Vonis Eks Direktur PLN Nur Pamudji di Kasus Pengadaan BBM Naik Jadi 7 Tahun Bui

12 November 2020 16:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji (tengah). Foto: ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji (tengah). Foto: ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi pengadaan BBM jenis High Speed Diesel (HSD) tahun 2010 yang menjerat mantan Direktur Energi Primer PT PLN (Persero), Nur Pamudji, sudah mencapai tahap banding.
ADVERTISEMENT
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman Nur Pamudji dalam perkara yang disebut merugikan keuangan negara Rp 188,7 miliar tersebut,
Awalnya pada 13 Juli 2020, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Nur Pamudji selama 6 tahun penjara. Putusan tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) selama 8 tahun penjara.
Hakim menilai Nur Pamudji terbukti korupsi secara bersama-sama Direktur Utama PT Trans Pacifik Petrochemical Indotama (PT TPPI) sekaligus Ketua Tuban Konsorsium, Honggo Wendratmo, terkait pengadaan BBM HSD.
Nur Pamudji dinilai melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan subsider.
Ilustrasi sidang di Pengadilan Tipikor. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
"Mengadili, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Nur Pamudji dengan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 500 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," ujar Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Muhamad Sirad, ketika membacakan putusan saat itu.
ADVERTISEMENT
Tak terima, Nur Pamudji mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Ia mengajukan banding pada 16 Juli atau 3 hari setelah putusan tingkat pertama. Begitu pula JPU yang turut mengajukan banding dan meminta Nur Pamudji divonis 8 tahun penjara.
Atas permohonan banding tersebut, PT DKI mengubah vonis Pengadilan Tipikor Jakarta mengenai lamanya pidana dan denda yang dijatuhkan.
Mengenai lamanya pidana, majelis hakim PT DKI memperberat hukuman Nur Pamudji menjadi 7 tahun penjara. Adapun denda yang dijatuhkan lebih ringan yakni Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji. Foto: FOTO ANTARA/Teguh Imam Wibowo
PT DKI tetap sepakat dengan vonis tingkat pertama bahwa Nur Pamudji terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan subsider.
"Mengadili, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Nur Pamudji dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 300 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," ujar Ketua Majelis Hakim PT DKI, James Butar Butar, dalam sidang pada Kamis (12/11) ini sebagaimana dilihat di situs pengadilan.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, putusan majelis hakim PT DKI tidak bulat. Sebab seorang hakim anggota, Lafat Akbar, memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Lafat menilai Nur Pamudji tidak terbukti korupsi pengadaan BBM. Sehingga ia menilai Nur Pamudji harus divonis lepas dari segala tuntutan hukum.
Lafat berargumen, Nur Pamudji selama menjabat Direktur Energi Primer PLN 2009-2011 dan Dirut PLN 2011-2014 khususnya pengadaan BBM HSD telah sesuai aturan hukum.
"Justru terdakwa Nur Pamudji telah berusaha menghemat penggunaan keuangan negara dan telah memberikan hasil penghematan keuangan negara rata-rata setiap tahun sejumlah Rp 351.016.281.301," ucap Lafat.
Ilustrasi meja pengadilan. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Lafat menilai JPU telah salah kaprah dan keliru menilai perbuatan Nur Pamudji melelang pengadaan BBM HSD dan dimenangi PT TPPI sebagai tindakan yang menyalahi ketentuan hukum dan merugikan keuangan negara.
ADVERTISEMENT
"Karena sebelum terdakwa menjabat Direktur Energi Primer PLN, pengadaan BBM hanya berupa penunjukan, pasokan BBM terhadap PLN hanya dilakukan oleh 2 perusahaan yaitu Pertamina dan Shell, namun harga BBM khususnya dari Pertamina dipandang masih tinggi. Sehingga terdakwa membuka pengadaan BBM dengan cara lelang terbuka dengan tujuan agar didapat penawaran dan harga yang lebih murah," jelas Lafat.
Lafat melanjutkan, ketika pihak PT TPPI gagal melaksanakan kewajiban kontrak memasok BBM HSD ke PLN pada 2012, Nur Pamudji kemudian memberi peringatan. Namun karena tak kunjung ada perbaikan, Nur Pamudji kemudian memutus kontrak dengan PT TPPI.
"Bahwa karena kontrak pengadaan BBM jenis HSD antara PLN dengan PT TPPI telah diputus kontraknya pada tanggal 16 Mei 2012, maka cukup jelas kontrak pengadaan BBM jenis HSD tersebut telah berakhir. Karena itu BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan penuntut umum sangat keliru menganggap kontrak tersebut masih harus jalan sampai tahun 2014, selanjutnya menghitung sebagai kerugian negara dari selisih harga pembelian dari bulan Mei 2012 sampai tahun 2014," ucap Lafat.
Ilustrasi mahasiswa Hukum. Foto: Pixabay
Sehingga Lafat menilai Nur Pamudji tidak terbukti merugikan ataupun dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana dakwaan JPU.
ADVERTISEMENT
"Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, anggota majelis III, Lafat Akbar, berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP, (menyatakan) terdakwa Nur Pamudji lepas dari segala tuntutan hukum," isi salinan putusan berdasarkan pertimbangan hukum Lafat.
Meski putusan diwarnai dissenting opinion, Lafat tetap kalah suara. Sebab 4 anggota majelis lain menyatakan Nur Pamudji tetap bersalah.