Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
“Setuju”
Kor anggota DPR bergema memotong kalimat Ketua DPR dari Fraksi PDIP Puan Maharani saat memimpin rapat persetujuan pengesahan RUU Minerba di di ruang rapat paripurna Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Selasa (12/5). DPR sudah bulat untuk menyetujui rancangan perundangan yang sudah bergulir sejak 2016 lalu itu.
Puan sekali lagi menanyakan persetujuan karena kalimatnya terpotong, “Delapan fraksi setuju, satu fraksi menolak. Apakah ada perubahan? Apakah itu bisa disetujui bahwa...”
“Setujuuu…..”
Koor yang sama kembali memotong kalimat Puan. Palu pun diketuk, RUU Minerba sah memperbarui UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Pembahasan RUU Minerba di DPR kala pandemi COVID-19 bak berseluncur di es. Tak ada kebisingan seperti gelar aksi #ReformasiDikorupsi pada September tahun lalu. RUU Minerba termasuk salah satu perundangan kontroversial yang banyak dikecam oleh LSM dan gerakan mahasiswa.
Tapi kali ini tak ada demonstrasi di kala pandemi. DPR dan pemerintah pun bisa rapat dengan tenang.
Lancar dan bulatnya suara DPR menyetujui RUU Minerba merupakan kontroversi bagi pegiat tambang dan aktivis lainnya. Mereka menganggap isi RUU itu sarat dengan kepentingan korporat daripada rakyat.
Catatan lembaga nirlaba Jatam (Jaringan Advokasi Tambang) sejumlah poin bermasalah dalam revisi UU Minerba tersebut. Pertama, melanggengkan ketergantungan pada batu bara. Sejumlah studi, menunjukan bahwa tambang malah mempengaruhi tingkat kemiskinan masyarakat di sekitarnya.
“Di daerah tambang mana yang sejahtera penduduknya dan mandiri? Apakah DPR bisa membuktikan bahwa ada daerah tambang yang penduduknya sejahtera?” ucap Peneliti Auriga, Iqbal Damanik dalam acara Diskusi Oligarki Batubara , beberapa jam setelah regulasi tersebut disahkan.
Pada 2015, studi yang dilakukan ekonom dari Australian National University, Budi Resosudarmo, dan Sambit Bhattarcharya dari University of Sussex menunjukkan bahwa pertumbuhan tambang di Indonesia cenderung meningkatkan rasio penduduk miskin hingga 1,72 persen. Studi yang dilakukan Ahmad Zaini dari Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III Lembaga Administrasi Negara pada 2017 pun menyatakan bahwa sektor batu bara berkorelasi positif terhadap ketimpangan pendapatan.
Kedua, penguasaan lahan yang lebih lama kemudian mengobral mineral tanah jarang dan radioaktif. Kemudian perpanjangan otomatis izin perusahaan raksasa pemegang Kontrak Karya dan PKP2B. Aturan baru tentang minerba ini juga menghilangkan pasal pidana untuk pejabat yang mengeluarkan izin bermasalah dan koruptif, memperluas area tambang di sungai dari sebelumnya maksimal 25 hektare menjadi 100 hektare.
Belum lagi ancaman kriminalisasi dan pemidanaan terhadap warga penolak tambang karena dianggap merintangi dan mengganggu kegiatan usaha pertambangan akan diancam pidana satu tahun penjara atau denda Rp 100 juta. Terakhir, menghilangkan kewajiban reklamasi lubang bekas tambang jika bisa digunakan sebagai tempat pariwisata.
Tak hanya substansinya saja yang bermasalah. Iqbal juga menyebutkan pembahasan perundangan ini seharusnya batal karena tidak memenuhi prinsip transparansi. Naskah Akademis maupun draf RUU Minerba tidak pernah dipapar secara resmi melalui situs DPR atau Pemerintah.
