UU Sisdiknas Digugat ke MK: SD-SMP Harus Gratis, Negeri Maupun Swasta

25 Juli 2024 19:17 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi siswa berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Foto: Toto Santiko Budi/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siswa berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Foto: Toto Santiko Budi/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Undang-Undang Sisdiknas digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Aturan yang digugat adalah terkait pendidikan dasar. Pemerintah diminta untuk menggratiskan biaya untuk pendidikan dasar, baik sekolah negeri maupun swasta.
ADVERTISEMENT
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) atau (Network Education Watch Indonesia/New Indonesia). Bersama dengan tiga Pemohon perorangan yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
JPPI adalah lembaga masyarakat sipil (CSO). Fathiyah dan Novianisa merupakan ibu rumah tangga. Sedangkan Riris seorang ibu yang bekerja sebagai PNS.
Ketentuan yang digugat adalah Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang berbunyi, "Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya."
Frasa "wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" dinilai multitafsir. Sebab hanya pendidikan dasar di sekolah negeri saja yang tidak dipungut biaya. Merujuk situs Kemendikbudristek, Pendidikan Dasar termasuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk pendidikan lain yang sederajat.
ADVERTISEMENT
"Negara seharusnya mewajibkan dirinya untuk menjamin nasib perolehan pendidikan anak para Pemohon agar ada jaminan kepastian anak para Pemohon bisa menyelesaikan pendidikan hingga usia pada pendidikan dasar sesuai dengan undang-undang a quo. Pada faktanya, banyak anak-anak yang putus sekolah akibat orang tua tidak memiliki uang untuk membiayai anaknya sekolah, dan banyak anak dipaksa bekerja yang semestinya mengenyam pendidikan dasar dan tidak dipungkiri lagi ikut orang tua mengemis di jalan raya," ungkap Arif Suherman selaku kuasa hukum Para Pemohon dikutip dari situs MK, Kamis (25/7).
"Bentuk diskriminasi terhadap anak yang mengikuti pendidikan dasar dapat dilihat dari anak yang mengikuti pendidikan dasar di sekolah negeri tanpa dipungut biaya atau gratis, sedangkan anak yang mengikuti Pendidikan dasar di sekolah swasta dipungut biaya atau tidak gratis. Anak-anak yang mengikuti pendidikan dasar di swasta, bukan keinginan anak-anak tersebut, melainkan karena keterbatasan zonasi, maupun daya tampung sekolah negeri, sehingga dengan terpaksa anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri, harus sekolah di swasta, akan tetapi banyak anak-anak yang putus sekolah karena biaya, mengingat pendidikan dasar di swasta dipungut biaya atau tidak gratis," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa "wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya", inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Meminta frasa diganti menjadi: "wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya".

