Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Awal Januari 2023, Ida berbincang dengan teman-temannya, sesama orang tua murid kelas 5 di sebuah SD di Kota Bogor . Mereka mengobrol serius di halaman sekolah, membahas anak-anak mereka yang enam bulan lagi akan naik ke kelas 6—tahun penting untuk menentukan jenjang pendidikan berikutnya lewat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB ) di berbagai jalur, termasuk zonasi .
Ida mengeluhkan kekhawatirannya. Putrinya tampak berpeluang tipis masuk ke SMP negeri. Padahal, sekolah negeri menjadi idaman banyak orang tua, termasuk Ida, karena biayanya yang lebih terjangkau ketimbang sekolah swasta yang tidak mendapat kucuran dana pemerintah.
Ida sebetulnya hendak mendorong anaknya mencoba jalur prestasi rapor untuk masuk ke SMP negeri. Namun, nilai sang putri selama ini bagus standar, bukan bagus luar biasa. Padahal, Ida dengar anak-anak yang punya kans besar lolos di jalur rapor adalah anak-anak berperingkat atas. Jadi, bagus standar saja tak cukup.
Sementara untuk bertarung di jalur zonasi, domisili putri Ida sama sekali tidak menguntungkan. Ia tinggal di tepi Bogor, perbatasan Kota dan Kabupaten Bogor, yang jauh dari zona prioritas SMP-SMP negeri favorit di Bogor.
Tidak ada SMP negeri di kelurahan yang ia tinggali. Dan meski ada SMP negeri di kelurahan tetangga, namun jumlahnya sangat sedikit ketimbang jumlah calon murid yang membeludak di wilayah tersebut.
Bayangkan saja, Kota Bogor memiliki lebih dari 200 SD negeri, namun hanya punya 20 SMP negeri dan 10 SMA negeri di seantero kota. Sungguh perbandingan yang njomplang. Maka, sudah jelas mayoritas lulusan SD negeri tak bakal tertampung di SMP negeri di kota itu.
Beberapa hari setelah obrolan antar-ibu itu, seorang guru mendekati Ida. Dengan halus, ia menawarkan diri untuk membantu Ida. Ia bisa memastikan putri Ida diterima di SMP negeri Kota Bogor tahun depan. Atas jasa “baik” itu, ia mematok tarif Rp 7-8 juta.
Jumlah itu adalah paket lengkap. Ida tinggal santai-santai menunggu anaknya masuk SMP negeri. Semua keperluan sang anak akan diurus oleh guru tersebut, termasuk bila anak Ida perlu pindah KK untuk mengamankan titik koordinat domisili di jalur zonasi.
“Kalau mau dibantu, bilang dari sekarang ya supaya bisa segera diurus. Jangan sungkan-sungkan,” kata Ida menirukan ucapan guru tersebut. Kepada kumparan, Ida meminta namanya disamarkan.
Guru itu tak lain adalah salah satu guru di SD anaknya. Menurut Ida, guru itu punya koneksi di Dinas Kependudukan dan Pencatatan (Dukcapil) Kota Bogor, juga di SMP-SMP negeri di Bogor.
“Hampir di semua sekolah ada oknum guru seperti itu, bukan di sekolah anak saya saja. Calo PPDB biasanya ada di sekolah asal murid (SD/SMP), di Dukcapil, dan di sekolah yang dituju murid (SMP/SMA). Pokoknya jaringan lengkap, paket lengkap,” terang Ida.
Ida mengatakan, tarif yang dipatok oknum guru calo bervariasi. Biasanya, rentang biaya “jasa” untuk masuk SMP negeri adalah Rp 5–15 juta, sedangkan untuk masuk SMA negeri minimal Rp 7 juta sampai belasan juta.
Bila yang ditarget ialah sekolah-sekolah negeri favorit yang masuk top three di Kota Bogor, tarifnya bisa lebih tinggi. Beberapa orang tua yang memasukkan anaknya ke SMP negeri nomor wahid di Bogor, misalnya, merogoh kocek lebih dalam. Bukan cuma Rp 7 juta seperti yang ditawarkan ke Ida.
“Saudara saya titip KK sejak setahun sebelumnya untuk masukkin anak ke SMPN 1, bayar Rp 15 juta,” ujar Anya, seorang warga Bogor. Titip KK yang ia maksud ialah mengeluarkan nama anak dari Kartu Keluarga untuk dititipkan ke KK kerabat atau keluarga lain yang beralamat berbeda—yang tentu lebih dekat ke sekolah incaran.
Sementara Ani, orang tua lain di Bogor, pernah ditawari memasukkan anaknya ke SMA Negeri 1 Bogor dengan tarif Rp 10 juta. Wati, seorang ibu di Depok, juga dikabari kawannya bahwa ia bisa mengamankan kursi untuk putranya di SMA Negeri 1 Depok dengan biaya Rp 30 juta.
