Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Banyak orang menyambangi Bale Tonggoh Selasar Sunaryo Art Space, Jumat petang (5/7). Muda-mudi hingga lansia, semuanya datang dengan maksud sama, yakni menyaksikan Pameran Tubuh Antroposen, pameran tunggal bagi seniman Asmudjo J. Irianto.
ADVERTISEMENT
Kepada kumparan, pria berambut gondrong itu menjelaskan bahwa Antroposen merupakan terminologi untuk menunjuk era geologi bumi mutakhir. Periodenya sendiri ditandai dengan perilaku manusia yang telah secara signifikan mempengaruhi kondisi ekologi bumi, semisal lewat industrialisasi dan modernisasi.
“Kalau ini berlangsung terus tanpa upaya preventif, ya bumi tidak habitable, tidak bisa didiami. Karena seperti global warming, naiknya permukaan laut itu berefek ke manusia,” katanya soal dampak ekstrim dari perilaku tersebut, Jumat (5/7).
Untuk menyampaikan gagasan tersebut, dia pun memamerkan macam-macam lukisan serta patung-patung tubuh manusia, yang ditafsirkan rusak terdampak krisis ekologi. Mulai dari lukisan alam yang berkarat, tubuh yang mengucurkan oli, hingga ada juga yang tampak mengeluarkan jamur.
Mengenai inspirasi karyanya, Asmudjo mengaku bahwa itu bertolak dari konsep seni rupa kontemporer sendiri, yang menempatkan karya mesti jadi medium refleksi atas kondisi-kondisi kritis yang relevan.
ADVERTISEMENT
“Nah, seni rupa kontemporer itu dianggap penting, kalau dia merefleksikan atau mengkritik kondisi kritis. Apa yang penting? Ya kondisi sosial-budaya, termasuk ekologi. Makannya, kemudian saya ambil situasi kritis itu era antroposen tadi,” ungkapnya.
Sehubung dengan itu, dia berharap karyanya dapat jadi semacam pengingat atas masalah-masalah ekologi yang terjadi. Atau setidaknya, jadi sebuah mekanisme alternatif, untuk memahami masalah lingkungan yang kian menjadi.