Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Wajah Ceria Pelajar Yogya dengan Seragam Pakaian Adat
28 April 2017 17:31 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT

Suasana sekolah di SMA Negeri 8 Yogyakarta tampak meriah hari itu. Para siswa yang duduk di taman tengah sekolah tampak lebih berwarna dari biasanya.
ADVERTISEMENT
Hari itu, Kamis (27/4), murid-murid di sekolah tanpa seragam putih abu-abu seperti biasanya. Kegiatan belajar mengajar guru dan murid yang sama-sama mengenakan pakaian adat.
Empat siswi berkebaya duduk di taman tengah sekolah kemudian bercerita bahwa Kamis kali ini dirayakan dengan berseragam pakaian adat.
“Hari ini adalah Kamis Pahing. Pakaian ini untuk memperingati hari bersejarah peringatan penting di Yogyakarta,” ujar Zahra kepada kumparan (kumparan.com) saat mengunjungi sekolahnya.
Siswi lainnya, Nadine, menjelaskan bahwa Kamis Pahing adalah hari peringatan berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang saat ini bertempat di Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta.
“Barengan dengan peristiwa bersejarah itu, kita semua memakai pakaian daerah. Ya kita mau ikut melestarikan budaya jawa yang pakaiannya lurik dan kebaya,” ujar Nadine.
ADVERTISEMENT

Kebiasaan menggunakan pakaian adat di Kota Yogyakarta telah dimulai pada tahun 2014. Lewat Keputusan Wali Kota Yogyakarta nomor 173 tahun 2014, setiap Kamis Pahing diperingati dengan menggunakan pakaian tradisional Gagrak Yogyakarta. Peraturan tersebut berlaku untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) di jajaran Pemerintah Kota Yogyakarta, termasuk pelajar-pelajar.
Pemberlakuan Kamis Pahing otomatis mengikuti rotasi waktu kalender Jawa. Dalam kalender jawa, terdapat lima hari pasaran yaitu pon, wage, kliwon, legi, pahing. Sehingga, Kamis Pahing akan terjadi 35 hari sekali, begitu juga jadwal memakai seragam adat tersebut.
Gagrak Yogyakarta adalah pakaian adat yang menjadi ciri warisan leluhur bumi Mataram. Menurut dokumen perwal tersebut, disebutkan secara mendetail bagaimana gagrak Ngayogyakarta. Pria menggunakan pakaian lurik, jarik motif setempat, blangkon, serta selop. Sementara perempuan menggunakan kebaya tangkhepan dan jarik.
ADVERTISEMENT
Kamis Pahing dipilih karena memiliki makna sejarah penting bagi masyarakat Kota Yogyakarta. Pada tahun 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengkubuwono I memindahkan keraton dari pesanggrahan Ambarketawang menuju lokasi tempat di mana Kraton saat ini berdiri di pusat Kota Yogyakarta.

Peringatan sejarah tersebut memang sengaja dirayakan dengan pemberlakuan pakaian adat di Kota Yogyakarta. Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, menginginkan masyarakat kota Yogyakarta sadar terhadap warisan leluhur berupa pakaian adat.
“Tujuan dari penggunaan pakaian itu untuk memperkenalkan dan mengingat bahwa kita punya pakaian Jawa seperti itu,” ujar Haryadi kepada kumparan Kamis,(28/4).
Haryadi menyadari bahwa budaya dibentuk dengan contoh. “Kalau kita mau menyuruh orang lain itu perlu memberi keteladanan. Sehingga, pemberlakuan pakaian adat sebagai nilai ajar di Yogyakarta.”
ADVERTISEMENT
Perwal kemudian disambut antusias oleh institusi pendidikan di kota gudeg. Memikul nama kota budaya dan kota pelajar membuat jajaran pendidik di kota tersebut merasa pemberlakuan semacam itu perlu dilakukan.
Semangat tersebut diamini oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Edy Hari Suasana. “Ini bagian dari menggali sejarah kearifan lokal kami. Agar murid-murid memahami ageman (pakaian) budaya tradisional yang penuh makna,” ujar Edy.
Edy selanjutnya mengaku bahwa program pendidikan pelestarian budaya pada Kamis Pahing diikuti rangkaian proses lainnya. “Kemudian sekaligus menanamkan karakter seperti unggah-ungguh (sopan santun). Komunikasi dilakukan dengan bahasa Jawa sesuai pakem yang berlaku,” bebernya.
Para Guru juga mengakui perlunya pendidikan kebudayaan. Kepala sekolah SMA Negeri 8 Yogyakarta, Munjid Nur Alamsyah melihat bahwa pendidikan berbasis kearifan lokal menjadi keharusan melihat jalan terjal hidup generasi yang tumbuh di cepatnya informasi dan globalisasi.
ADVERTISEMENT
“Nanti takutnya tergerus modernisasi. Jadi agar supaya anak-anak punya kesempatan untuk memakai pakaian yang diwariskan. Masa abdi dalem saja yang pakai, ya bisa bubar,” tutur Munjid.
Ia kemudian melanjutkan bahwa para Guru pun juga memakai pakaian adat saat mengajar. “Kita juga memakai sama seperti yang dikenakan anak-anak. Untuk memberikan keteladanan,” imbuhnya.

Kebijakan ini telah diberlakukan terhadap tiga generasi sejak tahun 2014. Ekspresi beragam datang dari murid-murid yang menjadi objek kebijakan.
Rama Ahlul, siswa kelas XI, mengaku tidak masalah dengan pemberlakuan seragam pakaian adat tersebut. “Ya ikut nguri-uri (memelihara) kebudayaan Jogja to mas. Ini kan tugas kami sebagai pelajar,” tuturnya.
Namun Rama mengakui kalau pakaian adat sedikit membuatnya ribet. Dia tampak benar-benar totaliatas siang itu. Pakaian lurik, jarik, dan selop melekat di tubuhnya sejak pagi.
ADVERTISEMENT
Ketika ditemui sedang mengayuh sepeda di depan gerbang sekolah, dia mengeluh sambil mengusap keringat. “Yo panas mas, lebih panas dari seragam biasanya,” celetuk Rama.
Sementara para siswi merasa bahwa penggunaan pakaian adat perempuan tidak lagi ribet. “Dulu sih kalau pakaian adat kita pikir ribet. Harus pakai sanggul, bebetan, jalan susah. Sekarang sudah ada jarik yang praktis dan tidak mempersulit kami saat jalan,” ungkap Arsya.
Karena kemudahan tersebut, para siswi cenderung tidak mempermasalahkan penggunaan pakaian adat. “Saya mau kok kalau pakai terus setiap hari,” kesan Zahra.