Namun, Ani dan Wati tak mengambil tawaran itu. Ani yakin putranya bisa masuk ke SMA favorit dengan kemampuan sendiri.
Terbukti, putra Ani kemudian bisa lolos seleksi jalur prestasi rapor ke ke SMA Negeri 2 Cibinong, salah satu SMA negeri terbaik di Jawa Barat yang belakangan pamornya menyalip SMA Negeri 1 Bogor. Ani pun bersyukur telah memilih untuk tidak memakai jasa calo.
Menurut Ani, praktik percaloan PPDB sudah lumrah terjadi dari tahun ke tahun, bahkan bisa jadi kian “beringas” tiap tahunnya. Tiga tahun lalu saja, 2020, putra Ani tersingkir di jalur zonasi SMP sementara beberapa temannya yang rumahnya lebih jauh justru lolos.
Setelah ia cek, teman-teman anaknya itu rupanya pindah KK untuk mengakali titik koordinat. Ketika itu, meski tak terima, Ani mencoba ikhlas dan memasukkan anaknya ke sekolah swasta.
Ani juga mengamini cerita Ida tentang oknum guru yang ikut berperan dalam jejaring percaloan PPDB. Kawan Ani yang menyekolahkan anaknya di SD swasta favorit Kota Bogor bercerita bahwa ada guru di SD itu yang juga menawari orang tua murid yang berdomisili jauh dari tengah kota untuk memindahkan KK anak.
“Bagi yang mau [curang], diberi tahu strateginya [pindah KK] seperti ini. Dan itu sudah ditawari sejak anaknya masih kelas 5 SD, karena pindah KK amannya minimal setahun sebelum PPDB,” kata Ani.
Namun, bukan berarti KK kurang dari setahun tidak bisa dipakai untuk mendaftar PPDB. Seperti keterangan yang tercantum di situs web PPDB, Kartu Keluarga yang masih baru atau belum setahun dibuat dapat melampirkan surat keterangan dari RT/RW yang menerangkan lamanya domisili sang anak di tempat tersebut.
Anehnya, kepada wali murid peserta PPDB yang jadi korban kecurangan sistem zonasi, Kelurahan Paledang—yang menjadi lokasi SMPN 1 dan SMAN 1 Bogor—mengatakan bahwa pembuatan KK tak lagi membutuhkan rekomendasi RT/RW; bisa langsung datang saja ke Dukcapil.
Hal ini terang membuka celah bagi maraknya modus pindah KK di PPDB jalur zonasi. Kecurangan pun makin merajalela tiap tahun karena panitia PPDB tidak melakukan verifikasi faktual ke lapangan untuk mengecek langsung benar tidaknya domisili para calon murid.
Ida menekankan, tak semua guru berperilaku tak terpuji dan berperan sebagai oknum calo PPDB. Wali kelas anaknya, misalnya, sama sekali tidak pernah menganjurkan cara-cara curang untuk diterima di sekolah negeri favorit.
Pada akhirnya, Ida menolak tawaran memakai jasa “baik” calo untuk memasukkan putrinya ke SMP negeri. Ia merasa hal itu bertentangan dengan hati nuraninya. Ia lebih ikhlas anaknya belajar di sekolah swasta daripada harus masuk SMP negeri dengan cara curang.
Tentu saja tak semua orang tua memilih jalan bebas calo seperti Ida dan Ani. Berdasarkan penelusuran Tim Verifikasi Lapangan PPDB Kota Bogor, misalnya, terdapat sekurang-kurangnya 297 nama calon murid SMP dengan data kependudukan yang tidak sesuai.
Ketidaksesuaian data itu contohnya alamat asli mereka berbeda dengan alamat yang dicantumkan di formulir PPDB. Bahkan, saking sablengnya, ada oknum yang memasukkan nama calon murid ke KK keluarga lain tanpa sepengetahuan keluarga yang “dititipi” tersebut.
Ada pula oknum yang mencuri alamat/titik koordinat keluarga lain sehingga anak dari keluarga tersebut justru tersingkir oleh “pencuri” yang memakai alamatnya.
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menyatakan, mayoritas data yang dimanipulasi ditemukan di SMP-SMP negeri unggulan seperti SMPN 1 Bogor (32%), SMPN 4 Bogor (15%), dan SMPN 5 Bogor (14%).
“Berdasarkan data akhir hasil verifikasi atas 297 nama yang diduga bermasalah, akhirnya 208 orang langsung didiskualifikasi dan dicoret dari daftar calon siswa baru SMPN Kota Bogor,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Bogor Sujatmiko Baliarto, Jumat (14/7).
Bila 208 nama yang dicoret itu menggunakan jasa calo, maka keuntungan yang dikeruk jaringan calo dari mereka sekitar Rp 1,5 miliar. Itu baru 200 anak di jenjang PPDB SMP Bogor. Belum anak-anak lain yang tidak ketahuan; belum yang di jenjang PPDB SMA; dan belum di kota-kota lain.
