Wabah, Krisis, dan Pemberontakan Diponegoro

1 Juni 2020 13:05 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Potret petani di kebun kopi pada masa hindia belanda. Foto: Dok. kitlv.nl
zoom-in-whitePerbesar
Potret petani di kebun kopi pada masa hindia belanda. Foto: Dok. kitlv.nl
Juni, 199 tahun lalu petaka berupa wabah bernama kolera menyerang Hindia Belanda. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri cholera asiatica itu menjadi epidemi yang cukup mematikan selama dua dekade. Hampir setiap hari jasad-jasad petani yang mati karena terserang bakteri, demam, dan dehidrasi ditarik dari perkebunan kopi dan lada.
Serangan wabah yang diprediksi datang sejak 1819 atau awal 1821 itu kian memperburuk kondisi penduduk Jawa di masa itu. Empat bulan pertama 1821, tak ada hujan setetes pun turun, mengakibatkan kekeringan dan gagal panen di sejumlah wilayah. Belum lagi krisis industri gula—bahan pangan primadona kala itu.
“Terburu-buru ingin memanfaatkan tingginya harga gula internasional pada 1819-1820, banyak lahan sawah yang diubah menjadi area produksi gula yang justru malah menyebabkan harga gula anjlok pada 1821, sementara harga beras terus naik,” tulis sejarawan Peter Carey dalam buku Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855.
Wabah kolera yang datang di masa itu hampir sama mematikannya dengan prediksi seorang ulama asal Blitar yang menyebut dirinya Kiai Iman Sampurna pada 1819. “Pada tahun Alip di Jawa mendatang, akan datang epidemi besar dari bagian barat,” tulis Kiai Iman Sampurna seperti dikutip Carey dalam bukunya.
Instruksi Kiai Iman Sampurna itu juga menulis bahwa, “Setelah epidemi datang, Jawa akan menjadi lautan darah dengan mayat-mayat yang melayang.” H.G. Nahuys van Burgst yang pada waktu itu menjadi Residen Surakarta mencatat bahwa virulensi atau keganasan wabah menyerang banyak orang hanya dalam waktu beberapa jam saja membuat orang-orang seketika tumbang di tempat.
Wabah kolera membuat orang yang terjangkit muntah-muntah dan buang air besar yang hebat. Wabah ini menular melalui air, makanan dan minuman, serta kontak langsung. Menurut buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia, mereka yang diserang kolera bisa mati dalam beberapa jam jika tidak ditangani dengan tepat.
Dibawa oleh pelaut dari Pulau Pinang dan Malaka, wabah ini pertama kali pecah pada 1819 di kampung Melayu, Torbaya, Semarang. Namun saat itu wabah kolera belum menjadi epidemi yang mematikan dan masih terlokalisir di satu wilayah. Pekan terakhir di bulan April 1821, tercatat 1.225 orang tewas akibat kolera.
Pada awal Mei 1821, kolera menyebar luas di sepanjang pantai utara Jawa. Serangan terdahsyat menimpa Batavia dengan angka 156 kematian dalam sehari dan Surabaya dengan 76 kematian dalam sehari pada puncak epidemi di bulan Juni.
“Ada hari-hari ketika di Batavia terdapat 160 orang mati akibat kolera. Mereka mengalami kejang-kejang hebat dan meninggal dunia beberapa saat kemudian,” catat Roorda van Eysinga dalam Verschillende Reizen en Lotgevallen seperti dikutip dari Historia.
Gelombang pertama epidemi ini usai pada akhir Agustus, tapi di beberapa wilayah di Jawa Timur seperti Surabaya dan Madura wabah berlanjut hingga akhir tahun. “Jadi dari bulan Maret sampai bulan Desember 1821 dan diperkirakan kira-kira 120 sampai 150 ribu orang meninggal,” ucap Carey ketika dihubungi kumparan pada 27 Mei 2020. Padahal populasi di Jawa pada masa itu hanya sekitar 6,5 juta jiwa.
Tingginya angka kematian akibat wabah di tahun itu diperkirakan karena kondisi masyarakat yang buruk akibat musim kering yang panjang dan tingginya biaya makanan. “Ditambah fakta bahwa epidemi berada pada puncaknya selama bulan puasa (23 Mei-22 Juni 1821) ketika resistensi terhadap penyakit pada sebagian populasi lebih rendah,” tulis Carey dalam bukunya.
Nahuys bahkan pernah mengeluarkan surat instruksi agar tidak berpuasa karena wabah kolera. Sementara Sunan Pakubuwana V yang memerintah pada 1820-1823 melaksanakan ritual dengan mengirim sekelompok santri dari Istana Surakarta ke pantai utara untuk membersihkan kuburan leluhur dan wali dari dinasti Mataram.
