Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Wacana memunculkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) kembali mencuat selepas Kongres PDIP digelar. Partai berlambang banteng itu ingin mengamandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk mengembalikan keberadaan GBHN.
ADVERTISEMENT
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menjelaskan, wacana untuk memunculkan GBHN sudah ada dalam agenda MPR periode 2014-2019. Agenda itu juga di-endorse PDIP lewat mekanisme amandemen terbatas UUD 1945.
Maka, terkait amandemen untuk mengembalikan keberadaan GBHN, Adi menilai wacana tersebut belum perlu dilakukan. Apalagi, selama ini, visi dan misi presiden sudah sesuai dengan UUD 1945.
"Saya dalam beberapa hal melihat tidak urgen untuk melakukan amandemen UUD untuk kembalikan haluan negara, toh, selama ini visi misi dan program kerja presiden sudah sesuai dengan UUD '45," kata Adi, Selasa (13/8).
"Mana ada visi-misi (atau) program pemerintah yang bertentangan dengan UUD?" sambungnya.
Jika nantinya MPR memaksakan kembali adanya GBHN, Adi menganggap, kewenangan presiden bakal terintervensi lembaga lain. Padahal, kewenangan presiden seharusnya tidak bisa diintervensi.
ADVERTISEMENT
"Suka tidak suka, kalau haluan negara dikembalikan itu jadi wewenang MPR. Artinya, presiden di bawah subordinasi MPR," sebutnya.
GBHN pernah tertuang dalam UUD 1945 yang ditetapkan oleh MPR. Namun, pada amandemen ketiga, fungsi MPR diubah, salah satunya tidak lagi menetapkan GBHN, alias otomatis GBHN dihapuskan.
Sebagai gantinya, MPR berfungsi hanya menetapkan UU. Lahirlah UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang isinya RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) skala 20 tahun dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) skala 5 tahun.
Adapun usulan menghidupkan GBHN untuk membuat kebijakan Indonesia terarah dimunculkan saat Kongres V PDIP di Bali beberapa waktu lalu. Bahkan PDIP rela tak mendapat jatah Ketua MPR demi menyukseskan agenda tersebut.
ADVERTISEMENT
"Tidak masalah (PDIP tak dapat jatah ketua MPR), karena kita sekali lagi stressing-nya pada apa kinerja MPR. Nah, tentu kita ingin mengingatkan, ini, lho, agenda MPR periode 2014-2019, punya gawe besar yang tertunda karena ada pemilu," tutur Politikus PDIP Ahmad Basarah di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (13/8).
PDIP juga menawarkan pembentukan pimpinan MPR dicapai melalui musyawarah mufakat, bukan voting. Jika voting, Basarah khawatir agenda amandemen terbatas UUD 1945 ini bisa tertunda lagi. Maka, BPDIP sangat terbuka untuk mengajak parpol di luar pemerintahan masuk ke dalam paket pimpinan MPR.
"Jadi ada unsur parpol KIK dan unsur parpol Koalisi Adil Makmur dan bersama DPD RI karena harus ada unsur pimpinan DPD RI. Kalau pimpinan MPR itu sudah terpilih secara musyawarah mufakat, kemudian sebelumnya sama-sama menyepakati agenda amandemen terbatas untuk menghadirkan kembali GBHN, ya, tidak boleh ada yang punya pandangan lain," tegas Basarah.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, usulan ini menimbulkan polemik. Sebagian pihak menganggap GBHN akan kembali menghidupkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dan membelenggu presiden dalam mengambil keputusan.
Ketua DPP PDIP Bidang Hukum, Yasonna Laoly, menampik spekulasi itu. Yasonna menyebut isu GBHN memang sudah dibahas lama oleh pemerintah termasuk sejumlah partai.
"Ya, soal hanya sekedar mengajukan, supaya ada arah pembangunan bangsa yang jelas 'kan, dibuat itu saja. Enggak ada macam-macam lain, jadi ini menjadi liar ke mana-mana," kata Menkumham itu di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (12/8).
"Partai-partai pada umumnya sudah sepakat GBHN dalam konsep amandemen terbatas. Ini harus perlu dikoreksi, tidak ada keinginan macam-macam soal itu," tegasnya.