung mengeluarkan gadget-nya begitu tiba di kantor kumparan. Ia merekam suasana sekitar untuk diunggah ke InstaStory.
ADVERTISEMENT
Sembari berjalan masuk ke kumparan, ia sesekali melontarkan candaan khas anak muda, semisal tentang skripsi yang tengah ia garap, dan soal kesibukan di kampusnya, Universitas Paramadina.
Mahasiswi semester 6 Program Studi Komunikasi Universitas Paramadina itu tengah jadi sorotan. Saat sebagian mahasiswa lain kuliah sambil kerja, atau kuliah sambil berbisnis, Tsamara memilih jalan berbeda. Ia kuliah sambil mengurusi partai politik.
Untuk pilihannya yang langka itu, mungkin sebagian anak muda heran, atau bahkan menjulurkan lidah: blaah!
Ini karena politik kerap dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan penuh kamuflase. Apa yang dibicarakan politikus kerap tak bisa dipegang. Bisa benar, bisa tidak. Bisa apa adanya, bisa bohong. Yah, macam itulah --dan karena itu pula banyak anak muda antipati kepada politik.
ADVERTISEMENT
Tsamara berbeda. Dia menolak apolitis dan dengan sadar malah menceburkan diri ke dunia politik. Perempuan 21 tahun itu kini menjabat sebagai salah satu Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang diketuai Grace Natalie.
Tsamara berubah serius ketika bicara soal politik. Nada suaranya tegas, gestur tubuhnya mantap.
“Kita punya masalah pemberantasan korupsi dan toleransi. Yang begitu genting adalah korupsi,” ujarnya.
Ia lantas bercerita, setelah adu argumen via Twitter dengan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, ia sempat bertemu langsung dengan yang bersangkutan.
“Kemarin sih ketemu baik. Kan aku nggak ada masalah dengan dia (Fahri) secara personal. Saya kan nggak setuju dengan gagasannya,” ujar Tsamara.
Debat dengan Fahri jadi ujian pertama Tsamara selaku politikus. Ia, yang menentang hak angket KPK oleh DPR, berhadapan dengan Fahri Hamzah yang selama ini memang getol menyuarakan KPK perlu dipantau dan dikontrol.
ADVERTISEMENT
Dalam kacamata Tsamara, Fahri sebagai pengetuk palu pengesahan hak angket, memiliki kecenderungan untuk melemahkan KPK.
Fahri sendiri terkesan memandang Tsamara sebelah mata. Lewat Twitter, ia mencuit, “Selamat datang @TsamaraDKI dalam jagat politik yang kau anggap nista...”
Label anak baru dan anak bau kencur lantas disematkan pada Tsamara--yang bercita-cita menjadi Gubernur DKI Jakarta di masa depan.
Tekanan itu nyatanya tak mengendurkan semangat seorang Tsamara. Setelah memutuskan menempatkan politik sebagai renjana dalam hidupnya, Tsamara menyadari betul segala konsekuensinya.
“Seneng aja ngejalaninnya. Aku nggak pernah merasa capek, (nggak merasa sebagai) beban atau tekanan,” ucapnya.
Tsamara berkata telah sering mengalami perdebatan sengit di berbagai tempat. Ia sadar tak bisa menyenangkan semua pihak, apalagi politisi pastilah memiliki gagasan yang bisa jadi tak disepakati politikus lain.
ADVERTISEMENT
Bahkan, bisa saja sikap politik seorang Tsamara berbeda dengan kawan satu generasinya. Ia berujar, tak bisa merangkul seluruh anak muda yang seangkatan dengannya.
“Setiap anak muda mesti punya sikap politik. Mau bela siapapun ya itu hak pribadi. Anak muda harusnya nggak berdiam diri, tapi harus berbicara,” kata perempuan kelahiran 24 Juni 1996 ini.
Dari mana asal mula kecintaan Tsamara pada politik?
Tsamara bercerita, sejak kecil ia terbiasa mengikuti sepak terjang para tokoh maupun peristiwa politik di Indonesia.
“Dulu aku selalu teriak ‘Gus Dur! Gus Dur!’” kenang Tsamara, yang sedari dulu mengagumi tokoh pluralis Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Kenapa bisa begitu berminat dengan politik? Tsamara pun tak tahu pasti.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, alam politik telah menyedot ketertarikannya amat sangat.
Hingga tahun 2016 ketika Tsamara memperoleh pengalaman langsung di bidang pemerintahan. Ia menjadi staf magang di kantor gubernur DKI Jakarta era kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Pada periode magang empat bulan, Januari-April 2016 itu, Tsamara bertugas membantu Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Tugas utamanya yaitu menyederhanakan perizinan untuk memulai usaha (starting business). Sederhananya: simplifikasi izin usaha.