Menurut Carey, pada masa itu Belanda juga kewalahan sebab tak memiliki cukup pengetahuan untuk mencegah dan menangani wabah tersebut. “70 persen dari penduduk akhirnya kena dan itu menjadi ada kekebalan herd immunity,” ucap Carey. Kondisi yang membuat epidemi itu mereda sementara setelah menelan ratusan jiwa penduduk pada gelombang pertamanya.
Lukisan Raden Saleh yang menggambarkan petaka di Jawa. Foto: Dok. kitlv.nl
Keganasan wabah, kekeringan, dan gagal panen yang terjadi di bulan paling suci dan religius dalam permainan wayang dikenal sebagai zaman kala bendu atau waktu murka. Pergolakan itu dipercaya sebagai salah satu pertanda akan datangnya Ratu Adil.
“Di ramalan Joyoboyo, tanda-tanda alamiah sebelum muncul seorang Ratu Adil untuk membuat seimbang lagi di dalam alam adalah ada beberapa malapetaka,” ucap Carey. Mulai dari pagebluk, paceklik, dan melutusnya gunung api pada 28 Desember 1822 dipercaya masyarakat sebagai pertanda diperlukannya tatanan baru dan Ratu Adil telah dekat.
Selain bencana alam dan wabah yang terjadi, ada pula persoalan persoalan sosial ekonomi. “Pertama ada isu dari Belanda yang pulang lagi (ke Hindia Belanda) pada 19 Agustus 1816. Dan mereka (Belanda) datang dengan salah satu tujuan, yaitu secepat mungkin meraih untung di Pulau Jawa,” tutur sejarawan Inggris yang telah menghabiskan puluhan tahun hidupnya meneliti Babad Diponegoro.
Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menarik pajak tinggi dari rakyat, memilih untuk menyewakan tanah-tanah kepada investor dari Tiongkok ketimbang bekerja sama dengan bangsawan pribumi, serta alih fungsi lahan-lahan sawah dan hutan ke industri monokultur seperti gula pada masa itu.
Salah satu potret pertempuran diponogoro. Foto: Dok. Wikimedia
Kondisi tersebut memicu pemberontakan demi pemberontakan hingga berujung pada Perang Jawa atau Perang Diponegoro. Sosok Ratu Adil itu kemudian dipercaya mewujud pada Pangeran Diponegoro yang memimpin pemberontakan melahirkan Perang Jawa pada 1825. “Jadi seiring dengan pemberontakan Diponegoro, sudah ada pergerakan massal dari wong cilik di Jawa Tengah Selatan,” ucap Carey.
Menurutnya, gerakan wong cilik itu dipicu oleh isu-isu kelaparan dan kesengsaraan yang datang langsung wabah kolera, paceklik, dan gagal panen. Kondisi tersebut membuat Perang Diponegoro berlangsung masif di hampir seluruh Jawa dan bertahan cukup lama hingga 1830 berkat dukungan dari masyarakat luas.
Peter Carey menyebutnya sebagai satu gerakan sosial yang masif. Sebab tak hanya kalangan bangsawan pengikut Pangeran Diponegoro yang berperang, tapi juga dari kalangan santri, kiai, wong cilik, hingga anasir-anasir dunia hitam seperti para jago dan bandit.
Persoalan kesehatan, kemiskinan, dan penindasan yang dialami oleh warga, menurut Carey, adalah sumsum tulang dari seorang Diponegoro. “Dia bahu-membahu dengan wong cilik dan dia bisa merasakan situasi yang begitu memilukan.”
Bagi Carey, jelas sudah bahwa yang mendorong Diponegoro melawan sedemikian hebat bukan karena hendak merebut takhta dan menjadi sultan. “Tapi yang mendorong dia adalah keadilan sosial.”
Sementara itu gelombang wabah kolera sendiri muncul berkali-kali sebab tak ada cukup upaya menangani wabah tersebut. Pada 1864, kolera kembali menelan 240 nyawa penduduk Eropa dan lebih dari 400 penduduk pribumi.
Pada 1910-1911, atau 90 tahun setelah pertama kali merebak, kolera kembali menewakan ribuan nyawa. Menurut Ensiklopedia Jakarta: Volume 2, di tahun itu total warga Batavia yang mati karena kolera mencapai 6.000 orang.
“Begitu banyaknya orang meninggal sehingga banyak mayat yang tidak sempat dikubur. Mayat-mayat itu diletakkan di dekat jalan raya bersama peti matinya. Wabah itu bahkan menyebar hingga ke kota Bogor,” tulis Wiwin Juwita Ramelan, dkk dalam laporan penelitian di Universitas Indonesia berjudul ‘Penyakit Menular di Batavia’.
Bahkan ketika vaksin kolera telah ditemukan pada 1911, kolera masih kerap menelan nyawa hingga 1920.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona