Update Inovasi Terkait Teknologi Penanganan Corona dari Menristek

4 Februari 2021 8:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro. Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro. Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
ADVERTISEMENT
Pemerintah terus mengembangkan inovasi produk yang dilakukan peneliti Indonesia di masa pandemi corona. Dari alat pencolok hidung saat swab (flocked swab), GeNose, hingga robot pengganti tenaga kesehatan (nakes).
ADVERTISEMENT
"Yang kelihatannya sepele tapi penting untuk kemampuan untuk buat sendiri adalah flocked swab. Flocked swab adalah yang kita pakai kalau hidung atau ambil spesimen dari nasofaring. Yang awal-awal impor tapi sekarang beberapa perusahaan bekerja sama dengan FT UI berhasil buat flocked swab," kata Menristek Bambang Brodjonegoro dalam rapat dengan Komisi IX DPR, Rabu (3/2).
Lalu ada ventilator, Vent-i dari ITB yang berbasis CPAP (Continuous Positive Airway Pressure). Mereka bekerja sama dengan PT Panasonic Health Care.
"Di mana dengan kerja sama ini maka kapasitas produksinya bisa mencapai lebih dari 3 ribu unit per bulan. Salah satu yang membanggakan karena akhirnya produsen punya standar Jepang bersedia ambil ventilator yang dikembangkan ITB ini untuk menjadi bagian produk mereka," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya ada emergency ventilator yang dikembangkan BPPT dan high flow nasal canula produksi PT Gerlip yang bekerja sama dengan LIPI. Ventilator Indonesia dibanderol sekitar Rp 60 juta, Gerlip Rp 63,25 juta.
Pekerja memeriksa perakitan akhir mesin ventilator portabel bernama Ventilator Indonesia atau Vent-I di PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
"Yang lainnya purifier untuk membantu nakes yang gunakan APD untuk bisa bernapas dan dapatkan udara yang lebih segar bersih. Pengembangan AI untuk mobile lab COVID-19 dan sistem pencitraan medis," jelas dia.
"Kita coba pakai AI dengan menggunakan data X-ray misal paru-paru dengan AI apakah yang bersangkutan kena COVID atau tidak," sambung Bambang.
Produk lainnya adalah robot yang lebih banyak digunakan untuk mengganti kebutuhan nakes. Sehingga perawat dan dokter, misalkan tidak perlu bertemu terlalu sering dengan pasien dan bisa disubstitusi dengan robot.
ADVERTISEMENT

Menristek Akui Pengembangan Vaksin Merah Putih Terlambat

Sementara vaksin Merah Putih yang dikembangan 6 institusi, yaitu Lembaga Eijkman, LIPI, Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Airlangga (Unair), Bambang mengungkapkan rata-rata platform vaksin kemungkinan bisa digunakan atau mendapat izin tahun 2022.
Meski demikian, Bambang memprediksi vaksin yang dikembangkan Unair sebetulnya bisa diproduksi massal akhir 2021. Namun, target itu terkendala proses produksi dari pabrik.
Sebab, industri farmasi BUMN, Bio Farma, baru bisa memproduksi vaksin dengan platform rekombinan dan virus yang dimatikan (inactivated virus). Sedangkan platform vaksin yang dikembangkan Unair adalah adenovirus dan adeno-associated virus (AAV).
"Time table untuk Unair, di mana targetnya akhir 2021, diharapkan sudah bisa diproduksi massal dan dipakai di vaksinasi. Tapi, satu catatan, [asalkan] ada pabrik atau industri yang bisa mengerjakan vaksin dengan platform adenovirus. Karena sampai hari ini, belum ada dengan Bio Farma," ujarnya.
Rancangan roadmap vaksin Merah Putih. Foto: Kemristek/BRIN
Bambang berharap, perusahaan swasta yang sedang mengurus izin ke BPOM untuk mendapatkan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bisa berkonsentrasi untuk memproduksi vaksin platform adenovirus. Hal serupa juga terjadi dengan UI yang mengembangkan vaksin lewat platform DNA MRNA.
ADVERTISEMENT
"Di mana relatif baru, itu pun belum bisa dilakukan Bio Farma, sehingga saat ini UI sedang mencari partner untuk bisa hilirisasi atau pabrik yang bisa melakukan processing untuk pengembangan vaksin. Sehingga mereka rata-rata sudah punya time table, tapi persyaratannya ada pabrik yang sanggup," kata Bambang.
Di sisi lain, Bambang mengakui pengembangan vaksin Merah Putih terlambat. Paling cepat, vaksin Merah Putih baru mendapatkan izin dan diproduksi di 2022.
"Soal vaksin Merah Putih. saya harus ngomong jujur, ini bukan masalah ada yang menghalangi atau nggak. Kebetulan tadi kan bicara saya kan bukan background-nya kedokteran, tapi dari situ saya sadar ketika kemudian bulan Maret rapat pertama konsorsium saya minat Prof Amin Soebandrio dan lembaga eijkman ayo bikin vaksin. Karena itu kan reaksi spontan kalau ada penyakit menular," ungkap Bambang.
Rancangan roadmap vaksin Merah Putih. Foto: Kemristek/BRIN
Mulai Maret 2021, sudah ada upaya memulai riset soal pengembangan bibit vaksin. Tetapi kemudian setelah ia perhatikan dan akui secara jujur, Indonesia ketinggalan mengembangkan vaksin sendiri.
ADVERTISEMENT
"Karena memang teknologi vaksin kita dari hulunya R&D dan hilir di Bio Farma atau pabrik memang ketinggalan. Kalau jujur vaksin yang untuk imunisasi dibuat Bio Farma tapi R&D dilakukan di luar. Bio Farma scale up dari bulk kemudian fill and finish," urai dia.
"Kemudian R&D-nya enggak ada. Saya tanya ke Prof Amin (Eijkman) pernah enggak riset pengembangan bibit vaksin. Ada yang sudah jalan tapi belum ada yang sampai ke pabrikan," imbuhnya.
Tradisi pembuatan vaksin diakui Bambang tertinggal dari negara- negara lain. Bibit vaksin yang sedang dikembangkan Eijkman sebelum COVID-19 misalnya, vaksin untuk DBD, Hepatitis B, dan malaria.
"Kita coba fokus dulu kepada penyakit menular tropis dan itu masih belum sampai kepada level manufacturing. Tahu-tahu harus mendadak buat vaksin COVID. Kalau mau jujur mau mulai dari 0 dengan kemampuan yang masih terbatas," jelas dia.
ADVERTISEMENT

