Usai Banjir, RS di Pakistan Kewalahan Tangani Pasien Malaria hingga Diare

3 Oktober 2022 10:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang wanita pengungsi Rehmat Khatoon merawat suaminya yang sakit Mehdi Hassan (65) saat mengungsi di sebuah sekolah di Karachi, Pakistan, Kamis (22/9/2022). Foto: Akhtar Soomro/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Seorang wanita pengungsi Rehmat Khatoon merawat suaminya yang sakit Mehdi Hassan (65) saat mengungsi di sebuah sekolah di Karachi, Pakistan, Kamis (22/9/2022). Foto: Akhtar Soomro/Reuters
ADVERTISEMENT
Petugas medis kewalahan menangani bangsal darurat di rumah sakit utama pemerintah di Kota Sehwan, Pakistan, usai banjir bandang melanda negara itu sejak Juni.
ADVERTISEMENT
Ratusan orang memadati kamar dan koridor Syed Abdullah Shah Institute of Medical Sciences. Mereka putus asa mencari pengobatan untuk malaria dan penyakit bawaan air lainnya. Salah satu dokter yang berada di garis depan pertempuran itu adalah Naveed Ahmed.
Dokter muda tersebut berjerih untuk membendung penyakit dan kematian saat bertugas di departemen tanggap darurat. Dalam kerumunan itu, pria berusia 30 tahun tersebut dikelilingi lima atau enam pasien yang berusaha mendapatkan perhatian medis.
Anak-anak pengungsi yang terkena dampak banjir di dalam tenda kamp darurat yang didirikan oleh Yayasan Alkhidmat Pakistan di Karachi, Selasa (6/9/2022). Foto: Rizwan Tabassum/AFP
Usai banjir melanda wilayah selatan Pakistan, ratusan kota dan desa terputus aksesnya. Sejauh ini, bencana tersebut telah berdampak pada 33 juta orang dari 220 juta populasi penduduk di Pakistan.
Sekitar 300 hingga 400 pasien tiba setiap harinya di klinik Ahmed. Mayoritasnya menderita malaria dan diare. Banyak dari pasien itu pun adalah kelompok rentan, yakni anak-anak. Ahmed mengkhawatirkan, penyakit lain juga akan menyebar menjelang musim dingin.
ADVERTISEMENT
"Saya berharap orang-orang yang telantar akibat banjir dapat kembali ke rumah mereka sebelum musim dingin, [bila tidak] mereka akan terkena penyakit pernapasan dan pneumonia karena tinggal di tenda," tutur Ahmed, dikutip dari Reuters, Senin (3/10).
Pengungsi yang terkena dampak banjir berdiri dalam antrean untuk menerima makanan yang didistribusikan oleh Saylani Welfare Trust di sebuah kamp darurat di Sehwan, Sindh, Selasa (13/9/2022). Foto: Husnain Ali/AFP
Ahmed berusaha tenang mengatasi ribuan pasien yang berbondong-bondong datang dari jauh. Rumah mereka terendam air seiring hujan lebat terus mengguyur pada Agustus dan September.
"Kami kadang-kadang terlalu banyak bekerja sehingga saya merasa ingin pingsan dan disuntik infus," ungkap Ahmed.
"Tetapi karena doa para pasien inilah kami terus berjuang," sambung dia.
Rumah sakit tersebut melayani orang-orang dari kota dan distrik tetangga. Udara dalam institut itu sangat lembab dan koridornya yang penuh sesak pun tak memiliki cukup pendingin ruangan.
Suasana banjir di Dera Allah Yar, Distrik Jafferabad, Pakistan 1 September 2022. Foto: Reuters
Beberapa tempat tidur di rumah sakit tersebut menampung lebih dari satu pasien. Alhasil, para petugas medis mulai memberikan obat malaria segera setelah mendapati sejumlah gejala.
ADVERTISEMENT
"Dengan lonjakan pasien seperti itu, kami tidak bisa menunggu hasil tes untuk setiap pasien untuk memulai pengobatan," jelas Ahmed.