Selain itu, rapat panja pada 6 Mei 2020 dibuat tertutup dan tiba-tiba muncul agenda pengambilan keputusan tingkat 1 pada 11 Mei 2020. Kejanggalan berikutnya adalah surat dari Ketua Komisi VII Sugeng Suparwoto pada 20 Januari 2020 yang menyatakan bahwa RUU Minerba pada saat itu tidak memenuhi syarat carryover (pengalihan pembahasan dari DPR periode sebelumnya) karena belum masuk pembahasan DIM (Daftar Inventaris Masalah). Namun kemudian surat tersebut mendadak dinyatakan telah dicabut.
Dalam pengantarnya ketika rapat paripurna, Sugeng mengatakan bahwa proses pembahasan DIM dilaksanakan secara intensif dari tanggal 17 Februari hingga 6 Mei 2020. Dia juga mengklaim bahwa DPR telah menerima masukan dari berbagai pihak seperti Tim Peneliti Fakultas Hukum yang dipimpin Hikmahanto Juwono dan Komite II DPD RI.
“RUU Minerba juga telah disinkronkan dengan RUU Cipta Kerja sebagaimana keinginan pemerintah,” ucapnya.
Kejanggalan tak berhenti pada proses tertutup dan kilat saja, saran dan aspirasi yang disalurkan melalui pesan nomor telepon pribadi anggota DPR justru dianggap teror. Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi PDIP, Bambang Wuryanto, misalnya menganggap pesan-pesan yang dikirim oleh berbagai aktivis ke telepon genggamnya merupakan teror.
Ia menyebutkan cepatnya pembahasan RUU Minerba di tengah pandemi ini karena sebanyak 938 Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang telah selesai dibahas pada periode masa jabatan 2014-2019 itu tak perlu dibahas ulang oleh anggota DPR periode 2019-2024. Politikus PDIP, partai yang mengklaim sebagai partainya wong cilik, itu kemudian menegaskan bahwa DPR berkuasa penuh dalam membentuk perundang-undangan.
“Kalau nanti ada yang kurang pas hasil undang-undangnya, dipersilakan melalui judicial review. Enggak usah pakai WA yang dibombardir ke anggota panja. Mohon maaf, ini namanya teror,” ucapnya.
Kalimat tersebut, menurut pakar hukum tata negara Refly Harun, merupakan bentuk pernyataan yang tidak bertanggung jawab. “Ketika mengatakan, kalau nggak setuju datang saja ke MK (Mahkamah Konstitusi), itu statement yang tidak bertanggung jawab. Harusnya kan DPR itu memastikan sekuat mungkin agar tidak ada substansi atau prosedur yang melanggar,” ucapnya saat dihubungi kumparan pada Rabu (13/5).
Ia juga menegaskan bahwa pembentukan undang-undang itu tidak boleh ada hidden agenda. “Harus memperhatikan aspirasi masyarakat, terbuka, partisipatif, dan objektif. Yang penting prosesnya terbuka, transparan, dan tidak manipulatif.”
Sejurus dengan Bambang, Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi PAN Eddy Soeparo mengungkap pembelaan yang sama. Menurutnya kekecewaaan sebagian masyarakat bisa ditindaklanjuti ke MK dengan mengajukan judicial review. Karena toh, selama ini DPR juga tidak bisa memuaskan semua pihak dalam memutuskan perundangan.
“Bukannya kami tidak mendengarkan, tetapi sudah ada proses yang dilalui dan harus berjalan. Kami serba salah kalau berhenti malah dituduh tidak bekerja,” ucap dia ketika dihubungi pada Rabu (13/5).
Refly menganggap saran anggota DPR agar pihak yang tidak puas bisa mengajukan judicial review ke MK merupakan kalimat sesat dan tidak bertanggung jawab. DPR seharusnya memastikan kerjanya sebagai pembuat UU akurat, taat substansi, dan prosedur.
Menurut dia pembahasan UU apapun tidak boleh ada hidden agenda. “Harus memperhatikan aspirasi masyarakat, terbuka, partisipatif, dan objektif. Yang penting prosesnya terbuka, transparan, dan tidak manipulatif.”
DPR sudah tutup telinga atas pesan-pesan yang dikirimkan. Kini mereka pun tak bertanggung jawab atas akurasi perundangan. Untuk apa atau untuk siapa mereka bekerja?
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.