UU Peradilan Agama Digugat ke MK karena Hanya Adili Warga Muslim

13 Mei 2020 6:29 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) memimpin sidang pendahuluan uji formil Undang-Undang KPK di Gedung MK, Jakarta. Foto:  ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) memimpin sidang pendahuluan uji formil Undang-Undang KPK di Gedung MK, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
ADVERTISEMENT
Seorang mahasiswi di Universitas Lampung, Thresia Idriani Niangtyasgayatri, menggugat UU Peradilan Agama ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu didaftarkan pada 11 Mei dengan nomor tanda terima 1972/PAN.MK/V/2020.
ADVERTISEMENT
Dalam permohonannya, Thresia merasa UU Peradilan Agama merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Sebab UU Peradilan Agama hanya bisa mengadili warga yang beragama Islam. Sedangkan Thresia yang memeluk Katolik tidak dapat mencari keadilan secara agama melalui Pengadilan Agama.
"Pemohon merasakan adanya keresahan masyarakat atas kegiatan di pengadilan tersebut yang dapat mencari keadilan di Pengadilan Agama hanya masyarakat yang beragama Islam. Hal tersebut merupakan diskriminasi agama yang di mana masyarakat Indonesia berhak memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya," tulis Thresia dalam gugatannya seperti dilihat di laman MK, Rabu (13/5).
"Keresahan ini bukan saja merugikan pemohon tetapi juga merugikan umat agama lain yang seolah-olah agamanya tidak dianggap untuk mencari agama di Pengadilan Agama," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Ia pun mempersoalkan ketentuan dalam Pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama yang mengatur hanya warga beragama Islam yang bisa mencari keadilan di Pengadilan Agama.
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) bersama Majelis Hakim Mahkamah Konsititusi (MK) Arief Hidayat (kanan) dan Enny Nurbaningsih (kiri) memimpin sidang lanjutan sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 di gedung MK, Jakarta, Selasa (23/7). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Pasal 2 berbunyi:
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 49 ayat (1) berbunyi:
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
Menurutnya, frasa 'yang beragama Islam' di dua pasal tersebut telah menutup celah bagi pemeluk agama lain untuk mengajukan gugatan secara agama.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Thresia meminta MK menghapus frasa 'yang beragama Islam' di dua pasal tersebut agar warga non-Muslim bisa mengajukan gugatan secara agama ke Pengadilan Agama.
"Dihapuskannya kata 'yang beragama Islam' tersebut di atas menjadikan hak-hak WNI menjadi terlindungi sepenuhnya oleh negara dan pemohon pun secara serta merta juga terlindungi hak-haknya. Dan juga terlindungi dari stigma yang mengatakan bahwa (pemeluk) agama selain Islam tidak perlu untuk diadili secara agamanya melainkan cukup diadili secara perdata saja," tutupnya.
--------------------------------
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.
ADVERTISEMENT