Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
UU Adminduk Digugat, MK Diminta Atur Kolom ‘Tidak Beragama’ di KK dan KTP
23 Oktober 2024 13:55 WIB
·
waktu baca 7 menitADVERTISEMENT
Undang-Undang Administrasi Kependudukan digugat ke Mahkamah Konstitusi. MK diminta untuk mengatur kolom 'tidak beragama' dalam Kartu Keluarga maupun Kartu Tanda Penduduk.
ADVERTISEMENT
Ada dua penggugat dalam permohonan ini, yakni Raymond Kamil (Pemohon I) dan Indra Syahputra (Pemohon II). Keduanya mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) mengenai biodata penduduk yang memuat keterangan agama yang dianut atau kepercayaan dalam Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Pengenal (KTP).
“Pada kenyataannya tidak memeluk salah satu dari tujuh pilihan dan yang tidak beragama dipaksa keadaan untuk berbohong atau tidak dilayani,” ujar Pendamping para Pemohon, Teguh Sugiharto, dikutip dari situs MK, Rabu (23/10).
Permohonan didaftarkan pada Selasa (3/9). Sidang pendahuluan sudah digelar MK pada Senin (21/10).
Dikutip dari permohonannya, Raymond mencantumkan Islam sebagai agama pada KTP-nya. Ia sempat berganti-ganti mazhab pemahaman.
ADVERTISEMENT
Pemahaman terakhirnya adalah mazhab Syiah Dua Belas Imam. Saat ini, dalam permohonannya, dia mengaku tidak memeluk agama mana pun dan juga tidak mempercayai atau menjadi anggota aliran kepercayaan mana pun. Ia menyatakan lebih memilih untuk memahami fenomena alam dan kehidupan dengan berangkat dari postulat ketidaktahuan dan membangun pandangan yang bersifat personal berdasarkan ilmu pengetahuan serta nalar logis dan saintifik.
Indra pun masih mencantumkan Islam sebagai agama pada KTP. Namun, saat ini, ia mengaku tidak memeluk agama maupun kepercayaan mana pun.
Dalam permohonannya, kedua pemohon menyatakan telah mengalami kerugian hak konstitusional karena harus mengisi kolom agama dengan memilih agama atau kepercayaan. Padahal mereka ingin diinput tidak beragama.
Para Pemohon menyebut telah mengalami diskriminasi karena petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menolak agar kolom agama dalam KK maupun KTP dituliskan 'tidak beragama'.
ADVERTISEMENT
Menurut para Pemohon, ketentuan yang diuji mewajibkannya untuk memeluk agama atau kepercayaan tertentu. Para Pemohon mengatakan isian kolom agama tidak bersifat isian terbuka melainkan pilihan tertutup yang memaksa.
Selain itu, Raymond juga mengaku mendapat penolakan untuk tidak mengikuti pendidikan agama dari petugas dinas pendidikan. Dia juga berkeinginan untuk menikah kembali, tetapi dirinya tidak mungkin memenuhi hak konstitusional dimaksud kecuali melakukan kebohongan mengaku sebagai penganut agama tertentu yang diakui.
Dalam petitumnya, kedua pemohon meminta MK untuk mengubah ketentuan dalam UU Adminduk, UU HAM, UU Perkawinan, hingga UU Sistem Pendidikan Nasional.
Berikut petitum lengkapnya:
1. Mengabulkan seluruh Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang diajukan Para Pemohon.
2. Menyatakan Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai secara positif dan negatif; atau
ADVERTISEMENT
Menyatakan Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai secara positif dan negatif yaitu setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu atau tidak beribadat dan bebas untuk tidak memeluk agama dan kepercayaan, dan negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu, dan negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk tidak memeluk agama dan kepercayaan;
3. Menyatakan Pasal 61 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kata agama tidak dimaknai sebagai beragama tertentu atau tidak beragama tertentu, kepercayaan tertentu atau kepercayaan tidak tertentu, yaitu setiap penduduk berhak memilih untuk mengosongkannya atau mengisinya secara definitif atau tidak definitif termasuk, tetapi tidak terbatas “beragama” atau “tidak beragama” atau “Islam” atau “Kristen” atau “Katholik” atau “Budha” atau “Hindu” atau “Konghucu” dan atau “Kepercayaan Terhadap Tuhan YME” dan sejenisnya, atau “Islam Baha’i”, atau “Islam Syiah Dua Belas Imam” atau “Syiah Ahlussunnah wal Jamaah” atau “Budha Mahayana” atau “Budha Tantrayana” atau “Budha Tzuci” dan sejenisnya atau “Saintologi” atau “Deisme” atau “Agnostik” atau “Panteisme” dan sejenisnya, atau “Malim” atau “Sabto Dharma” atau “Sunda Wiwitan” dan sejenisnya; atau
ADVERTISEMENT
Menyatakan Pasal 61 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kolom agama tidak dihapuskan dan dianggap tidak ada.
4. Menyatakan Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kata agama tidak dimaknai sebagai beragama tertentu atau tidak beragama tertentu, kepercayaan tertentu, atau kepercayaan tidak tertentu yaitu setiap penduduk berhak memilih untuk mengosongkannya atau mengisinya secara definitif atau tidak definitif, termasuk tetapi tidak terbatas “beragama” atau “tidak beragama” atau “Islam” atau “Kristen” atau “Katholik” atau “Budha” atau “Hindu” atau “Konghucu” dan atau “Kepercayaan Terhadap Tuhan YME” dan sejenisnya, atau “Islam Baha’i”, atau “Islam Syiah Dua Belas Imam” atau “Syiah Ahlussunnah wal Jamaah” atau “Budha Mahayana” atau “Budha Tantrayana” atau “Budha Tzuci” dan sejenisnya atau “Saintologi” atau “Deisme” atau “Agnostik” atau “Panteisme” dan sejenisnya, atau “Malim” atau “Sabto Dharma” atau “Sunda Wiwitan” dan sejenisnya;
ADVERTISEMENT
Menyatakan Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kolom agama tidak dihapuskan dan dianggap tidak ada.
5. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat; atau
Menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai hanya mengikat penduduk yang memeluk agama dan kepercayaan tertentu dan tidak mengikat penduduk yang tidak memeluk agama dan kepercayaan tertentu.
ADVERTISEMENT
6. Menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai pilihan atau kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama.
7. Menyatakan Pasal 37 UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai pilihan atau kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama.
8. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia
atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Nasihat Hakim MK
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arsul Sani didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Menurut Enny, posita permohonan menjadi ruang Pemohon untuk meyakinkan sembilan hakim konstitusi agar mengabulkan permohonan.
ADVERTISEMENT
Enny mengatakan, UUD menegaskan Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Termasuk putusan MK yang diawali dengan kalimat demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, para Pemohon belum dapat menguraikan pertentangan norma yang diuji untuk meyakinkan para hakim konstitusi mengenai konstitusionalitas tidak beragama tersebut.
“Silakan Saudara bangun argumentasi pertentangannya itu karena di sini saya buka-buka yang memang tidak tampak apa yang dimaksud di sini, kecuali Saudara mengatakan berkali-kali diulangi di sini bahwa ini harus dimaknai tidak beragama,” kata Enny.
Para Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas perbaikan permohonan paling lambat diterima Mahkamah pada 4 November 2024.