Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Wakil Menko Otto Hasibuan: Pasal 2 dan 3 UU Tipikor Selalu Jadi Kontroversi
14 November 2024 12:23 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sedang jadi sorotan. Sebab, muncul perdebatan mengenai kemungkinan adanya kriminalisasi atas suatu kebijakan dalam penerapan pasal tersebut.
ADVERTISEMENT
Berikut bunyi kedua pasal tersebut:
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
ADVERTISEMENT
Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Otto Hasibuan, menilai kedua pasal itu memang menjadi kontroversi karena seringkali menimbulkan perdebatan.
"Pasal 2 dan Pasal 3 selalu menjadi kontroversi bagi kita semua," kata Otto dalam membuka seminar Lembaga Kajian Keilmuan FHUI bersama Katadata Insight Center bertajuk ‘Kriminalisasi Kebijakan dalam Jerat Pidana Korupsi’ di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Kamis (14/11).
Sejumlah pihak menjadi narasumber dalam seminar ini. Termasuk Romli Atmasasmita (Guru Besar Unpad - Tim Perumus UU Tipikor dan UU KPK), Amien Sunaryadi (Wakil Ketua KPK 2003-2007), Chandra Hamzah (Wakil Ketua KPK 2007-2011), dan Ahmad Redi (Pengajar Pascasarjana Universitas Borobudur).
Kedua pasal dalam UU Tipikor itu mengatur soal pidana terkait kasus korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara. Unsur dalam Pasal 2 terkait dengan perbuatan melawan hukum serta memperkaya diri sendiri atau orang lain. Sementara unsur dalam Pasal 3 terkait dengan penyalahgunaan kewenangan.
ADVERTISEMENT
"Yang mana sebenarnya kalau kita lihat bahwa penyalahgunaan atau perbuatan melawan hukum dengan penyalahgunaan kewenangan inheren, kan sebenarnya unsurnya perbuatan melawan hukum sudah ada di sana. Kalau orang melakukan penyalahgunaan kewenangan ya pasti dia juga melawan hukum," papar Otto.
Menurut Otto, ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa adanya rumusan dalam pasal tersebut dianggap terlalu lentur. Sebab tidak menggambarkan tentang actus reus (perbuatan pidana) di dalam pasal 2 tersebut tentang perbuatan melawan hukum.
"Perbuatan yang nyatanya tuh yang mana," ucap Otto.
Otto menyebut bahwa kemudian ada sejumlah pihak yang menggugat Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor itu ke Mahkamah Konstitusi. Dalam beberapa putusannya, MK sempat menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal tersebut tidak lentur.
ADVERTISEMENT
"Saya melihat juga dalam putusan Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa sebenarnya itu tidak lentur karena memang unsur dengan adanya perbuatan melawan hukum dan memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan merugikan keuangan negara itu sudah termaktub di dalamnya," sambung Otto.
Otto menambahkan, perdebatan lain yang muncul dengan keberadaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor adalah terkait dengan pertimbangan business judgement rule. Mengenai kebijakan yang diambil dan kemudian berujung pidana.
"Argumen lain yang muncul adalah yang sering dipermasalahkan para pengacara, adalah bagaimana peranan business judgement rule-nya itu, apakah tidak dipertimbangkan," kata Otto.
"Tapi di pihak lain mengatakan bahwa betul business judgement rule-nya itu memang harus dipertimbangkan tetapi jangan sampai digunakan untuk menutupi perbuatan pidana itu," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Sorotan lain adalah mengenai mens rea atau niat jahat dalam penerapan pasal tersebut.
"Selama ini orang mengatakan bahwa mens rea tidak begitu banyak diperhatikan, jadi langsung niat buruknya tidak diperhatikan yang penting bisa memenuhi persyaratan rumusan Undang-Undang," ungkap Otto.
"Tapi yang lain mengatakan sebenarnya sudah, masalah-masalah ini bisa saya dapatkan dari pengalaman saya," imbuh Otto yang juga seorang advokat itu.
Menurut Otto, peranan aparat penegak hukum menjadi penting dalam menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Sebab, penerapan yang sembarangan akan justru melukai keadilan.
"Maka kita hanya bisa berharap kepada penegak hukum agar menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 sebaik-baiknya dengan hati hati dan dengan sejujur-jujurnya. Jangan sampai diperlakukan dengan cara tidak adil," papar Otto.
ADVERTISEMENT
"Dengan penerapan pasal ini kalau dilaksanakan dengan hati-hati dan adil itu juga benar, baik, karena kita bisa menjerat pelaku korupsi kalau dia betul-betul melakukan perbuatan itu," pungkasnya.