Walau Menang Referendum, Bougainville Belum Tentu Jadi Negara Baru

11 Desember 2019 15:07 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden regional Bougainville John Momis (kanan) bersiap untuk memberikan suara dalam pemungutan suara bersejarah kemerdekaan di Buka, Sabtu (23/11). Foto: NESS KERTON / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Presiden regional Bougainville John Momis (kanan) bersiap untuk memberikan suara dalam pemungutan suara bersejarah kemerdekaan di Buka, Sabtu (23/11). Foto: NESS KERTON / AFP
ADVERTISEMENT
Mayoritas rakyat Bougainville memilih untuk pisah dari Papua Nugini dalam hasil referendum yang diumumkan Rabu (11/12). Namun hal ini tidak serta merta menjadikan Bougainville negara baru, bahkan pulau di timur Papua Nugini itu belum tentu bisa merdeka.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, hasil referendum tersebut tidaklah mengikat. Artinya, walau 98 persen dari 181.067 orang pilih Bougainville merdeka, namun keputusan akhir tetap di tangan pemerintah pusat Papua Nugini.
Hal ini ditegaskan oleh James Marape, perdana menteri baru Papua Nugini, pada Oktober lalu. Dia mengatakan bahwa hasil referendum yang digelar pada 23 November dan 7 Desember itu akan "dipertimbangkan".
Sebuah kendaraan yang mengibarkan bendera Bougainville lewat saat referendum kemerdekaan yang tidak mengikat di Arawa, di pulau Bougainville, Papua Nugini. Foto: REUTERS/Melvin Levongo
"Hasil referendum tidak mengikat dan akan dipertimbangkan oleh para pemimpin baik dari Pemerintah Nasional dan Pemerintah Otonomi Bougainville. Parlemen Nasional akan voting untuk menyetujui hasilnya, apakah otonomi khusus atau untuk kemerdekaan," kata Marape seperti dikutip dari media lokal Post Courier.
Akan ada proses politik panjang setelah referendum ini, termasuk upaya ratifikasi di parlemen Papua. Pua Temu, menteri Papua Nugini untuk urusan Bougainville mengakui hasil referendum sangat kredibel, namun dia meminta rakyat bersabar untuk proses berikutnya.
ADVERTISEMENT
"Berikan Papua Nugini waktu yang cukup untuk menyerap hasil ini," kata Temu, diberitakan Reuters.
Presiden regional Bougainville John Momis (tengah) tiba di tempat pemungutan suara untuk memberikan suara dalam pemilihan kemerdekaan bersejarah di Buka. Foto: NESS KERTON / AFP
Referendum kemerdekaan adalah hasil kesepakatan damai antara kelompok pemberontak dan pemerintah Papua Nugini pada 1998. Sebelumnya konflik kedua pihak telah menewaskan sekitar 20 ribu orang, atau 10 persen dari populasi Bougainville.
Papua Nugini berat juga untuk melepas Bougainville. Pasalnya wilayah berukuran 10 ribu kilometer persegi itu memiliki banyak sumber daya tambang yang menguntungkan, di antaranya tembaga dan emas.
Selain itu, Papua Nugini khawatir hal ini akan jadi preseden bagi puluhan provinsi lainnya yang bisa menuntut otonomi, atau bahkan kemerdekaan.
Warga memegang bendera Bougainville di tempat pemungutan suara selama referendum kemerdekaan yang tidak mengikat di Arawa, di pulau Bougainville, Papua Nugini. Foto: REUTERS/Melvin Levongo
Jika pun kemerdekaan Bouganville disetujui, masih butuh waktu lama dan kerja keras untuk pulau tersebut bisa membangun negara. Wakil Presiden Bougainville Raymond Masono memperkirakan waktu transisi mencapai 10 tahun hingga Bouganville mapan secara institusi negara.
ADVERTISEMENT
"Kami membayangkan waktu yang panjang untuk transisi. Bougainville belum siap untuk merdeka sekarang, karena kami tidak memiliki institusi negara yang mapan. Kami butuh waktu 10 tahun," kata dia.
Tapi rakyat Bougainville kadung gembira. Mereka optimistis bisa membangun negara itu dengan baik, perlahan namun pasti, seperti yang disampaikan mantan penyiar radio Peter Sohia.
"Kami memang tidak punya rumah sakit, sekolah, atau jalanan dan infrastruktur terbaik, tapi semangat kami tinggi dan itu akan membawa kami kemana pun kami mau," kata Sohia kepada AFP.