Keterangan Ahli-Saksi Pemerintah

MK gelar sidang pengujian Undang-Undang Sitem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diruang sidang pleno MK, Selasa (23/7/2024). Foto: Dok. Mahkamah Konstitusi RI
Sidang gugatan ini sudah digelar sejak Januari 2024. Pada Selasa (23/7), sidang digelar dengan agenda mendengarkan ahli dan saksi dari Presiden.
Dua orang yang dihadirkan adalah Kepala Biro Perencanaan Kemendikbudristek Vivi Andriani Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Nisa Felicia.
Nisa selaku Ahli Pemerintah menyampaikan perlu adanya kebijakan asimetris dan melibatkan penyelenggara pendidikan swasta dalam mengatasi permasalahan daya tampung di Indonesia. Dengan turut mempertimbangkan kategori sifat akses pendidikan di setiap daerah. Menurutnya, pembebasan pemungutan biaya Pendidikan swasta bukan satu-satunya opsi kebijakan, tetapi ada pilihan lain yang tepat sasaran dan efisien.
ADVERTISEMENT
"Pendidikan negeri dan swasta bebas biaya perlu dilakukan dengan menggunakan pertimbangan dan perhitungan kesesuaian dengan tipologi akses pendidikan, kualitas sekolah swasta dan kesanggupan daerah," jelasnya.
Nisa pun menjelaskan rentang kualitas sekolah swasta itu sangat lebar. Banyak kualitas swasta yang di bawah kualitas pendidikan negeri. Sehingga apabila pemerintah ingin melibatkan swasta dalam pemenuhan hak anak terhadap pendidikan dasar, maka kualitas pun harus diperhatikan.
"Harus dipilih kualitas swasta yang seperti apa yang dilibatkan. Hal ini tidak mudah, Yang Mulia. Pengalaman kami di DKI Jakarta, kami menggunakan indeks untuk menentukan sekolah swasta mana yang dapat dilibatkan dalam PPDB bersama disebutnya karena PPDB ini juga untuk swasta dengan mempertimbangkan hasil belajar, komposisi guru, akreditasi," papar Nisa.
Nisa Felicia, Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan hadir memberi keterangan sebagai Ahli Pemerintah. Foto: Dok. Mahkamah Konstitusi RI
Sementara itu, Vivi Andriani selaku saksi yang dihadirkan oleh Pemerintah menyebut Kemendikbudristek hanya mengelola anggaran pendidikan sebesar 15 persen. Setara dengan Rp 98,9 triliun dari anggaran pendidikan tahun 2024 yang berjumlah sebesar Rp 665 triliun.
ADVERTISEMENT
"Anggaran Pendidikan pada Belanja Non-Kementerian Negara/Lembaga sebesar Rp 47 triliun dan anggaran pembiayaan Rp 77 triliun merupakan sepenuhnya kewenangan Kementerian Keuangan. Termasuk dalam pengeluaran pembiayaan Rp 77 triliun adalah anggaran penambahan Dana Abadi Pendidikan yang dikelola LPDP sebesar Rp 25 triliun termasuk untuk Dana Abadi Pesantren," urai Vivi.
Kepala Biro Perencanaan Kemendikbudristek, Vivi Andriani selaku saksi yang dihadirkan oleh Pemerintah. Foto: Dok. Mahkamah Konstitusi RI
Menurut Vivi, Pemerintah berkomitmen untuk terus menjaga pemenuhan pendidikan sebesar 20 persen dari APBN sesuai dengan amanat UUD 1945. Anggaran pendidikan untuk tahun 2024 adalah sebesar Rp 665,02 triliun.
Dari besaran tersebut, anggaran yang diperkirakan digunakan untuk penyelenggaraan layanan pendidikan di SD dan SMP baik swasta serta negeri perkiraan sebesar Rp 236,1 triliun. Penghitungan tersebut mencakup pembayaran gaji dan tunjangan pendidik serta biaya operasional untuk penyelenggaraan pendidikan sebesar Rp 227 triliun.
ADVERTISEMENT
Kemudian juga terdapat pendanaan untuk sarana dan prasarana pendidikan untuk rehabilitasi yang rusak kemudian juga penambahan ruang baru untuk SD dan SMP baik negeri maupun swasta besarnya mencakup Rp 9,07 triliun.
"Sesuai PP Nomor 17 Tahun 2017, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (MenPPN) dan Menteri Keuangan (Menkeu) merupakan menteri-menteri yang memiliki kewenangan dalam proses perencanaan dan penganggaran. Sedangkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) tidak memiliki peran dalam pengambilan keputusan alokasi anggaran Pendidikan di luar pengajuan anggaran Pendidikan di luar pengajuan Kemendikbudristek," paparnya.

