Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Mutasi varian corona N439K asal Skotlandia telah ditemukan di Indonesia sejak November 2020. Kini, kasus terkait varian N439K ini dilaporkan sudah mencapai 141 orang.
ADVERTISEMENT
"N369K di Indonesia sejak November, sekarang kalau saya lihat itu ada sekitar 141 kasus terakhir, ya. Kalo N369K itu memang cenderung bertambah sih, tapi kan itu belum jadi sorotan," jelas Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Amin Soebandrio, saat dihubungi kumparan, Selasa (23/3).
141 total kasus varian N439K yang ada saat ini diambil dari kajian whole genome sequencing (WGS) dari sekitar 700-800 isolat yang dipelajari. Menurut Amin, jumlah ini masih sangat sedikit.
Eijkman menargetkan bisa lebih banyak melakukan sekuens untuk mendeteksi dan mempelajari perkembangan varian N439K.
"Itu kan baru sebagian kecil yang harusnya dideteksi di Indonesia. Jadi kalau kita perhatikan yang PCR-nya positif itu kan cukup banyak, tapi yang disekuens baru 800. Target kita tahun ini, kita bisa melakukan sekuens antara 5-10 ribu WGS lagi," tutur Amin.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, pada 13 Maret lalu Amin menyebut ada 48 kasus mutasi N439K di Tanah Air. 48 kasus ditemukan dari sekitar 537 isolat yang sudah dipelajari.
Meski kasusnya terus bertambah, Amin memastikan, varian N439K ini memiliki gejala yang sama dengan varian corona sebelumnya atau banyak peneliti menyebut varian Wuhan.
Namun, yang perlu ditekankan varian N439K memiliki kemampuan untuk lebih menginfeksi seseorang dan memiliki daya ikat pada reseptor yang lebih kuat.
"Untuk gejalanya tidak ada perbedaan. Kalau keparahannya sih enggak, tapi memang bisa mengikat reseptor 2 kali lebih kuat daripada varian yang lain, kalau yang inggris (B117) sekitar 40%-70% lebih cepat, kalau dia mengikatnya lebih kuat," jelasnya saat itu.
Artinya, varian N439K dikhawatirkan masuk sel manusia lebih cepat dan menularkan orang lain lebih cepat, sehingga bisa lebih banyak orang yang ditularkan. Selain itu, Amin menyatakan penyintas COVID-19 masih berpotensi tertular N439K, meski peluangnya lebih kecil dari non penyintas COVID-19 karena telah memiliki antibodi.
ADVERTISEMENT
Menkes Sebut N439K Belum Jadi Variant of Concent WHO
Sementara itu, Menkes Budi Gunadi Sadikin menjelaskan jika varian N439K tidak termasuk variant of consent (VOC) atau variant of interest (VOI) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Menurut penjelasannya, saat ini mutasi varian itu sudah ratusan mungkin ribuan yang bisa dilihat di GISAID.
Penularan N439K lebih fatal dari COVID-19 belum terbukti, sehingga belum menjadi VOC atau VOI dari WHO. Jika terbukti bahwa mutasi ini bisa meningkatkan laju penularan dan fatalitas sebuah varian virus corona, maka baru akan masuk ke dalam VOC.
"N439k ini tidak masuk VOI atau VOCnya WHO. Karena memang banyak varian-varian baru yang itu hilangnya cepat. Setahu saya, ini juga termasuk satu varian yang menghilangnya dari peradaban cepat," kata Budi dalam siaran pers virtual, Jumat (19/3).
ADVERTISEMENT