Usul Kapolri Agar Koruptor Kecil Tak Dipidana yang Kontroversial

15 Maret 2018 16:21 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Raker komisi III DPR dan Kapolri. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Raker komisi III DPR dan Kapolri. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Polri mewacanakan kebijakan untuk tidak membawa kasus korupsi kecil ke ranah pidana. Wacana itu dilontarkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR. Koruptor yang dianggap mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah kecil cukup mengembalikan uang.
ADVERTISEMENT
"Kalau masih dalam rangka temuan BPK, masih ada kesempatan untuk mengembalikan tanpa harus memproses pidana," ucap Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/3).
Sebenarnya, isu koruptor kecil tidak dipidana sudah pernah dilontarkan Kabareskrim Komjen Ari Dono. Berbagai kritikan lalu mengalir masuk ke kepolisian.
Dan kali ini, wacana pribadi yang disampaikan Ari Dono, kembali ditegaskan Kapolri. Naga-naganya, wacana ini akan dimatangkan, karena sudah di-sounding di DPR.
Usulan kepolisian itu dianggap sebagai wacana kontroversial. Seperti yang disampaikan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz. Mengawali kritiknya untuk Kapolri, Donal mengutip ayat dalam Al-Quran.
Dalam agama Islam, mengutip isi surat Al-Zalzalah, disebutkan bahwa barang siapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, niscaya dia akan mendapat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia juga akan mendapat balasannya.
ADVERTISEMENT
Lalola Easter Kaban saat  Catatan Akhir Tahun ICW (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lalola Easter Kaban saat Catatan Akhir Tahun ICW (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Berpijak pada hal tersebut, dan kembali kepada hukum positif di Indonesia, jangan sampai ada perbuatan koruptor yang dimaafkan. Apalagi karena mereka hanya korupsi kecil, lalu mengembalikan uang dan bebas pidana.
"Korupsi itu kejahatan luar biasa, seharusnya tidak diukur dengan pendekatan ekonomi," pendapat Donal, Kamis (15/3).
Donal melanjutkan, bayangkan jika penegak hukum seperti hakim atau jaksa yang menerima suap puluhan juta rupiah, dampaknya besar sekali terhadap keadilan. Sehingga melihat upaya pemberantasan korupsi tidak bisa menggunakan logika mengelola sebuah usaha.
"Kalau mau menggunakan cara pandang itu, silakan terhadap pidana lain, seperti tindak pidana pencemaran nama baik dan lain-lain. Banyak sekali orang dijerat dengan tindak pidana pencemaran baik, tidak ada uang negara yang kembali. Sehingga sektor ini yang justru membuat anggaran penegak hukum defisit," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Sistem yang Rusak
Hal senada juga disampaikan ahli hukum dari Universitas Andalas, Feri Amsari. Menurut dia, melihat kasus korupsi jangan dari pemahaman hanya dari uang yang nampak. Tapi bagaimana dengan sistem yang rusak.
"Misalnya panitera yang bisa disuap Rp 30 juta, bayangkan rusaknya sistem pencarian keadilan. Masyarakat memandang peradilan sebelah mata. Itu kan kerusakan (akibat) korupsi yang luar biasa," tegas Feri.
Foto Ilustrasi Hukum Koruptor (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Ilustrasi Hukum Koruptor (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)