Tingkat Akurasi GeNose Tinggi dan Mampu Deteksi Seseorang yang Baru 2 Hari Terpapar Corona

Sementara terkait GeNose karya UGM, Bambang mengungkapkan hasil tes GeNose tergolong cepat, yaitu kurang dari 3 menit dan bisa digunakan lebih dari 100 ribu kali. Tingkat akurasinya pun cukup tinggi, yaitu 93-95% dengan sensitivitas 89-92% dan spesifitas 95-96%.
Alat skrining ini mendeteksi VOC atau Volatile Organic Compound yang terkandung dalam hembusan napas seseorang. Bambang pun meyakini sensitivitas alat ini baik.
'Dan alat ini mampu mendeteksi seseorang yang baru 2 hari terpapar COVID-19, sedangkan tes PCR atau rapid antigen belum mampu mendeteksi pada periode yang sama," ungkapnya.
Lebih lanjut, alat tersebut akan mulai digunakan di Stasiun Pasar Senen dan Stasiun Tugu Yogyakarta. Penerapan GeNose di 2 stasiun ini akan dimulai pada 5 Februari mendatang.
Pegawai PT KAI (persero) menghembuskan nafasnya pada kantong nafas untuk dites dengan GeNose C19 di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Sabtu (23/1). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
"Dari beberapa percobaan yang saya alami sendiri sampai tadi pagi sama Pak Menhub saksikan uji coba untuk penumpang KA yang berangkat dari Pasar Senen, dan uji coba di stasiun Tugu Yogyakarta, maka biaya terjangkau," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Di Pasar Senen kalau enggak salah penumpang bayar tambahan Rp 20-25 ribu, dibandingkan rapid test antigen 125-130 ribu. Hasilnya cepat di bawah 3 menit dan reabilitasnya tinggi," imbuh dia.
Kata dia, GeNose yang merupakan alat deteksi corona dari embusan napas ini sudah dilakukan uji validasi. Pasien diambil swabnya dan diminta embuskan napas sehingga diketahui konsistensi apakah PCR konsisten dengan hasil GeNose.
"Dan dari uji validasi diketahui sensitivitas dan spesifitas di atas 90 persen. Jadi cukup akurat dan sudah gunakan 2000an sampel. Karena GeNose gunakan RT AI atau machine learning, maka akurasi akan terus membaik seiring dengan pemakaian yang lebih banyak," ungkapnya.

RI Tertinggal dari Singapura soal Whole Genome Sequencing

Lebih lanjut, Bambang mengakui Indonesia tertinggal soal whole genome sequencing virus corona SARS-CoV-2. Khususnya soal antisipasi mutasi virus yang ditemukan di berbagai belahan dunia.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, Indonesia sudah men-submit kira-kira lebih dari 322 genome sequencing. Clade terbesar awalnya adalah L, kemudian ada perubahan dari L, yang paling banyak sekarang jadi GH.
"Dan kalau lihat persebaran WGS kita coba di banyak provinsi meski paling banyak di Pulau Jawa. Target kami tak hanya berhenti di 322, tapi sampai 5.000 whole genome sequencing," ungkap dia.
"Karena Singapura penduduknya cuma 45 juta sudah submit lebih dari 1.000 whole genome sequencing, Indonesia baru 322," imbuhnya.
Menristek Bambang Brodjonegoro di Istana Merdeka, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Ia pun menjelaskan mengapa Indonesia masih sangat sedikit mengurutkan genome. Persoalan biaya juga menjadi krusial.
"Whole genome sequencing itu mahal, artinya melakukan kajian itu mahal sehingga di awal kita lakukan lebih untuk mendukung upaya secara scientific. Setelah kerja sama dengan Kemenkes dijadikan gerakan nasional," jelasnya.
ADVERTISEMENT
"Singapura bisa langsung deteksi mutasi Inggris karena sudah punya whole genome sequencing. Berarti kita juga harus melakukan yang sama," sambung dia.

