Tuntutan Ringan Pelaku Penyiraman Air Keras ke Novel Baswedan

12 Juni 2020 7:09 WIB
Terdakwa kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulett bersiap menjalani sidang dakwaan di PN Jakarta Utara, Kamis (19/3) Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulett bersiap menjalani sidang dakwaan di PN Jakarta Utara, Kamis (19/3) Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
ADVERTISEMENT
Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, memasuki babak baru.
ADVERTISEMENT
Terkini, kedua penyerang Novel yang juga polisi aktif, Brigadir Rahmat Kadir dan Brigadir Ronny Bugis, telah menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Jaksa mengatakan Ronny dan Rahmat terbukti melakukan penganiayaan berat dengan terencana.
Penilaian itu didasarkan pada upaya kedua terdakwa dalam memantau rumah Novel sebelum melancarkan aksinya. Terlebih, Novel mengalami luka berat pada matanya.
Tetapi jaksa hanya menuntut ringan kedua pelaku dengan hukuman masing-masing 1 tahun penjara.
Jaksa menyatakan tuntutan ringan itu lantaran keduanya sudah meminta maaf, menyesal, kooperatif, serta telah mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun.
"Hal-hal yang memberatkan, terdakwa telah menciderai institusi Polri. Hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, mengakui perbuatan, bersikap kooperatif dan mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun," kata jaksa Ahmad Patoni dalam sidang pada Kamis (11/6).
Terdakwa kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan, Ronny Bugis menjalani sidang dakwaan di PN Jakarta Utara, Kamis (19/3). Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Keduanya dinilai terbukti melakukan dakwaan subsider yakni melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
ADVERTISEMENT
"Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan. Tapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja artinya cacat permanen sehingga unsur dakwaan primer tidak terpenuhi," ucap jaksa Patoni.
Tak terima dengan tuntutan ringan tersebut, Novel akhirnya angkat suara. Dia mengaku sudah melihat banyaknya permasalahan sejak persidangan pertama digelar. Novel bahkan merasa malu akibat terus menerus mengkritisi kecacatan yang muncul dalam proses persidangan itu.
Penyidik KPK Novel Baswedan bersaksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (30/4). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
"Dalam sidang ini begitu nekat, permasalahan di semua sisi terjadi dengan terang. Saya sudah tanggapi dengan tidak percaya sejak awal, hingga malu sebenarnya terus mengkritisi kebobrokan ini," ujar Novel.
ADVERTISEMENT
Kebobrokan tersebut, kata Novel, sebagai fakta dari hasil kerja Presiden Jokowi dalam membangun sistem hukum di Indonesia.
"Saya malah melihat bahwa Ini fakta hasil kerja presiden Jokowi dalam membangun hukum selama ini," sindir Novel
"Persekongkolan, kerusakan, dan kebobrokan yang dipertontonkan dengan vulgar menggambarkan bahwa memang sedemikian rusaknya hukum di Indonesia," lanjutnya.
Sementara itu salah satu pengacara Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana, menyebut tuntutan 1 tahun penjara mencerminkan tidak adanya keberpihakan hukum terhadap korban kejahatan.
Ia menilai persidangan seharusnya bisa membuka fakta atas penyerangan Novel. Namun, Tim Advokasi Novel menilai yang mereka dapati adalah penuntutan tak bisa terlepas dari mafia korupsi dan kekerasan.
Kurnia Ramadhana, peneliti ICW di diskusi terkait RUU KPK di kantor ICW, Jakarta, Jumat (20/9/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Sejumlah kejanggalan pun ditemukan Kurnia dan tim advokasi Novel. Kejanggalan pertama, dakwaan jaksa seakan berupaya untuk menafikan fakta kejadian yang sebenarnya. Sebab, jaksa hanya mendakwa terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan.
ADVERTISEMENT
Kejanggalan kedua, kata dia, saksi-saksi yang dianggap penting tidak dihadirkan jaksa di persidangan. Dalam pantauan Tim Advokasi Novel Baswedan, setidaknya terdapat tiga saksi yang semestinya dapat dihadirkan di persidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.
Kejanggalan ketiga adalah jaksa seakan menjadi pembela para terdakwa. Saat pemeriksaan Novel di persidangan, kata Kurnia, pertanyaan yang diajukan jaksa malah seakan menyudutkan Novel.
Penyidik KPK Novel Baswedan (kanan) dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (30/4). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Atas kejanggalan itu, Tim Advokasi Novel Baswedan menyerukan tiga tuntutan yakni:
1. Majelis Hakim tidak larut dalam sandiwara hukum ini dan harus melihat fakta sebenarnya yang menimpa Novel Baswedan.
2. Presiden Joko Widodo untuk membuka tabir sandiwara hukum ini dengan membentuk Tim Pencari Fakta Independen.
3. Komisi Kejaksaan mesti menindaklanjuti temuan ini dengan memeriksa Jaksa Penuntut Umum dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan.
ADVERTISEMENT
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.