Wakil Ketua KPK Minta MK Hapus Pasal 'Berhubungan dengan Pihak Berperkara'

13 November 2024 19:42 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sidang perdana permohonan uji materi yang dilayangkan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata terkait pasal 'berhubungan dengan pihak berperkara' dalam UU KPK, di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (13/11/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sidang perdana permohonan uji materi yang dilayangkan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata terkait pasal 'berhubungan dengan pihak berperkara' dalam UU KPK, di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (13/11/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, mengajukan permohonan pengujian materil terhadap norma di Pasal 36 huruf a UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Pasal itu mengatur larangan bagi komisioner KPK dalam mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan pihak berperkara di KPK dengan alasan apa pun.
Berikut bunyi pasal 36 tersebut:
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang:
a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun.
Permohonan uji materi itu dilayangkan oleh Alex bersama dengan dua orang pegawai KPK. Mereka adalah: Lies Kartika Sari selaku auditor muda KPK (pemohon 2) dan Maria Fransiska selaku pelaksana pada unit sekretaris pimpinan KPK (pemohon 3). Gugatan tersebut didaftarkan ke MK pada 4 November 2024.
Sidang perdana gugatan ini digelar MK pada Rabu (13/11). Agendanya pemeriksaan pendahuluan.
ADVERTISEMENT
Dalam gugatan itu, Alex mengaku pasal tersebut telah membawa kerugian konstitusional baginya. Hal itu lantaran tak adanya batasan yang jelas dalam frasa 'hubungan ... dengan alasan apa pun'. Pasal itu pula yang membuatnya dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan tindak pidana.
Dalam permohonan, Alex pun meminta MK untuk menghapus pasal tersebut dan menyatakan tidak berlaku lagi. Atau, mengubah norma dalam Pasal 36 tersebut.
"Mahkamah Konstitusi perlu mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi, atau memaknai Pasal 36 dengan 'Pasal 36: Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang: (a) mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau yang mewakilinya dengan maksud untuk meringankannya'," ujar kuasa hukum Alex, Ario Montana, dalam membacakan permohonan di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (13/11).
ADVERTISEMENT
Berikut petitum Alex Marwata dkk sebagaimana dibacakan oleh kuasa hukum dalam persidangan:
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyoroti perbedaan yang dituliskan oleh Pemohon dalam petitum gugatannya.
Dalam petitumnya, Alex meminta MK menyatakan Pasal 36 huruf a UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut Arief, terdapat inkonsistensi antara alasan permohonan dengan petitum gugatan.
ADVERTISEMENT
"Tadi sedikit di posita atau dimaknai, loh kok sekarang petitumnya kok dihapus semua?" tanya Arief kepada kuasa hukum Alex.
"Saya baca ya, 'Menyatakan Pasal 36 a dan seterusnya bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat'. Berarti pasal itu dihapus, tidak dimaknai. Tadi di posita ada supaya dimaknai," jelas Arief.
Arief lantas meminta permohonan yang diajukan tersebut mesti konsisten.
"Nah, itu supaya konsisten. Jadi saudara memang betul menghendaki itu dihapus atau dimaknai yang lain?" kata Arief.
"Boleh, misalnya boleh asal itu selama menggunakan dalam menjalankan tugas-tugas. Kalau tidak menjalankan tugas ya nggak boleh ketemu, gitu. Tapi, kalau pas melaksanakan tugas, ketemu di kantor, terbuka, boleh. Misalnya itu yang mau dimaknai itu. Atau minta dihapus, supaya yang jelas," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Hal senada juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman. Ia meminta objek permohonan tersebut perlu diperjelas.
"Kalau dihubungkan dengan petitum yang disampaikan Yang Mulia Prof Arief, ini pasal 36 ini minta dinyatakan inkonstitusional, dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 dan Pasal 28I ayat 2," kata Anwar.
"Sementara tadi juga disinggung, di positanya, seolah-olah minta dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Ini supaya diperjelas, ya," paparnya.
Dengan kondisi tersebut, Anwar pun menekankan bahwa adanya pertentangan antara dalil gugatan dan petitum gugatan.
"Jadi, kalau misalnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat, alasannya dipertajam," jelas Anwar.
"Kalau dinyatakan inkonstitusional secara menyeluruh, seluruh pasalnya ini juga harus di, berarti mau tidak mau, positanya harus dilakukan perbaikan, karena ada pertentangan, antara posita dengan petitum," tandasnya.
ADVERTISEMENT

Kriminalisasi Insan KPK

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait Ketua KPK Firli Bahuri yang menjadi tersangka, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (23/11/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Adapun dalam gugatan bersama dengan pegawai KPK itu, Pemohon juga menggugat Pasal 37. Dalam gugatannya, disebut bahwa penerapan Pasal 36 kolektif dengan Pasal 37 juga menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon 2 dan Pemohon 3 selaku pegawai KPK.
Menurut Alex, dua pasal itu dinilai jadi alat untuk mengkriminalisasi insan KPK.
"Apa urgensinya? Pasal itu bagi kami (pimpinan dan pegawai) bisa dijadikan alat untuk mengriminalisasi pimpinan dan pegawai KPK," ujar Alex kepada wartawan, Kamis (7/11) lalu.
Alex menyebut, rumusan kedua pasal itu tidak jelas. Meskipun, dalam penjelasan UU KPK telah dinyatakan dengan cukup jelas.
Ketidakjelasan itu lantaran adanya batasan yang tidak pasti di dalam normal Pasal 36 huruf a UU KPK. Selain itu, juga banyak kejanggalan di norma Pasal yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
"Kalau dengan tersangka sudah jelas perkara sudah di tahap penyidikan dan tersangka sudah ada. Tapi, pihak lain itu siapa? Batasan perkara itu di tahap apa? Dengan alasan apa pun itu apa maknanya?" tutur Alex.
"Kalau tidak ada penjelasannya bisa jadi penerapannya pun akan semau-maunya penegak hukum. Apakah laporan masyarakat yang bahkan belum penyelidikan juga dianggap perkara?" lanjut dia.
Tak hanya itu, Alex juga memaparkan penafsiran frasa 'dengan alasan apa pun' di dalam Pasal 36 huruf a tersebut.
"Bagaimana kalau dalam rangka melaksanakan tugas? Bagaimana kalau pertemuan/komunikasi dilakukan dengan iktikad baik atau misalnya pada saat bertemu tidak tahu status orang yang ditemui?" tutur dia.
"Kalau tanpa pengecualian berarti bertemu di kondangan pun bermasalah, sekalipun tidak ada hal penting yang dibahas," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Alex menegaskan, mestinya ada penjelasan konteks pertemuan yang dimaksud di dalam pasal tersebut. Misal, yang mengakibatkan munculnya konflik kepentingan atau terhambatnya penanganan perkara di KPK.
Lebih lanjut, Alex pun menyebut bahwa hanya aparat penegak hukum yang tak memahami esensi dari dua pasal yang digugatnya bersama pegawai KPK tersebut.
Sehingga, lanjut dia, justru menilai pertemuan dengan setiap orang yang berurusan dengan lembaga antirasuah sebagai perbuatan pidana.
"Pasal 36 dan 37 merupakan ranah etik untuk menjaga integritas insan KPK dan marwah KPK. Jadi, sebelum ke pidana mestinya dilihat apakah ada pelanggaran kode etik," ucap Alex.