Wajah Kelam Afrika: Ada 214 Percobaan Kudeta, 106 di Antaranya Berhasil

5 September 2023 17:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pendukung kudeta menyemangati petugas polisi di Libreville, Gabon. Foto: GABON 24/via AP
zoom-in-whitePerbesar
Pendukung kudeta menyemangati petugas polisi di Libreville, Gabon. Foto: GABON 24/via AP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rezim Presiden Ali Bongo Ondimba akhirnya digulingkan melalui kudeta militer pada Rabu (30/8). Otak kudeta Brice Oligui Nguema pun dilantik sebagai pelaksana tugas (plt) Presiden Gabon pada Senin (4/9).
ADVERTISEMENT
Kudeta itu dilakukan usai Bongo mengumumkan kemenangan pada pemilu Gabon. Perebutan kekuasaan oleh Nguema ini sekaligus menyudahi kekuasaan dinasti Bongo selama 56 tahun. Nguema pun berjanji akan tetap melaksanakan pemilu yang demokratis.
"Pemilu akan dilakukan cepat tapi pasti tapi kami akan berhati-hati dan tidak terlalu tergesa-gesa maka dapat membuat pemilu hilang kredibilitas," kata Nguema seperti dikutip dari Reuters.
Juru bicara tentara pemberontak memberikan keterangan saat mereka mengumumkan merebut kekuasaan di Libreville, Gabon. Foto: GABON 24/via AP
Ali Bongo merupakan putra dari mantan presiden Omar Bongo yang memerintah pada 1967 sampai 2009. Dia meneruskan kepemimpinan sang ayah dari tahun 2009. Meski begitu, oposisi menuding keluarga Bongo tidak becus mengatasi kesenjangan sosial pada 2,3 juta penduduknya.
Sementara itu, Nguema adalah mantan kepala pasukan pengawal presiden (Paspampres) di pemerintahan Bongo. Dia sempat menjadi ajudan dari Omar Bongo yang menjadi presiden selama 41 tahun.
ADVERTISEMENT

Afrika Penuh Kudeta

Kudeta di Gabon pada 30 Agustus itu bukanlah yang pertama terjadi di Afrika. Sebelum Gabon, misalnya, kudeta lebih dulu pecah di Niger pada Juli 2023 lalu. Presiden Mohamed Bazoum pun ditahan di dalam istananya.
Meski begitu, jauh sebelum Gabon atau Niger, kudeta memang seringkali meletus di benua Afrika. Sejak tahun 1950, jumlah percobaan kudeta di Benua Afrika merupakan yang terbanyak di seluruh dunia.
Berdasarkan penelitian Jonathan M. Powell dan Clayton L.Thyne, ada 204 percobaan kudeta dan 106 di antaranya berhasil. Selain itu, Powell juga mencatat bahwa ada 45 dari 54 negara di Afrika yang pernah mengalami sedikitnya sekali percobaan kudeta.

Mengapa Afrika Sering Ada Kudeta?

Ada jawaban menarik dari Paul Collier and Anke Hoeffler dalam artikel berjudul “Coup Traps: Why does Africa have so many Coups d’Etat?” (2005). Mereka menyebut akar dari maraknya kudeta di Afrika disebabkan tata kelola pemerintahan yang buruk.
ADVERTISEMENT
Menurut keduanya, bobroknya tata kelola pemerintahan muncul dari buruknya fondasi ekonomi Afrika. Ironisnya, Afrika sebetulnya kaya dengan sumber daya alam yang berlimpah.
Oleh sebab itu, Collier dan Hoeffler menilai bahwa negara-negara di sana bisa diselamatkan dari ancaman kudeta jika mereka bisa mencapai pertumbuhan ekonomi ketimbang reformasi politik.
Sementara itu, jawaban berbeda disampaikan Valery Besong. Dalam esai berjudul “Coup d’etats in Africa: The Emergence, Prevalence and Eradication” (2005), Besong menilai negara-negara di Afrika tidak menjalankan pemerintahan yang demokratis.
Kala itu, Besong sudah mencontohkan betapa curangnya pemilu di Gabon. Ia merujuk Presiden Omar Bongo yang selama puluhan tahun bisa berkuasa dengan cara mengintervensi konstitusi. Ini persis seperti ketiadaan pembatasan periode kekuasaan seperti di era Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan kumparan, sejumlah kudeta di Afrika memang seringkali dirayakan oleh rakyatnya. Di Niger, misalnya, stadion-stadion dipenuhi masyarakat yang mendukung pengalihan kekuasaan oleh militer pada kudeta 26 Juli lalu.
Tahun 2021, aksi turun ke jalan dilakukan masyarakat Guinea setelah militer menggulingkan Alpha Conde, presiden yang memperpanjang masa jabatannya meski mendapat tentangan.
Para pakar menyebut reaksi optimis dari masyarakat ini merupakan bentuk ekspresi frustrasi mereka atas kepemimpinan sipil di Afrika.
“Ini merupakan kesempatan untuk mengatakan bahwa pemerintah yang digulingkan memang tidak sepenuhnya merepresentasikan kepentingan rakyat,” ujar Leena Koni Hoffmann, pakar dari lembaga Chatham House di London, dilansir Al Jazeera.