Tanggapan Hakim MK

Wakil Ketua Hakim Konstitusi Saldi Isra mengikuti sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Dalam sidang, Hakim MK Saldi Isra sempat menanyakan soal anggaran tersebut. Terkait dengan gugatan mengenai pendidikan gratis SD-SMP, negeri dan swasta.
“Ada sekarang UKT sampai Rp 50 juta per semester. Kita bisa bayangkan seberapa mungkin orang miskin dapat mencapai itu. Uang pengembangan institusi sampai mencapai Rp 300-Rp 400 juta untuk perguruan tinggi. Jadi, permohonan ini untuk pendidikan dasar, tapi ini menjadi cara kita merefleksi ada yang salahkah dengan cara kita mengelola pendidikan ini?” kata Saldi.
ADVERTISEMENT
Saldi menambahkan Majelis Hakim membutuhkan proyeksi angka-angka riil jika permohonan Pemohon untuk membebaskan biaya pendidikan dasar swasta dikabulkan. Karena pastinya angka 20 persen dari anggaran pendidikan sebagai diatur dalam Konstitusi tidak dapat memenuhi hal tersebut.
"Kalau semakin hari orang tua semakin cenderung mendorong ke swasta, apakah anggaran sebesar itu cukup untuk pendidikan dasar sembilan tahun? Dari tahun ke tahun ada proyeksi sekolah swasta yang tidak perlu digratiskan. Karena ada orang tua yang mau membayar dengan jumlah besar. Saya mungkin perlu diberikan angka-angka ini," sebut Saldi.
"Kami tidak tega menolak permohonan para Pemohon karena memang dalam Konstitusi sudah jelas angkanya (20 persen). Namun kalau dikabulkan, tapi tidak jelas angka-angkanya jadi masalah juga. Ini seperti (buah) simalakama betul. Tolong Ahli, kami (Majelis Hakim Konstitusi) dibantu soal-soal ini," sambungnya.
Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah mengikuti sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Hakim MK Guntur Hamzah pun sempat menyinggung soal Pasal 31 ayat (2) UUD, bunyinya: "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya."
ADVERTISEMENT
"Pemerintah wajib membiayainya dari 20% tadi minimal. Apa artinya? Prioritaskan pendidikan dasar itu. Kalau itu berapa anggaran pendidikan dasar itu? makanya saya tanya tadi, berapa anggaran pendidikan dasar ini tanpa melihat atribut negeri-swasta," kata Guntur.
"Berapa nih kebutuhannya? apakah kalau sudah cukup misalnya kebutuhan pendidikan dasar dan anggaran Rp 665 T ini masih lebih, nah silakan," sambungnya.
Ia menegaskan bahwa secara konstitusi sudah diatur soal prioritas anggaran terkait pendidikan.
"Jadi sudah prioritasnya adalah untuk pendidikan dasar, pendidikan dasar yang mana itu? tidak melihat merek, tidak melihat status, tidak melihat atributnya, tapi dia adalah SD-SMP, karena pendidikan dasar itu kan SD dan SMP," ungkap Guntur.
"Konstitusi kita sudah memberikan rambu-rambu bahwa pemerintah wajib membiayai untuk pendidikan dasar dan setiap warga negara wajib mengenyam pendidikan dasar itu," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, anggaran Pendidikan Dasar harus jadi prioritas.
"Kalau masih ada anggaran di situ ya silakan untuk pendidikan-pendidikan menengah, tinggi, dan sebagainya, itu sudah … dinas, kedinasan, dan sebagainya itu sudah …," kata Guntur.
"Yang penting konstitusi, kewajiban konstitusi, bagi pemerintah adalah membiayai pendidikan dasar itu tanpa melihat atributnya," pungkasnya.

MK Akan Minta Keterangan Kemenkeu-Bappenas

ADVERTISEMENT
Sidang gugatan ini masih akan terus berlanjut. MK masih akan meminta keterangan sejumlah pihak.
Rencananya, MK akan meminta keterangan dari pihak Kementerian Keuangan dan Bappenas pada 1 Agustus 2024. Permintaan keterangan itu atas inisiatif MK.
"Hari ini ternyata bukan sidang terakhir, karena MK masih akan mendengar dari Kemenkeu dan Bappenas, ini atas inisiatif dari MK," ujar Ketua MK Suhartoyo.
"Biar kami bersurat ke menteri saja," sambungnya.
ADVERTISEMENT