Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat (AS) mengambil langkah mengejutkan dengan mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Israel. Presiden Donald Trump mengubah haluan kebijakan AS yang sebelumnya mempertahankan status quo Golan, hanya lewat cuitan pada Kamis (21/3).
ADVERTISEMENT
Gayung bersambut. Tak lama setelah itu, Gedung Putih mengeluarkan pernyataan resmi mengamini apa yang disampaikan oleh Trump di media sosial.
Padahal, langkah AS ini jelas melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB. Salah satunya, Resolusi 242 yang mewajibkan Israel menarik mundur pasukannya dari wilayah pendudukan.
Setelah Perang 6 Hari tahun 1967, Israel memang menduduki sejumlah wilayah seperti Dataran Tinggi Golan (Suriah), Tepi Barat (Palestina), Yerusalem Timur (Palestina), Jalur Gaza (Palestina) dan Semenanjung Sinai (Mesir).
Ada juga Resolusi 497 (1981) yang terang-terangan menyatakan keputusan Israel untuk menerapkan hukum, yurisdiksi, dan pemerintahan di Dataran Tinggi Golan, Suriah, batal demi hukum dan tak punya efek hukum internasional apapun.
Meski kontroversial di mata hukum dan juga bisa memicu bertambah panjangnya masa konflik di Timur Tengah, AS tetap bersikukuh menetapkan pengakuan Dataran Tinggi Golan atas Israel.
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan besar, kenapa AS di era Trump begitu bernyali mengambil langkah tersebut?
ADVERTISEMENT
AS sendiri melihat ada alasan keamanan di balik keputusan itu. Trump mengklaim, pengambilalihan Dataran Tinggi Golan pada 1967 oleh Israel sebagai upaya untuk mempertahankan negara tersebut dari ancaman eksternal.
"Segala kemungkinan perjanjian perdamaian di masa depan di wilayah tersebut harus memperhitungkan kebutuhan Israel untuk melindungi diri dari Suriah dan ancaman regional lainnya," tulis keterangan Gedung Putih, Senin (25/3).
Namun, pengamat menilai keamanan bukan menjadi alasan utama. Kebijakan terbaru Trump ditengarai berkaitan dengan pemilihan umum di Israel yang berlangsung pada 9 April mendatang.
“Adalah keinginan Trump untuk memberi Netanyahu keunggulan dalam dalam kompetisi pemilu,” ujar Aaron David Miller, pakar Timur Tengah di Woodrow Wilson International Center for Scholars dilansir NPR.
Menurut Miller, Trump dan Netanyahu dilanda masalah yang sama dalam politik. Mereka sama-sama menghadapi situasi permusuhan dengan media massa.
Selama ini keduanya diserang dengan berbagai pemberitaan perihal dugaan skandal atau korupsi. Di samping itu, pengakuan Trump atas Golan diduga erat hubungannya dengan pemilu AS tahun depan.
ADVERTISEMENT
“Hal ini juga baik bagi Presiden AS jika ingin mencalonkan lagi pada 2020. Dukungan kuat bagi Israel adalah sebuah kabar baik bagi jutaan pemilih Kristen Evangelis, kalangan konservatif (partai) Republik, dan pemilih, yang meskipun sedikit, dari Yahudi Amerika yang memilih (partai) Demokrat,” kata Miller.
Sejalan dengan analisis Miller, Direktur Indonesian Center for Middle East Studies (ICMES), Dina Y. Sulaeman menjelaskan, ada permasalahan mendasar dalam mendefinisikan kepentingan AS terhadap Israel sejak dahulu kala.
“Kebijakan-kebijakan nasional Amerika (terhadap Israel) seringkali, kalau kita lihat, sebenarnya apa sih kepentingannya buat Amerika? Problemnya adalah karena para elite di Amerika Serikat mendefinisikan kepentingannya Israel itu sebagai kepentingannya Amerika,” terang Dina kepada kumparan (3/4).
Padahal, menurut Dina, permasalahan Dataran Tinggi Golan adalah murni kepentingan Israel. Negara Yahudi itu dinilai punya kepentingan untuk menduduki wilayah tersebut secara permanen karena subur dan merupakan sumber air.
ADVERTISEMENT
AS pun seperti gelap mata akan kepentingannya sendiri. Sejak Israel berdiri, menurut Dina, presiden-presiden AS sebelumnya sudah kadung menganggap bahwa kepentingan Israel adalah kepentingan negara Paman Sam. Menurutnya, hal itu sudah jadi semacam doktrin luar negeri AS terkait Israel.
Terkait alasannya, Dina berpendapat, karena besarnya lobi. Dalam hal ini, lobi kelompok pro-Israel di lingkaran elite AS.
“Jadi misalnya kayak AIPAC (Komite Urusan Umum Amerika-Israel) itu kan organisasi lobi. Itu kan setiap kandidat yang mau ikut pilpres pasti pidato dulu di situ, dengan tujuan apa? Mencari suara. Ya, kandidat presiden akan selalu pidato di manapun tapi salah satu yang wajib didatangi adalah AIPAC,” tambah Dina.
Konsekuensi terhadap Perdamaian
Keputusan AS mengakui Golan sebagai wilayah Israel, tentunya bukan tanpa konsekuensi. Menurut Dina, salah satu efeknya, bisa memperburuk situasi perdamaian di Timur Tengah. Apalagi pada Desember 2017 lalu, Trump membuat keputusan kontroversial serupa dengan mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, AS cenderung meminggirkan salah satu pihak yang berkonflik. Bukan mencari cara yang mengarah pada perundingan.
“Yerusalem yang menurut Resolusi PBB itu kan haknya Palestina, malah diambil seluruhnya oleh Israel. Sekarang Golan juga yang sebenarnya milik Suriah juga (bernasib sama), dan Suriah itu sangat pro Palestina. Itu juga Trump lalu melakukan proklamasi sepihak yang akhirnya memperburuk proses negosiasi antara dua pihak yang bertikai ini,” pungkas Dina.