Walhi Gugat UU Sumber Daya Air yang Baru Disahkan

19 September 2019 20:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kemarau,Kekeringan air Foto: ANTARA FOTO/YusufnNugroho
zoom-in-whitePerbesar
Kemarau,Kekeringan air Foto: ANTARA FOTO/YusufnNugroho
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) tentang Sumber Daya Air. Revisi ini menuai kritik dari banyak kalangan karena dianggap bisa merugikan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai DPR terburu-buru dalam mengesahkan UU tersebut. Sebab secara substansi akan merugikan hak pemenuhan rakyat atas air.
"Walhi melihat RUU yang akan segera berubah menjadi UU ini hanya berkedok kepentingan rakyat, namun secara substansi ia memuat keterlanjuran investasi sumber daya air yang sudah meluluhlantakkan pemenuhan hak rakyat atas air," ujar Manajer Kampanye Pangan, Air & Ekosistem Esensial, Wahyu Perdana, dalam siaran pers, Kamis (19/9).
"Kedua, hanya menjadikan penguasaan negara sebagai kedok, karena memberikan ruang yang tidak jauh berbeda kepada swasta," tambahnya.
Menurutnya, kebijakan ini hanya melihat air sebagai barang dagangan. Sampai saat ini, belum ada aturan yang jelas tentang evaluasi peraturan tersebut.
"Tidak ada pengaturan yang tegas mengenai prinsip-prinsip perlindungan dan evaluasi keterlanjuran kebijakan privatisasi air yang sedang berlangsung," imbuh Wahyu.
ADVERTISEMENT
"Rumusan RUU cenderung mengedepankan kepastian hukum guna memastikan bagaimana investasi dapat berjalan," tegasnya.
Atas dasar itu, Walhi akan menempuh jalur hukum guna mencegah dampak dari UU tersebut yang dinilai merugikan masyarakat.
"Walhi akan mempersiapkan langkah hukum untuk mengantisipasi kerugian lingkungan dan rakyat pasca-RUU ini diundangkan dan dicatatkan dalam lembaran negara," tutupnya.
Seorang warga membawa air bersih dari dasar sungai Baringin, Lubuk Kilangan, Padang, Sumatera Barat, Selasa (17/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Berikut 11 poin kritik Walhi:
1. Mempersulit model pengakuan masyarakat hukum adat (MHA). Perumusan norma pengakuan dan perlindungan MHA pada Pasal 9 ayat (3)ditentukan melalui Peraturan Daerah. Pengaturan ini tentu tidak belajar dari kondisi faktual dan petunjuk MK yang menegaskan bahwa “pengukuhan masyarakat hukum adat harus dimaknai tidak bersifat konstitutif, melainkan deklaratif.” Sehingga, rumusannya seharusnya bisa diatur secara alternatif dengan memperhatikan kondisi faktual melalui pernyataan suatu instansi tertentu atau melalui peraturan daerah atau keputusan kepala daerah. Tidak dirumuskan tunggal seperti pengaturan pada RUU yang telah disahkan ini;
ADVERTISEMENT
2. Tidak ada mekanisme pengawasan secara jelas dan tegas. Pasal 56 ayat (3) malah menentukan pengawasan akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Apabila para pembuat undang-undang lebih cermat dan teliti, rumusan norma pengawasan bisa diatur dalam RUU dengan mengadopsi, baik secara penuh maupun dengan modifikasi pengaturan pada UU No. 32 /2009 tentang PPLH. Sehingga, jelas kewenangan pengawasan lebih spesifik antara kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah;
3. Perumusan konservasi air masih konservasionistik dan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat lokal maupun masyarakat adat secara komunal, pendekatannya masih individual sehingga berpotensi multi tafsir dan rawan disalahgunakan untuk kriminalisasi (pengaturannya bisa diperhatikan pada Pasal 24 s/d 27);