Penelitian Plasma Darah untuk Pasien Corona

ADVERTISEMENT
Bambang juga mengaku timnya masih terus mengkaji terapi pengobatan pasien corona. Dua di antaranya adalah plasma darah (konvalesen) dan stem cell.
"Kita harapkan dengan big data, dengan Puslitbang Kesehatan, maka kami harapkan bisa terlihat apakah obat tersebut memang efektif dan membantu [pasien corona]. Yang lainnya, stem cell, nanti kami akan bahas lebih lanjut, juga plasma konvalesen. Kami menempuh pendekatan, baik yang sifatnya obat dan terapi, khususnya plasma konvalesen dan stem cell," ujar Bambang.
Bambang pun menyampaikan kabar terbaru mengenai efektivitas terapi stem cell. Berdasarkan penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), terapi mesenchymal stem cell efektif membantu pasien COVID-19 bergejala berat.
ADVERTISEMENT
"Khusus untuk stem cell, ada progress yang cukup menggembirakan, Prof. Ismail dari FKUI berhasil mengembangkan terapi mesenchymal stem cell, yang ternyata dalam uji klinis menunjukkan hasil pasien yang mendapatkan mesenchymal stem cell 2,5 kali lebih mudah sembuh pada kasus COVID-19 berat," tutur Bambang.
Suasana saat donor plasma konvalesen di Unit Tranfusi Darah PMI Surabaya, Jawa Timur, Selasa (26/1). Foto: Zabur Karuru/Antara Foto
Stem cell (sel induk) merupakan bekerja dengan menggantikan semua sel mati di dalam tubuh. Saat ini, terapi mesenchymal stem cell sedang diproses di BPOM untuk mendapatkan izin sebagai terapi ofisial untuk pasien COVID-19.
"Jadi mengganti jaringan paru yang rusak karena COVID-19," kata Bambang.
Adapun terapi konvalesen atau plasma darah sejauh ini efektif membantu pasien corona bergejala sedang menuju berat. Untuk Masyarakat yang sudah sembuh dari corona diimbau untuk mendonorkan plasmanya.
ADVERTISEMENT
"Jadi stem cell ini bermanfaat bagi pasien COVID-19 bergejala berat yang selama ini susah temukan terapinya. Karena plasma konvalesen ternyata lebih efektif untuk sedang ke berat, tapi berat ke kritis stem cell rupanya cukup baik. Dengan uji klinis yang dilakukan hasilnya sangat baik," ungkap Bambang.

Rapid Test Antibodi Akan Dipakai untuk Cek Hasil Vaksinasi

Bambang juga mengungkapkan, nantinya rapid test antibodi tidak menjadi acuan untuk screening atau tes cepat COVID-19. Ke depan, rapid test antibodi akan dipakai untuk mengecek hasil vaksinasi.
"Katakan 2-3 minggu setelah vaksinasi terakhir atau kedua, maka ada baiknya dicek apakah antibodinya muncul. Meskipun rapid test antibodi ini hanya menunjukkan reaktif atau enggak reaktif. Kami juga kembangkan pengujian antibodi atau kadar antibodi untuk dukung vaksinasi," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sementara pengembangan lain yang tengah dikerjakan adalah suplemen kesehatan immunomodulator sebagai suplemen untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Untuk produk ini, Bambang mengungkapkan tidak spesifik untuk COVID-19.
Petugas medis melakukan rapid test antigen kepada penumpang pesawat udara di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (24/12). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
Agar suplemen tersebut spesifik untuk COVID-19, pihaknya kembali melakukan uji klinis terhadap produk suplemen yang telah teregistrasi di BPOM.
"Sudah ada beberapa produk yang uji klinis, di antaranya bekerja sama dengan LIPI, sudah selesai di Wisma Atlet (pada) Agustus kemarin. Namun masih ada kelengkapan data yang terus diminta sehingga sampai Februari ini, kami cek ke BPOM mereka belum bisa berikan keputusan apakah suplemen yang dimaksud spesifik COVID-19," tuturnya.
Bambang juga mengungkapkan ingin mengikuti jejak Thailand yang memiliki suplemen herbal yang spesifik untuk mencegah COVID-19. Ia berharap BPOM dapat segera memberikan keputusan apakah produk yang sedang dilakukan uji klinis bisa untuk pencegahan COVID-19.
ADVERTISEMENT