Sepanjang waktu magangnya itu, ada kepuasan batin yang dirasa Tsamara.
“Kalau jadi staf magang aja kita punya kontribusi seperti ini, bayangin kalau punya jabatan politiknya. Jadi pengambil kepurusan yang kebijakannya bisa dirasakan oleh masyarakat banyak,” pikir Tsamara waktu itu, mulai berniat serius terjun ke politik.
ADVERTISEMENT
Dan akhirnya, lintasan pikir itulah yang kemudian mendorongnya masuk partai. Pada 27 April 2017, Tsamara memutuskan bergabung dengan PSI yang tergolong partai muda.
Partai muda dan Tsamara muda. Mungkin keduanya memang berjodoh.
“Kita gak bisa menafikkan partai politik. Mesti masuk partai politik,” kata Tsamara, penuh keyakinan.
CIta-cita Tsamara di dunia politik begitu tinggi. Seperti kebanyakan orang, ia resah terhadap DPR. Menurutnya, DPR kurang memandang aspirasi rakyat.
“Untuk mengubah Indonesia untuk membikin keputusan yang lebih bermanfaat. Ya harus dibenerin sumber masalahnya, ya DPR itu,” kata Tsamara.
Pada titik ini, Tsamara yakin anak muda bisa jadi jawaban.
“Aku percaya kia (bisa melakukan sesuatu jika) satu fraksi (masuk DPR) rame-rame anak muda semua, dan anak mudanya idealis. Anak muda yang tahu mau apa kalau mereka di DPR.”
ADVERTISEMENT
Tsamara mengajak sebanyak mungkin anakk muda untuk tak takut terjun ke politik dan berani melontarkan gagasan baru. Ia mengajak anak muda untuk tak lelah membaca guna mencari solusi permasalahan yang sedang dihadapi negara.
Segala metode, mulai partisipasi aktif sampai rekomendasi kebijakan bahkan demonstrasi, bisa jadi cara bila mendesak. Namun di atas semua itu, ujar Tsamara, posisi pengambil keputusan akan lebih signifikan.
“Demo hanya akan didengar, bahkan menulis pun kadang-kadang hanya akan didengar. Tapi kalau ada solusi yang kita kirim, kemudian kita terjun dalam organisasi yang nyata, kita betul-betul ingin melakukan perubahan, nah itu (dampaknya) akan jauh berbeda.”
Kehadiran Tsamara dalam percaturan politik perlu disambut baik, meski tak perlu juga dielu-elukan atau bahkan dipandang sebelah mata sementara ia masih berkiprah seumur jagung.
ADVERTISEMENT
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Aire Sudjito, melihat bahwa yang dibutuhkan oleh anak muda seperti Tsamara adalah ruang untuk berkembang.
“Tsamara berupaya untuk menginjeksi energi baru di tengah kelesuan anak muda dalam politik. Ketikaa dulu anak muda dianggap antipati politik, ia justru masuk ke dalamnya.”
Djito, sapaan Arie, melihat bahwa anak muda dalam politik tidak sedikit, namun masalahnya mereka jadi sayap partai tanpa partisipasi aktif. Ini berbeda dengan Tsamara yang menunjukkan wajah lain dalam perpolitikan oleh anak muda.
“Pertama, keberanian dia untuk secara terbuka masuk ke politik elektoral. Kedua, di tengah ketidakpercayaan anak muda pada partai, dia malah masuk politik.”
Di sisi lain, ketika dia secara terbuka menjadi tokoh politik, ia akan menghadapi wajah politik tradisional. Tsamara kini sedang menghadapi konservativisme, yaitu tanda-tanda kekuasaan (dari politikus mapan) merasa terancam kektika ada orang baru dan menjadi ikon baru.
ADVERTISEMENT
Padahal, alih-alih dianggap pembangkang, anak muda seharusnya dirangkul sebagai motor pembaruan. “Itu justru menjawab problem demokrasi di Indonesia yang makin lesu.”
Djito berpendapat, kehadiran Tsamara di dunia politik sejatinya disikapi wajar tanpa nada sumbang berlebihan. Sebab, kelesuan politik Indonesia dalam sejarahnya selalu mampu diobati oleh anak muda.
“Terlebih, saat ini ruang demokrasi memberi kesempatan (kepada siapapun) untuk membentuk diri sebagai subjek. Anak muda dan mahasiswa dalam sejarah politik Indonesai ditempatkan sebagai agen perubahan,” ucap aktivis ‘98 itu.
Peluang dan ruang bagi partisipasi aktif diyakini Djito akan membuat Tsamara tak berhenti pada jargon dan retorika, namun mampu membuktikan diri dan menunjukkan integritas.
Ardhana Pragota, Maria Sattwika Duhita