UEA Janjikan Pinjaman Rp 15 Triliun untuk Bantu Krisis Ekonomi Pakistan

13 Januari 2023 12:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penduduk lokal mengantre untuk membeli tepung terigu dengan harga yang dikendalikan pemerintah di Islamabad, Pakistan, Selasa (10/1/2023). Foto: Aamir Qureshi/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Penduduk lokal mengantre untuk membeli tepung terigu dengan harga yang dikendalikan pemerintah di Islamabad, Pakistan, Selasa (10/1/2023). Foto: Aamir Qureshi/AFP
ADVERTISEMENT
Uni Emirat Arab (UEA) menjanjikan pinjaman USD 1 miliar (Rp 15 triliun) dan memperpanjang pinjaman USD 2 miliar (Rp 30 triliun) untuk membantu krisis ekonomi Pakistan pada Kamis (12/1).
ADVERTISEMENT
Pengumuman ini muncul usai pembicaraan antara Perdana Menteri Pakistan, Shehbaz Sharif, dan Presiden UEA, Sheikh Mohamed bin Zayed Al Nahyan (MBZ), di Ibu Kota Abu Dhabi.
Ini adalah kunjungan ketiga Sharif sejak menjabat pada April 2022.
"[Sharif dan MBZ] setuju untuk memperdalam kerja sama investasi, mendorong kemitraan dan memungkinkan peluang integrasi investasi antara kedua negara," bunyi pernyataan kantor Sharif, dikutip dari AFP, Jumat (13/1).
Sharif telah bergulat dengan krisis ekonomi sejak mulai menjabat, terutama setelah Menteri Keuangan pertamanya, Miftah Ismail, tiba-tiba mengundurkan diri pada September 2022.
Ismail mengatakan, keputusan untuk menggulirkan dana tersebut adalah berita baik untuk Pakistan.
Seorang wanita membawa sekarung tepung terigu setelah membeli dengan harga yang diatur pemerintah di Islamabad, Pakistan, Selasa (10/1/2023). Foto: Aamir Qureshi/AFP
Selain UEA, Islamabad berusaha mencari bantuan keuangan dari sekutu dekatnya seperti Arab Saudi dan China.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Pakistan juga sedang menegosiasikan tahap pinjaman berikutnya dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Analis pun memandangnya sebagai bantuan yang sangat dibutuhkan negara yang telah melihat cadangan devisa bank sentralnya terkuras hingga kurang dari USD 4,5 miliar (Rp 68 triliun).
Ekonom dari Islamabad, Ammar Habib Khan, menyebut dana tambahan tersebut akan memberikan dukungan yang tepat waktu selama masa genting bagi ekonomi Pakistan.
Sebab, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) menjadi 2 persen pada Rabu (11/1). Situasi ekonomi yang memprihatinkan memaksa pemerintah mengambil langkah ekstrem, seperti menutup mal dan restoran lebih awal.
"Pendanaan ini akan memberikan dukungan kepada Pakistan untuk mengelola impornya. Namun, untuk keluar dari krisis memang membutuhkan lebih banyak suntikan dolar, mengharuskan kelanjutan program IMF," terang Khan.
ADVERTISEMENT
Para pembeli berkerumun di pasar untuk membeli pakaian hangat untuk musim dingin di Lahore, Pakistan. Foto: Arif Ali/AFP
Pakistan sedang berjuang meyakinkan IMF untuk melepaskan pinjaman tahap berikutnya sebesar USD 1,1 miliar (Rp 16,6 triliun) yang telah tertunda akibat kebuntuan sejak September.
Pendanaan ini bergantung pada persetujuan negara atas berbagai kondisi, seperti menaikkan harga energi dan memperluas basis pajak.
Pakistan memasuki program IMF pada 2019.
Tahap terakhir dari dana tersebut yang senilai USD 1,17 miliar (Rp 17,7) mengalir pada Agustus 2022. Beberapa ahli memperingatkan akan ketergantungan negara ini terhadap dana bilateral.
"Ini seperti memberikan uang kepada seorang pecandu narkoba yang berjanji untuk memperbaiki jalannya tetapi kembali meminta lebih banyak uang," papar ekonom dari Karachi yang bekerja di perusahaan riset Collective for Social Science Research, Asad Sayeed.
Anak-anak yang terlantar akibat banjir, menerima bantuan medis saat mengungsi di sebuah sekolah di Karachi, Pakistan, Kamis (22/9/2022). Foto: Akhtar Soomro/Reuters
Arab Saudi mendepositokan USD 3 miliar di Bank Sentral Pakistan pada Oktober 2022. Ada pula laporan bahwa Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MBS), meminta Saudi Fund for Development untuk menambah deposit USD 2 miliar (Rp 30 triliun).
ADVERTISEMENT
Walau begitu, China tetap merupakan pemberi pinjaman terbesar bagi Pakistan. Beijing menggelontorkan USD 30 miliar (Rp 455 triliun), yakni sepertiga dari utang luar negeri Pakistan.
Mengingat kondisi yang diberikan—termasuk pemotongan subsidi yang dapat mendorong kenaikan inflasi—Pakistan enggan menerima program IMF. Kendati demikian, Sayeed meyakini, Pakistan tidak memiliki banyak pilihan selain menyetujui program IMF.
Pengungsi yang terkena dampak banjir berdiri dalam antrean untuk menerima makanan yang didistribusikan oleh Saylani Welfare Trust di sebuah kamp darurat di Sehwan, Sindh, Selasa (13/9/2022). Foto: Husnain Ali/AFP
Dalam setahun ke depan, Pakistan harus membayar kewajiban utang lebih dari USD 20 miliar (Rp 303 triliun). Kesepakatan dengan IMF dapat membantu membuka lebih banyak bantuan bilateral.
Menurut Sayeed, penolakan terhadap program pemberi pinjaman global tersebut akan mengantarkan konsekuensi yang tak terbayangkan. Salah satu risikonya adalah gagal bayar, yang akan menghancurkan perekonomian Pakistan.
"Pihak berwenang harus bertanya pada diri sendiri apakah mereka lebih suka gelombang inflasi besar-besaran melanda populasi, atau mereka ingin negara tidak memiliki bahan bakar atau pulsa atau semua barang yang kita impor," ujar Sayeed.
ADVERTISEMENT
"Ekonomi kami bergantung pada impor dan kehabisan dolar akan menyebabkan situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi kami," pungkasnya.