Usai Kudeta, Produksi Opium di Myanmar Meroket

26 Januari 2023 15:10 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petani menunjukkan getah opium April 2019. Foto: NOOR MOHAMMAD / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Petani menunjukkan getah opium April 2019. Foto: NOOR MOHAMMAD / AFP
ADVERTISEMENT
Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) menyebut produksi opium di Myanmar meningkat tajam setelah kudeta yang dilakukan junta militer pada 2021 lalu.
ADVERTISEMENT
Gejolak politik dan ekonomi dinilai telah mendorong para petani untuk membudidayakan dan melakukan ekspansi signifikan tanaman tersebut. Dalam laporan yang dirilis Kamis (26/1), UNODC menemukan luas lahan yang digunakan untuk menanam opium telah diperluas sepertiga dari sebelumnya. Dua tahun terakhir, luas lahan opium mencapai 40 ribu hektare.
Sebelum laporan terbaru diluncurkan, terdapat tren penurunan produksi opium dalam rentang 2014-2020 di Myanmar. Namun, kini tren tersebut berbalik arah. Tidak hanya luas lahan, potensi produksi juga meningkat drastis hampir 90 persen dibanding tahun sebelumnya. Seluruh lahan opium di Myanmar dapat memproduksi hingga 790 ton per tahun.
Tentara Myanmar terlihat di dalam Balai Kota, Yangon, Myanmar, Senin (1/2). Foto: Stringer/REUTERS
"Gangguan ekonomi, keamanan, dan tata kelola yang mengikuti pengambilalihan militer pada Februari 2021 telah menyatu, dan para petani memiliki sedikit pilihan selain kembali ke opium,” kata perwakilan regional UNODC Jeremy Douglas seperti dikutip dari France24.
ADVERTISEMENT
"Pertumbuhan yang kita saksikan dalam bisnis narkoba berhubungan langsung dengan krisis yang dihadapi negara ini." tambahnya.
UNODC memperkirakan nilai ekonomi dari produksi opium tersebut dapat mencapai Rp 29 triliun, setara dengan tiga persen PDB negara tersebut pada 2021 lalu. Terlepas dari lonjakan produksi, harga opium di tingkat petani juga melonjak menjadi Rp 4 juta per kilo atau sekitar 69 persen dari tahun-tahun sebelumnya.
Namun, peningkatan keuntungan dari produksi opium tidak dapat dihubungkan dengan peningkatan daya beli masyarakat. Pasalnya, harga bensin dan pupuk di negara tersebut turut meningkat.
Kombinasi dari faktor terjadinya kudeta dan pandemi telah menghantam perekonomian negara tersebut. Menurut Douglas, sekitar 40 persen populasi di Myanmar berada dalam kemiskinan. Mereka pun terpaksa meninggalkan daerah perkotaan untuk bekerja menanam opium di pedesaan.
ADVERTISEMENT
“Budidaya opium benar-benar tentang ekonomi, dan tidak dapat diselesaikan dengan menghancurkan tanaman yang hanya meningkatkan kerentanan,” jelas Douglas.