Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
UU Pemilu Digugat ke MK: Presiden Tak Boleh Kampanyekan Capres-Cawapres Keluarga
6 Februari 2024 13:07 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, pemohon meminta agar pejabat termasuk presiden tidak boleh mengkampanyekan calon pejabat yang masih ada hubungan keluarga.
ADVERTISEMENT
Gugatan tersebut tercantum dalam perkara nomor 166/PUU-XXI/2023. Gugatan dimohonkan oleh Gugum Ridho Putra selaku advokat.
Salah satu permohonannya, Gugum meminta agar MK mengubah frasa dalam pasal 299 ayat (1) UU Pemilu yang sebelumnya: Presiden dan wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye.
Menjadi: Presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye sepanjang tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pasangan calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak jabatan masing-masing.
Alasan Gugatan
Menurut pemohon, dalam UU Pemilu, sudah diatur beberapa larangan untuk mencegah intervensi terhadap pemilu yang bebas, jujur, dan adil. Salah satunya melarang jabatan-jabatan tertentu untuk kampanye, sebagaimana tertuang dalam pasal 280 ayat (2) UU Pemilu.
ADVERTISEMENT
Jabatan tersebut yakni:
Namun, menurut pemohon, UU Pemilu tidak melarang jabatan-jabatan yang dipilih dalam pemilu dan pilkada untuk mengikuti kampanye. Sebagaimana jabatan-jabatan yang dilarang di atas.
Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu mengecualikan jabatan-jabatan seperti presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota, untuk ikut kampanye. Sepanjang memenuhi syarat tidak menggunakan fasilitas jabatan dan menjalani cuti di luar tanggungan negara.
ADVERTISEMENT
Pemohon menilai, meski UU Pemilu memperbolehkan jabatan-jabatan itu mengikuti kampanye, tapi ternyata belum mengantisipasi potensi intervensi atau penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh jabatan yang disebabkan keterikatan hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai antara presiden hingga tingkat wali kota.
UU Pemilu tersebut, dinilai belum mengatur secara spesifik larangan presiden hingga wali kota untuk ikut serta dalam kampanye untuk mendukung peserta pemilu yang memiliki hubungan keluarga sedarah ataupun semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengannya.
Sehingga, lanjut pemohon, karena tidak ada norma yang melarang tentang hal itu, maka secara formil seolah-olah keikutsertaan itu 'diperbolehkan' menurut hukum.
"Mencermati keadaan demikian, keikutsertaan jabatan-jabatan tersebut dalam kampanye peserta pemilu yang memiliki hubungan keluarga sedarah ataupun semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengannya sudah sepatutnya dilarang karena berbagai alasan konstitusional yang ada," kata pemohon.
ADVERTISEMENT
Berikut tiga alasan itu:
1. UUD menginginkan pemilu dilaksanakan dengan prinsip bebas, jujur dan adil;
2. Presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota, telah bersumpah akan menjalankan konstitusi dan UU selurus-lurusnya;
3. Presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota sebagai penyelenggara negara dilarang melakukan nepotisme.
Dalam gugatan ini, Pemohon juga meminta agar kegiatan kampanye dilarang mengikutsertakan Presiden dan Wakil Presiden.
Sebelumnya, sebagaimana Pasal 280 ayat (2), ada sejumlah pihak yang dilarang untuk diikutsertakan dalam kampanye, yakni:
a Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
ADVERTISEMENT
b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
c. gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
d. direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;
f. aparatur sipil negara;
g. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
h. kepala desa;
i. perangkat desa;
j. anggota badan permusyawaratan desa;
k. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.
Pemohon meminta adanya penambahan pihak untuk dicantumkan dalam huruf l. Sehingga Pasal 280 ayat (2) berbunyi:
Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan: ….
l. Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota, dan Wakil Wali Kota yang terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta memiliki konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak jabatan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Selain terkait ketentuan kampanye bagi Presiden dan Wakil Presiden, ada sejumlah beberapa hal lain yang dipermasalahkan oleh Pemohon dalam gugatan ini.
Termasuk soal ketentuan penggunaan Artificial Inteligence (AI) hingga terkait pengaturan soal sanksi pembatalan sebagai calon bila melakukan pelanggaran.
Gugatan ini masih bergulir di MK. Selasa (6/2), MK menyidangkan perkara ini dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR, Presiden, KPU dan Bawaslu.