4. Secara kelembagaan, RUU tidak menentukan K/L khusus sebagai pemimpin operasionalisasi pengelolaan dan hal urgen lain terkait SDA. Sehingga ada potensi tumpang tindih kewengan lintas K/L;
ADVERTISEMENT
5. Perizinan RUU SDA yang sudah disahkan menyamakan perizinan perizinan guna penggunaan kebutuhan usaha dan kebutuhan bukan usaha pengusahaan air. Bahkan rumusannya membatasi inovasi rakyat dalam pengelolaan air, potensi kriminalisasi meningkat, khususnya kepada rakyat yang belum mendapatkan fasilitas pemerintah (pengaturan Pasal 44 dan 45 jo. Pasal 69);
6. Pintu swasta dan/ atau skema public private partnership dibuka. Dirumuskan prioritas perizinan untuk BUMN, BUMD dan BUMDes. Selanjutnya, dirumuskan kriteria Pada pasal 46 diatur prinsip syarat tertentu dan ketat pemberian perizinan kepada swasta, namun berdasarkan kondisi faktual kemampuan negara untuk mensupport hal ini diragukan, sehingga peran swasta dikhawatirkan masih dominan atau dikedokkan dengan skema kerja sama. Selanjutnya pengaturan Sistem Penyediaan Air Minum, tidak membuka peluang swasta, namun dalam penjelasannya ia dikecualikan untuk kategori air minum dalam kemasan, sehingga hal ini dapat dilakukan swasta secara mandiri atau skema PPP.Penyerahan pengaturan-pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah berpotensi membuka peluang swastanisasi sumberdaya air terselubung
ADVERTISEMENT
7. Mengurangi tindakan afirmatif, dengan memasukkan bea konservasi sebagai bagian dari BJPSDA (Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air).
8. Tidak merumuskan skema dan model pengawasan negara secara detail, seharusnya bisa merujuk pada pengaturan UU PPLH. Selanjutnya, RUU juga tidak mengatur ketentuan evaluasi perizinan yang sudah ada, apakah ia masih layak dipertahankan atau tidak;
9. Perumusan partisipasi rakyat dan hak veto rakyat untuk perizinan penggunaan SDA untuk kebutuhan usaha air secara ambigu. Partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya air hanya dalam bentuk penyampaian aspirasi, pemberian tanggapan, tanpa hak penolakan (Pasal 63 ayat 3). Selanjutnya, penolakan terhadap perizinan tersebut hanya diberikan untuk aktivitas swasta, tidak untuk perizinan yang diperoleh BUMN, BUMD dan BUMDes. Selanjutnya, penjelasan Pasal 51 mendefinisikan ulang kata persetujuan dengan memaknainya sebagai hasil pertemuan tanpa menegaskan yang dimaksud persetujuan adalah memperbolehkan atau tidak perizinan di lokasi masyarakat. Penolakan terhadap perizinan swasta juga direduksi dengan memaknai pemangku kepentingan sebagai perwakilan kelompok masyarakat, sehingga rawan ditafsirkan meluas dan dimanipulasi;
ADVERTISEMENT
10. Hanya mengandalkan penegakan hukum melalui instrumen hukum pidana. Tidak mengatur secara tegas penyelesaian sengketa atau pelanggaran hukum secara detail dalam skema keperdataan. Tidak dirumuskan skema pertanggungjawaban ketat. Bahkan skema pengawasan dan penegakan hukum administrasi hampir tidak ada dirumuskan dalam RUU. Perumusan ketentuan pidana juga rawan dipergunakan untuk mengkriminalisasi rakyat;
11. Ketentuan peralihan dan ketentuan penutup RUU yang disahkan ini melegalkan keterlanjuran perizinan/ swastanisasi dan privatisasi yang sudah ada. Ia menegaskan berlakunya izin yang sudah ada sebelum RUU disahkan, namun tidak memberikan perintah untuk melakukan penyesuaian dengan undang-undang yang baru. Hal ini sama artinya, praktik buruh investasi SDA yang sudah berlangsung dibiarkan terjadi tanpa harus melakukan penyesuaian.