Urgensi Revisi UU Desa, Gus Halim: Bukan Semata-mata Masa Jabatan Kades

10 April 2023 23:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar. Foto: Kemendes PDTT
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar. Foto: Kemendes PDTT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar (Gus Halim), menegaskan masa jabatan Kepala Desa (Kades) bukan isu utama yang menjadikan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa layak direvisi. Setidaknya ada tujuh alasan kenapa harus dilakukan revisi UU Desa yang telah berusia hampir sepuluh tahun tersebut.
ADVERTISEMENT
“Kebutuhan untuk melakukan revisi Undang-Undang Desa bukan semata-mata terkait dengan aspirasi perpanjangan kepala desa tapi jauh lebih besar, umum, dan rumit dari itu serta strategis. Urusan masa jabatan kepala desa adalah hal yang sangat teknis dan sebagian kecil dari kebutuhan untuk revisi Undang-Undang Nomor 6 2014 tentang Desa,” kata Gus Halim saat menjadi narasumber dalam webinar Urgensi Evaluasi Undang-Undang Desa di Tengah Hiruk Pikuk Pemilu 2024 yang digelar Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) secara virtual, Senin (10/4/2023).
Gus Halim menjelaskan ketujuh hal yang melatarbelakangi urgensi revisi UU Desa antara lain status desa dalam tata kelola pemerintahan NKRI, kewenangan desa dan pemerintah desa dalam mengatur dan mengurus rumah tangga desa dan kepentingan masyarakat desa, alokasi dana pembangunan desa yang bersumber dari APBN.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya status kepala desa dan perangkat desa, operasional pemerintahan desa, kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa, dan arah kebijakan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
“Jadi kalau perpanjangan jabatan kepala desa tersebut hanya sebagai urusan teknis. Bukan faktor utama dalam arah kebijakan pembangunan desa,” katanya.
Gus Halim mengatakan bahwa pemerintah desa perlu ruang yang luas untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan pembangunan di desa. Di antaranya untuk membuat perencanaan dan pemanfaatan dana desa yang menggunakan data terupdate baik daftar potensi maupun masalah desa sebagai dasarnya.
Selain itu, dalam revisi Undang-Undang Desa juga diharapkan dapat mempertajam status kepala desa beserta perangkatnya. Dengan demikian maka kepala desa dapat bergerak lebih luas untuk melakukan komunikasi dengan masyarakat tanpa diganggu oleh hal-hal yang berkaitan dengan administrasi.
ADVERTISEMENT
“Status kepala desa dan perangkat desa ini juga perlu dipertajam lagi dalam revisi Undang-Undang No 6 tahun 2014. Operasional pemerintahan desa ini juga menjadi dinamika tinggi di desa. Kepala desa butuh banyak anggaran untuk melakukan komunikasi, pembinaan masyarakat, dan dana operasional untuk pemerintahan desa,” papar Gus Halim.
“Kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa ini menjadi hal penting untuk mendapat kepastian hukum supaya jelas hak-haknya dan kewajibannya. Keterlibatan masyarakat desa juga butuh porsi yang sangat besar di dalam revisi Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 meskipun keterlibatan desa terus kita coba tingkatkan. Misalnya di dalam Musdes untuk membahas APBDes. Warga kita kasih ruang untuk datang meskipun tidak punya hak berbicara dan hak bersuara,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui, sejak 2023 kepala desa dapat memanfaatkan 3 persen dari total dana desa untuk kebutuhan operasional pemerintah desa. Namun demikian, sistem pertanggungjawabannya masih diupayakan oleh Kemendes PDTT agar berbentuk lumpsum, bukan ad-cost sehingga tidak memberatkan kepala desa.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar. Foto: Kemendes PDTT

Desa Kian Dinamis, Butuh Payung Hukum Lebih Luas

Dia juga menegaskan pemerintah desa perlu payung hukum yang lebih luas untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan pembangunan di desa. Salah satunya kewenangan desa dan pemerintah desa dalam mengatur dan mengurus alokasi dana pembangunan desa yang bersumber dari APBN.
“Jadi kalau perpanjangan jabatan kepala desa tersebut hanya sebagai urusan teknis. Jadi yang terpenting bagaimana UU Desa itu mengatur keleluasaan desa dalam perencanaan dan pemanfaatan dana desa menggunakan data terupdate baik daftar potensi maupun masalah desa sebagai dasarnya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Gus Halim, tujuan utama UU Desa adalah untuk mendorong munculnya prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat, guna mengembangkan potensi dan aset desa, untuk tujuan mewujudkan kesejahteraan bersama. Namun dalam UU Desa tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai jenis kewenangan yang ditugaskan dan skema pembiayaan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Dan akhirnya lanjut Gus Halim, kewenangan desa kembali ditentukan oleh pemerintah pusat dan cenderung terjadi penyeragaman, sehingga desa tidak cukup leluasa dalam menentukan kewenangannya. Oleh sebab itu, revisi UU Desa ini sangat strategis untuk pemberdayaan desa.
“Kebutuhan untuk melakukan revisi Undang-Undang Desa bukan semata-mata terkait dengan aspirasi perpanjangan kepala desa tapi jauh lebih besar, umum, dan rumit dari itu serta strategis,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dalam revisi UU Desa juga diharapkan dapat mempertajam status kepala desa beserta perangkatnya. Dengan demikian maka kepala desa dapat bergerak lebih luas untuk melakukan komunikasi dengan masyarakat tanpa diganggu oleh hal-hal yang berkaitan dengan administrasi.
“Status kepala desa dan perangkat desa ini juga perlu dipertajam lagi dalam revisi Undang-Undang No 6 tahun 2014. Operasional pemerintahan desa ini juga menjadi dinamika tinggi di desa. Kepala desa butuh banyak anggaran untuk melakukan komunikasi, pembinaan masyarakat, dan dana operasional untuk pemerintahan desa,” papar Gus Halim.
Sebagaimana diketahui, sejak 2023 kepala desa dapat memanfaatkan 3 persen dari total dana desa untuk kebutuhan operasional pemerintah desa. Namun demikian, sistem pertanggungjawabannya masih diupayakan oleh Kemendes PDTT agar berbentuk lumpsum, bukan ad-cost sehingga tidak memberatkan kepala desa.
ADVERTISEMENT