Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Perdebatan soal kebijakan pemerintah untuk mencegah banjir pun kembali menyeruak. Kebijakan mana yang dinilai lebih baik dan terbukti efektif mengatasi banjir, normalisasi ala pemerintahan Jokowi-Ahok, atau naturalisasi ala Anies Baswedan?
Ada beberapa pihak yang menganggap normalisasi --cara mencegah banjir dengan membuat turap beton di sekeliling sungai agar air tidak meluber serta cepat sampai ke laut-- lebih berhasil mencegah banjir ketimbang naturalisasi.
Naturalisasi artinya membangun ekosistem di sungai, membuat waduk serta bendungan sebagai daerah resapan air. Sebut saja pendukung normalisasi adalah Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi dan Presiden PKS Sohibul Iman.
Berbeda dengan dua politisi tersebut, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati berpendapat tidak ada yang lebih baik antara normalisasi atau pun naturalisasi. Menurut Nur, keduanya akan lebih baik jika dilakukan secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
“Untuk yang sekarang kalau normalisasi dan naturalisasi digabungkan mungkin akan lebih efektif, apalagi di era cuaca ekstrem serta ancaman climate change seperti saat ini,” kata Nur saat dihubungi kumparan, Sabtu (4/1).
Nur menjelaskan, cuaca ekstrem merupakan sebuah kondisi ketika musim kemarau berlangsung lebih lama ketimbang musim hujan. Cuaca ekstrem, kata Nur, juga ditunjukkan dengan musim hujan yang berlangsung dalam waktu yang relatif sebentar namun dengan intensitas yang tinggi.
“Nah, naturalisasi tentunya akan lebih berguna ketika musim kemarau, kita punya simpanan air yang terisi di waduk produk naturalisasi. Kita akan bisa survive karena punya cadangan air untuk musim kemarau berkepanjangan,” ujar Nur
Sementara normalisasi, kata Nur, akan berguna ketika musim hujan membuat volume air meningkat. “Ketika volume airnya besar banget sehingga tidak bisa dapat tertampung lagi, normalisasi membuat air langsung ke laut,” ujar Nur.
Nur mengakui, normalisasi memang membuat air lebih cepat mengalir ke laut. Namun ada beberapa kekurangan dari normalisasi, salah satunya yaitu membutuhkan biaya perawatan yang tinggi.
ADVERTISEMENT
“Konsekuensinya high maintenance karena harus dilakukan pengerukan secara rutin. Topografi Jakarta adalah kota yang landai, sehingga normalisasi sering kali tidak efektif dan malah cenderung terjadi sedimentasi (lumpur),” ujar Nur.
Selain itu, Nur mengatakan kalau hanya menjalankan normalisasi tanpa naturalisasi, manusia jadi pihak yang dirugikan. Sebab, air hujan yang notabenenya adalah air tawar jadi terbuang sia-sia ke laut.
“Kalau kita pakai normalisasi air hujan yang jatuh itu kan air bersih, jadi coklat karena tercampur lumpur. Sayang kan air bersih terbuang ke laut?” tutur Nur.
Nur pun mengimbau pemerintah segera melaksanakan normalisasi dan naturalisasi secara bersamaan. Menata sungai, sembari memperbanyak daerah resapan air.
“Kita enggak bisa hanya mengandalkan normalisasi, jalan bersamaan gitu memang mungkin normalisasi akan berguna kalau volume airnya besar banget. Tapi sebisa mungkin airnya ditangkap di daerah resapan air,” kata Nur.
ADVERTISEMENT