***
Alin, seorang murid SD yang mendaftar PPDB ke SMP negeri di Bogor, menangis sesenggukan Selasa malam, 11 Juli 2023. Ia duduk di ruang tengah bersama kedua orang tuanya. Mereka tertunduk lesu, dilanda kesedihan.
Alin merasa kecewa karena untuk kedua kalinya tidak lolos PPDB. Pertengahan Juni, ia mencoba mendaftar ke SMP negeri melalui jalur rapor. Alin adalah salah satu murid berprestasi di sekolahnya. Sejak kelas 4 SD, ia selalu menyabet peringkat 1 atau 2 di kelas.
Di kelas 6, ia kembali meraih peringkat 2. Itu sebabnya ia bisa menjajal masuk SMP negeri lewat jalur rapor—yang tahun ini di Kota Bogor hanya dikhususkan bagi peraih peringkat 1 dan 2 saja.
Namun, apa boleh buat, dari 100 anak yang mendaftar via jalur rapor di SMP negeri yang ia tuju, hanya 20 lolos. Otomatis mereka yang terseleksi adalah pemegang peringkat 1 dari berbagai SD di Bogor. Semua murid peringkat 2 tereliminasi.
Ketika itu, Alin belum patah arang. Masih ada jalur zonasi. Setidaknya, rumahnya ada di zona prioritas salah satu SMP negeri. Maka, saat PPDB jalur zonasi dibuka awal Juli, dari dua SMP pilihan yang ia cantumkan di formulir pendaftaran, salah satunya ia pilih yang lebih dekat ke rumahnya, dalam radius 1.000-an meter.
Akan tetapi, saat hari H pengumuman, 11 Juli, nama Alin tak ada di dua sekolah pilihan yang ia tuju. Alin dan ibunya kaget bukan main. Mereka yakin jarak 1.000-an meter setidaknya ada pada rentang aman dari sekolah pilihan kedua.
Terlebih, Wali Kota Bima Arya sejak hari-hari sebelumnya sudah berkoar-koar bakal mencoret calon-calon murid yang curang di PPDB. Nyatanya, hari itu, saat ibu Alin melihat situs web PPDB Kota Bogor, nama-nama anak yang ia tahu mencurangi KK tetap muncul dengan status “diterima”.
Seorang teman menelepon ibu Alin dan berkata, “Alin kegeser sama anak-anak yang orang tuanya curang. Ada beberapa anak kenalanku, satu geng, yang lolos di jarak yang dekat sekali sama SMP itu, padahal rumah mereka enggak di situ.”
Salah satu orang tua yang curang dalam meloloskan anaknya masuk SMP itu adalah aparatur daerah. Ia berdomisili lebih dari 1.500 meter dari SMP tersebut, namun titik koordinat anaknya saat PPDB hanya 300 meter dari sekolah itu.
Ibu Alin dan temannya itu menduga, anak-anak yang orang tuanya curang tapi tetap lolos itu kemungkinan telah pindah KK lebih dari setahun sehingga secara hukum dianggap sah meski realitanya bohong karena si anak tidak menempati alamat di KK tersebut.
Kawan-kawan ibu Alin menyebut cara-cara curang itu sebagai “donasi” untuk calo.
Tetangga Alin yang ikut PPDB SMA, Nolan, hampir bernasib sama. Meski ia juara 1 di SMP-nya, ia tak lolos jalur rapor. Dan ketika mencoba jalur zonasi, ia juga gagal meski rumahnya hanya berjarak 700 meter dari sekolah yang ia tuju.
Nama Nolan (disamarkan) tidak tercantum dalam daftar peserta yang lolos di situs web PPDB Provinsi Jawa Barat. Anehnya, pendaftar yang berjarak lebih jauh darinya, 900 meter dari sekolah terkait, justru diterima.
Alhasil, ibu Nolan buru-buru menyambangi SMA tersebut untuk mengajukan protes. Baru setelahnya, sang putra diloloskan masuk SMA itu.
Ketua DPRD Kota Bogor Atang Trisnanto berpendapat, sistem zonasi dalam PPDB perlu dirombak komposisinya. Menurutnya, zonasi sebaiknya dibuat sebagai porsi pelengkap saja di PPDB, terutama untuk Kota Bogor yang keberadaan sekolah menengah negerinya masih minim dan belum merata.
Untuk itu Atang mendorong Pemkot Bogor untuk segera membangun sekolah-sekolah negeri baru sekaligus memperkuat sekolah swasta berkualitas, agar masyarakat tidak berebut menyekolahkan anaknya sampai-sampai menghalalkan segala cara.
Disdik Kota Bogor pun saat ini tengah memetakan dan menyurvei sekolah-sekolah di Bogor untuk mendirikan SMP dan SMA negeri baru di wilayah mereka.