Tuntutan Mati Heru Hidayat Ditolak Hakim, JAMPidsus Perintahkan JPU Banding

19 Januari 2022 8:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Heru Hidayat (kanan) mendengarkan keterangan saksi pada sidang lanjutan kasus korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/9).  Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Heru Hidayat (kanan) mendengarkan keterangan saksi pada sidang lanjutan kasus korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/9). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPidsus) Febrie Adriansyah meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat mengajukan banding. Hal tersebut merespons vonis nihil yang dijatuhkan majelis hakim kepada Heru Hidayat meski telah dinyatakan bersalah melakukan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT ASABRI serta pencucian uang.
ADVERTISEMENT
Vonis nihil tersebut dijatuhkan karena Heru Hidayat dinilai sudah divonis penjara seumur hidup dalam kasus Jiwasraya. Selain itu, hakim tidak sepakat dengan tuntutan mati dari JPU kepada Heru Hidayat.
"Terhadap putusan majelis hakim tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah memerintahkan penuntut umum untuk segera melakukan upaya perlawanan banding," kata Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer dalam keterangannya, Rabu (19/1).
Ada sejumlah pertimbangan langkah banding ini perlu untuk diambil oleh JPU. Pertama, putusan hakim ini tidak berpihak kepada rasa keadilan di masyarakat. Sebab, kerugian negara yang timbul dalam korupsi Heru Hidayat fantastis.
Leonard merinci, Heru Hidayat menjadi terdakwa di dua kasus yakni Jiwasraya dan ASABRI. Kerugian negara dalam kasus Jiwasraya adalah Rp 16,7 triliun dan dia divonis seumur hidup.
ADVERTISEMENT
Sementara di kasus ASABRI kerugian negara lebih besar yakni Rp 22,78 triliun, tetapi justru divonis nihil.
"Putusan majelis hakim tidak berpihak dan telah mengingkari rasa keadilan masyarakat yang telah ditimbulkan oleh terdakwa dengan kerugian negara yang begitu besar sekitar Rp 39,5 triliun (gabungan), yang seharusnya bisa dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa dan negara," kata Leonard.
"Di mana putusan sebelumnya pada PT Asuransi Jiwasraya, terdakwa divonis pidana penjara seumur hidup sementara dalam perkara PT ASABRI yang menimbulkan kerugian negara yang lebih besar, terdakwa tidak divonis pidana penjara," sambung dia.
Kedua, kata Leonard, apabila Heru mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di kasus Jiwasraya, dan hukumannya dikurangi dari vonis seumur hidup, maka itu akan menjadi kerugian. Sebab, hingga saat ini Heru Hidayat belum mengajukan PK.
ADVERTISEMENT
"Apabila mengajukan Peninjauan Kembali dan terdakwa mendapatkan potongan hukuman, maka terdakwa yang telah merugikan negara sekitar Rp 39,5 triliun akan mendapatkan hukuman yang sangat ringan dan putusan tersebut telah melukai hati masyarakat Indonesia," ucap Leonard.
Hal ini tak terlepas dari vonis nihil yang dijatuhkan hakim kepada Heru Hidayat. Jika hukuman seumur hidup di kasus Jiwasraya dikurangi, maka hukuman itu yang tetap diberlakukan atas dua kasus korupsi. Kejagung juga menilai vonis oleh majelis hakim ini tak konsisten.
"Bahwa pertimbangan hakim dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 16,7 triliun dihukum seumur hidup sedangkan dalam perkara PT ASABRI yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 22,78 triliun tidak dihukum," kata Leonard.
ADVERTISEMENT
"Artinya majelis hakim tidak konsisten dalam pertimbangan hakim terhadap terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi namun tidak diikuti dengan menjatuhkan pidana penjara," pungkas dia.

Vonis Nihil Heru Hidayat

Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya Heru Hidayat (kedua kanan) menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (30/7). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Heru Hidayay terbukti bersalah melakukan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT ASABRI serta pencucian uang. Namun, hakim tidak menjatuhkan hukuman penjara dan denda kepada Heru Hidayat.
Meski demikian, Heru Hidayat dihukum kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp 12,643 triliun dikurangi dengan aset-aset yang sudah disita. Bila tidak dibayar, harta bendanya akan disita untuk membayar uang pengganti tersebut.
Vonis tersebut berbeda dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung yang menuntut agar Heru Hidayat dijatuhi hukuman mati. Hakim tidak mengabulkan tuntutan mati tersebut.
ADVERTISEMENT
Majelis hakim yang terdiri Ignatius Eko Purwanto, Saifuddin Zuhri, Rosmina, Ali Muhtarom, Mulyono Dwi Purwanto menegaskan tidak setuju dengan tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat.
"Majelis hakim tidak sependapat dengan penjatuhan hukuman mati yang dituntut penuntut umum karena penuntut umum telah melanggar azas penuntutan karena menuntut di luar pasal yang didakwakan," kata hakim anggota Ali Muhtarom dikutip dari Antara, Selasa (18/1).
Akan tetapi, hakim menegaskan bahwa dalam perkara ASABRI ini, Heru Hidayat terbukti bersalah dalam dua dakwaan.
Pertama, melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kedua, Pasal 3 UU RI No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
ADVERTISEMENT
Sementara pasal yang mengatur soal pidana mati terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang tidak masuk dalam dakwaan jaksa.
Alasan kedua majelis hakim menolak menjatuhkan hukuman mati adalah bahwa penuntut umum tidak membuktikan kondisi-kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan Heru Hidayat saat melakukan tindak pidana korupsi.
Merujuk pada Pasal a ayat (2) tersebut, ancaman hukuman mati dapat diterapkan dalam keadaan tertentu. Sementara dalam bagian penjelasan, yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
ADVERTISEMENT
"Alasan ketiga, berdasarkan fakta di persidangan terbukti terdakwa melakukan tindak pidana korupsi saat situasi aman. Alasan keempat, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara pengulangan sehingga beralasan untuk mengesampingkan tuntutan hukuman mati," tambah hakim anggota Ali Muhtarom.