Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Sri Lanka tengah berjibaku dengan penyebaran berita hoaks yang bertujuan memperkeruh suasana usai serangan bom gereja April lalu. Berita hoaks masih membanjiri negara itu, kendati pemblokiran media sosial dan aplikasi berbagi pesan telah dilakukan.
ADVERTISEMENT
Negara itu sebelumnya telah menerapkan pemblokiran media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, dan WhatsApp selama sembilan hari menyusul serangan bom gereja pada Paskah 21 April lalu yang menewaskan 258 orang. Pemblokiran kembali dilakukan setelah terjadi penyerangan terhadap masjid dan warga Muslim di kota Chilaw.
Menurut kantor berita AFP, Selasa (21/5), walau pemblokiran dilakukan masih ada puluhan berita palsu yang menyebar di media sosial. AFP telah melakukan pelurusan berita dari banyak kabar tidak jelas yang beredar.
Di antara kabar palsu adalah penyebaran foto peti mati dan pemakaman yang disebut korban pengeboman. Setelah ditelusuri ternyata itu adalah foto pada perang sipil Sri Lanka puluhan tahun lalu.
Foto dengan keterangan palsu lainnya menampilkan sekumpulan pria mengenakan kaus ISIS. Ternyata itu foto lima tahun lalu, dan bukan di Sri Lanka melainkan di India.
ADVERTISEMENT
Sebuah video tersebar di Facebook, menunjukkan penangkapan seorang pria menyamar sebagai perempuan dengan burqa. Dia disebut terlibat pengeboman gereja. Video itu ternyata tahun 2018, dan pria itu bukan teroris, tapi seseorang yang kabur dari utang.
Berita hoaks juga muncul di Twitter. Seorang yang mengaku tentara Sri Lanka mencuit bahwa India terlibat serangan bom gereja. Akun itu dihapus Twitter setelah mendapat protes dari militer Sri Lanka.
Menurut para ahli, masih tersebarnya berita palsu karena pengguna internet menggunakan VPN atau jaringan virtual privat untuk bisa menembus blokir medsos. Hal ini mereka lakukan agar bisa tetap terhubung dengan kawan atau kerabat.
Sanjana Hattotuwa, pemantau berita palsu di Pusat untuk Kebijakan Alternatif di Kolombo mengatakan pemerintah telah gagal memblokir internet. Hal ini menyebabkan banyaknya penyebaran berita palsu.
ADVERTISEMENT
"Pemblokiran pemerintah gagal mencegah keterlibatan, produksi, penyebaran, dan diskusi konten Facebook," kata Hattotuwa.