Jagan Shahani mendayung perahu untuk keluar dari desanya yang kebanjiran di Bhajara. Dia mencegat sebuah mobil di jalan terdekat untuk membawa putrinya, Hameeda, ke Sehwan.
Gadis berusia 15 tahun itu kemudian pulih setelah sempat jatuh pingsan usai mengalami demam pada pekan lalu.
"Dokter bilang dia terkena malaria," ujar Shahani.
"Ini adalah malam keempat kami di sini. Tidak ada yang bisa dimakan di sini, tetapi Allah telah sangat baik menyediakan segalanya," tambah dia.
Warga korban banjir menempati tenda darurat di desa Bajara, Sehwan, Pakistan (31/8/2022). Foto: Yasir Rajput/REUTERS
Ratusan orang mengantre untuk menerima jatah bantuan di Lal Bagah. Keluarga pengungsi menyiapkan sarapan di atas api unggun di pemukiman tenda tersebut. Jalan Raya Indus yang melewati Sehwan juga dipenuhi dengan tenda-tenda pengungsi semacam itu.
ADVERTISEMENT
Sebagian pengungsi dapat kembali ke rumah setelah air semakin surut, tetapi tidak semuanya mendapati nasib beruntung. Madad Ali Bozdar belum bisa pulang ke rumahnya di Kota Bubak.
Sebab, desanya masih terendam air setinggi tiga sampai empat meter. Pria berusia 52 tahun tersebut berharap dia dapat kembali dalam waktu sekitar dua bulan mendatang.
"Tidak ada seorang pun di sini untuk membantu saya selain Allah. Saya berdoa kepada Allah agar air di desa saya surut dan saya dapat kembali ke rumah saya," tutur Bozdar.
Sejumlah warga korban banjir mulai menempati tenda di sebuah kamp darurat di Hyderabad, Sindh, Senin (5/9/2022). Foto: Akram Shahid/AFP
Ratusan ribu pengungsi menempati kamp-kamp darurat yang telah didirikan pemerintah Pakistan. Tetapi, sebagian penduduk yang melarikan diri bahkan harus bertahan hidup di tempat terbuka.
Genangan air telah menyelimuti ratusan kilometer persegi negara tersebut, sehingga membutuhkan waktu dua hingga enam bulan untuk surut di beberapa wilayah. Air banjir turut mengantarkan kasus diare, malaria, tifus, demam berdarah, serta infeksi kulit dan mata.
ADVERTISEMENT
Hampir 1.700 orang tewas dalam banjir yang disebabkan oleh hujan lebat dan gletser yang mencair. Sementara itu, lebih dari 340 orang meninggal dunia akibat penyakit bawaan air di Pakistan.
Sejumlah pekerja 'Saylani Welfare Trust' memasak makanan untuk warga yang terkena dampak banjir di Hyderabad, Sindh, Pakistan, Senin (5/9/2022). Foto: Akram Shahid/AFP
Bencana tersebut melanda ketika Pakistan sedang berada dalam krisis ekonomi. Akibatnya, Pakistan tak memiliki sumber daya untuk mengatasi dampak jangka panjangnya. Pemerintah memperkirakan, biaya kerusakan telah mencapai USD 30 miliar (Rp 458 triliun).
WHO bahkan menyuarakan keprihatinan tentang 'bencana kedua' akibat penyakit bawaan air, terutama di Provinsi Sindh. Wilayah itu menanggung dampak terparah dari banjir. Pemerintah setempat mengonfirmasikan, 17.285 kasus malaria telah tercatat sejak 1 Juli.
Demi mencegah risiko wabah, otoritas berusaha memperkerjakan lebih dari 5.000 tenaga kesehatan untuk sementara bagi distrik-distrik paling berisiko di Sindh.
ADVERTISEMENT
"Kami kekurangan sumber daya manusia mengingat besarnya beban penyakit menyusul hujan dan banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya," terang Sekretaris Parlemen untuk Kesehatan Provinsi Sindh, Qasim Soomro.