Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
UGM Bantah Angkat Gubernur BI Jadi Profesor Kehormatan: Kita Fokus Kritik Aturan
15 Februari 2023 21:34 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Mencuatnya penolakan para dosen Universitas Gadjah Mada (UGM ) terkait pemberian honorary professor atau guru besar kehormatan kepada individu yang berasal dari sektor non-akademik, ditengarai karena UGM akan memberikan gelar tersebut ke salah satu pejabat.
ADVERTISEMENT
Muncul satu nama yaitu Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, yang kabarnya akan diangkat sebagi profesor kehormatan. Namun hal itu dibantah rektorat.
Arie mengatakan, UGM justru tengah mengkritisi Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbudristek) Nomor 38 Tahun 2021 Tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi jalur non-akademik.
"Kita lagi fokus mengkaji dan mengkritisi peraturan menteri tentang profesor kehormatan itu," katanya.
Puluhan dosen UGM menulis surat secara bersama-sama untuk menolak pemberian gelar honorary professor atau guru besar kehormatan kepada individu yang berasal dari sektor non-akademik atau pejabat publik. Draf surat penolakan itu muncul di media sosial.
Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof Sigit Riyanto--yang namanya tercantum di draf penolakan tersebut--membocorkan, UGM berencana memberikan jabatan profesor itu ke Gubernur BI.
ADVERTISEMENT
"Awalnya Gub BI. PJ," kata Sigit dikonfirmasi, Rabu (15/2). Belakangan Sigit membenarkan nama yang dimaksud adalah Perry Warjiyo, Gubernur BI saat ini.
Aturan Tentang Pemberian Gelar
Dalam aturannya, peraturan terkait pemberian gelar tersebut, diatur dalam Permendikbudristek Nomor 38 Tahun 2021 Tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi jalur non akademik.
Hal ini berisi sejumlah kriteria sebagai profesor yaitu;
- Memiliki kualifikasi akademik paling rendah doktor, doktor terapan, atau kompetensi yang setara dengan jenjang 9 (sembilan) pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
- Memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa.
- Memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional.
Para dosen mengkritisi persoalan ini karena dinilai diskriminatif. Begitu juga dengan pengangkatan profesor kehormatan yang memuat kepentingan pragmatis individu maupun kelompok.
ADVERTISEMENT
Sigit menilai, mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan, tentu mengkhianati pengorbanan para dosen untuk menjadi guru besar.
"Para dosen di perguruan tinggi harus berjuang keras puluhan tahun untuk mencapai posisi profesor dengan berbagai beban kinerja, belitan regulasi, dan birokrasi. Kebijakan semacam itu dikhawatirkan akan menimbulkan demoralisasi bagi para dosen dan akademisi yang ada di perguruan tinggi," kata Sigit.
Hal ini juga berpengaruh pada pandangan dosen terhadap profesinya. Integritasnya bisa tergerus karena tata kelolanya tak bisa diandalkan. Selain itu, kata Sigit, semangat pengabdian dan dedikasi pada profesi akan merosot.
"Bagi otoritas perguruan tinggi, pengangkatan profesor kehormatan dapat menjadi ujian untuk bersikap antara intelektualitas dan pragmatisme atau private interest. Universitas adalah benteng akal sehat dan keberadaban. Nilai dan tradisi yang dikembangkan adalah pemikiran yang jernih, etis, dan beradab. Pertaruhannya adalah kebenaran, kejujuran, dan kemaslahatan," katanya.
ADVERTISEMENT