Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kini menjadi momok bagi masyarakat yang ingin berekspresi dan berpendapat.
ADVERTISEMENT
Terbaru, aktivis dan jurnalis Dandhy Dwi Laksono ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran UU ITE. Pendiri rumah produksi film dokumenter Watchdoc itu menjadi tersangka karena unggahan di media sosial soal Papua.
Selain Dandhy, sebelumnya sudah banyak rentetan 'korban' dari pasal-pasal karet UU ITE. Banyaknya 'korban' undang-undang ini mengundang tanya, apakah perlu revisi UU ITE?
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Muzakir berpendapat pada praktiknya penggunaan UU ITE ini selalu melampaui ketentuan atau pasal dalam KUHP. Khususnya, untuk Pasal 27 UU ITE yang terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik.
"Dalam praktiknya, yang pakai UU ITE ini ditafsirkan lebih luas dari pada dalam KUHP. Interpretasi pasal-pasal KUHP itu masuk dalam pasal 27 (UU ITE) itu ditafsirkan lebih luas dalam pasal KUHP," kata Muzakir saat dihubungi kumparan, Jumat (27/9).
ADVERTISEMENT
"Kalau pasal KUHP saja dipandang sudah luas, tapi lebih luas tafsir pada Pasal 27 ITE," lanjutnya.
Dia mencontohkan kasus ujaran kebencian dengan tersangka Ahmad Dhani. Menurut Muzakir, Ahmad Dhani menyebut kata 'gila' atau 'idiot' perlu dilihat dari mana konteksnya berbicara.
"Seperti kasusnya Ahmad Dhani. Ahmad Dhani ngomong 'gila' atau 'idiot' saja dimasukkan ke penjara. Ahmad Dhani orang Surabaya, dan orang Surabaya kalau ngomong 'gila kamu' itu kan hal yang biasa," jelas Muzakir.
Maka dari itu, lanjut Muzakir, perlu ada perubahan pola pikir dari penegak hukum dalam menerapkan UU ITE. Jika tidak, lanjut Muzakir, lebih baik perlu adanya perbaikan di UU ITE.
"Itu penegak hukumnya mau bisa berubah, kalau tidak bisa berubah, orang bisa berpendapat seperti diberitakan itu (dijerat pasal karet UU ITE). Ya harus direvisi UU itu," kata Muzakir.
ADVERTISEMENT
Hal senada pun diutarakan oleh pakar dan pengajar hukum pidana di Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.
"Pasal 28 ayat 2 UU ITE itu penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan permusuhan berdasarkan SARA. Saya kira ini tuduhan yang berlebihan jika dimaksudkan pada isi pendapat-pendapat yang dikemukakan melalui media sosial," jelas Abdul Fickar.
Menurut Abdul Fickar, pasal-pasal ini merupakan pasal karet yang bisa menimbulkan permusuhan yang tidak jelas.
"Pasal ini pasal karet karena mengidentifikasi info yang dapat menimbulkan permusuhan tidak jelas bentuknya. Demikian juga golongan masyarakat mana yang saling berhadapan menjadi musuh juga tidak jelas," ungkapnya.
"Karena itu penerapan pasal ini sangat multitafsir dan kecenderungan ditafsir oleh penguasa," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, pasal-pasal karet di UU ITE ini sudah selayaknya direvisi dan dicabut. "Ya semua pasal karet yang bisa ditafsirkan semaunya baik di UU ITE, KUHP atau UU lainnya harus dicabut," ungkap Abdul Fickar.