Usai Kudeta di Burkina Faso, Warga Kibarkan Bendera Rusia

5 Oktober 2022 11:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang pengunjuk rasa mengibarkan bendera Rusia saat ia bergabung dengan demonstrasi di Ouagadougou, Burkina Faso, Selasa (4/10).  Foto: Issouf SANOGO / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pengunjuk rasa mengibarkan bendera Rusia saat ia bergabung dengan demonstrasi di Ouagadougou, Burkina Faso, Selasa (4/10). Foto: Issouf SANOGO / AFP
ADVERTISEMENT
Kejadian menggemparkan terjadi usai kudeta di Burkina Faso. Pengunjuk rasa mengibarkan bendera Rusia di Ibu Kota Ouagadougou,pada Selasa (4/109).
ADVERTISEMENT
Pengibaran tersebut terjadi ketika delegasi organisasi Masyarakat Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) tiba di Burkina Faso dalam misi pencarian fakta terhadap kudeta kedua yang terjadi di negara tersebut.
AFP melaporkan para pengunjuk rasa meneriakkan dukungan untuk Rusia dan meminta Prancis untuk meninggalkan Burkina Faso. Tidak hanya itu, massa juga memperingatkan ECOWAS untuk tidak ikut campur dalam kudeta ini.
Seorang pengunjuk rasa mengibarkan bendera Rusia saat ia bergabung dengan demonstrasi di Ouagadougou, Burkina Faso, Selasa (4/10). Foto: Issouf SANOGO / AFP
Pada akhir pekan lalu, Letnan Kolonel Paul-Henri Sandaogo Damiba, yang baru merebut kekuasaan pada Januari lalu, berhasil dikudeta oleh Kapten Ibrahim Traore. Kudeta ini dilakukan bertepatan dengan gelombang protes anti-Prancis di negara tersebut.
Damiba dikudeta karena dianggap tidak mampu menangani para pemberontak radikal di Burkina Faso. Sebelumnya, Damiba juga menggulingkan pemerintahan sipil Roch Marc Christian Kabore yang terpilih para Januari lalu karena alasan serupa.
Seorang pengunjuk rasa mengibarkan bendera Rusia saat ia bergabung dengan demonstrasi di Ouagadougou, Burkina Faso, Selasa (4/10). Foto: Issouf SANOGO / AFP
"Menghadapi situasi yang memburuk, kami mencoba beberapa kali untuk membuat Damiba memfokuskan kembali transisi pada pertanyaan keamanan," kata sebuah pernyataan yang ditandatangani oleh Traore.
ADVERTISEMENT
"Tindakan Damiba secara bertahap meyakinkan kami bahwa ambisinya menyimpang dari apa yang kami rencanakan. Kami memutuskan hari ini untuk mencopot Damiba," lanjut pernyataan tersebut pada Jumat (30/9) yang dikutip AFP.
Traore menyatakan bahwa dia akan mendukung janji yang diberikan Damiba kepada ECOWAS untuk memulihkan pemerintahan sipil pada Juli 2024. Saat ini, ia akan mengurus urusan Burkina Faso sampai presiden transisi sipil atau militer baru ditunjuk oleh forum nasional yang mengumpulkan perwakilan politik dan sosial.
Kunjungan ECOWAS ke Burkina Faso dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Guinea-Bissau Suzi Carla Barbosa yang negaranya saat ini memimpin blok tersebut. Ia juga didampingi oleh mantan presiden Niger Mahamadou Issoufou yang menjadi mediator untuk Burkina Faso.
ADVERTISEMENT
Delegasi dari ECOWAS yang tiba Pada Selasa lagu dijadwalkan akan menuju ke kantor presiden untuk bertemu Traore. ECOWAS akan membantu Burkina Faso dalam memulihkan pemerintahan sipil seperti yang disyaratkan oleh Damiba dalam pengunduran dirinya.
Seorang pengunjuk rasa mengibarkan bendera Rusia saat ia bergabung dengan demonstrasi di Ouagadougou, Burkina Faso, Selasa (4/10). Foto: Issouf SANOGO / AFP
Namun banyak masyarakat yang mengkritik ECOWAS karena dinilai mendukung agenda kepentingan Barat di Burkina Faso, khususnya Prancis. Traore menegaskan bahwa kunjungan ECOWAS adalah melakukan kontak dengan otoritas transisi baru yang dipimpin dirinya.
Lebih lanjut, Traore menyesalkan berita yang beredar dan hasutan untuk menghambat misi yang dilakukan ECOWAS ini. Ia menyerukan masyarakat untuk tenang dan menanam diri.
"Setiap orang yang melakukan tindakan yang bertujuan mengganggu kelancaran misi ECOWAS akan menghadapi kekuatan hukum," kata Traore.
Terkurung daratan dalam kondisi sangat miskin, Burkina Faso mengalami sedikit politik sejak memperoleh kemerdekaan dari Prancis pada 1960.
ADVERTISEMENT
Namun, negara tersebut kembali bergejolak setelah munculnya kelompok pemberontak yang datang dari negara tetangganya Mali pada 2015. Dikutip dari AFP, ribuan warga sipil, tentara, dan polisi tewas. Tercatat juga hampir dua juta orang telah meninggalkan rumah mereka.
Penulis: Thalitha Yuristiana.