Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi Didakwa Terima Suap Rp 10 Miliar

30 Mei 2022 19:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Walikota Bekasi, Rahmat Effendi. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Walikota Bekasi, Rahmat Effendi. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi didakwa menerima suap hingga miliaran rupiah. Suap diduga terkait pengurusan sejumlah hal. Ada empat dakwaan yang dijerat KPK kepada Rahmat Effendi. Dua di antaranya ialah dakwaan terkait suap yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Pada dakwaan pertama, Rahmat Effendi didakwa menerima suap bersama-sama dengan Jumhana Luthfi Amin (Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kota Bekasi), Wahyudin (Camat Jatisampurna), dan Muhamad Bunyamin (Camat Bekasi Barat dan Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Bekasi).
"Menerima hadiah berupa uang dengan jumlah keseluruhan Rp 10.450.000.000 atau setidak-tidaknya sejumlah itu," bunyi dakwaan yang dibacakan Jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Bandung, Senin (30/5).
Adapun suap tersebut didapat dari Lai Bui Min sejumlah Rp 4.100.000.000; Makhfud Saifuddin sejumlah Rp 3.000.000.000; Suryadi Mulya sejumlah Rp 3.350.000.000.
“Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya,” kata jaksa KPK.
ADVERTISEMENT
Jaksa KPK membeberkan tujuan suap dari ketiga orang tersebut kepada Pepen dkk. Pertama, Pepen menerima dari Lai Bui Min selaku pihak swasta. Suap tersebut terkait pengadaan lahan untuk pembangunan Polder 202 di Kelurahan Sepanjang Jaya, Kecamatan Rawalumbu Kota Bekasi.
Terjadi kongkalingkong dalam pembelian tanah tersebut. Termasuk pengaturan harga tanah antara Lai Bui Min dengan Jumhana. Atas persekongkolan itu, besaran fee untuk Pepen dkk pun sudah ditentukan. Suap yang diterima dari Lai Bui Min sebesar Rp 4,1 miliar kemudian dibagi-bagi.
Untuk Pepen, dia diduga menerima Rp 3.500.000.000. Sementara Jumhana Luthfi Amin senilai Rp 400.000.000, dan Chairohman J. Putro selaku Ketua DPRD Kota Bekasi senilai Rp 200.000.000.
Kedua, Pepen diduga menerima suap dari Makhfud Saifuddin terkait dengan pengurusan ganti rugi lahan SDN Rawalumbu I dan VIII. Pepen menjanjikan ganti rugi melalui proses persidangan terhadap lahan seluas 2.244 meter persegi milik Makhfud.
ADVERTISEMENT
Namun dia meminta komitmen fee sebesar Rp 2 miliar. Selain itu, Jumhana dan Wahyudin juga menyebut Mahkfud harus membayar jasa pengacara sebesar Rp 1 miliar.
Singkat cerita, pengadilan mengabulkan ganti rugi terhadap lahan milik Makhfud dengan harga Rp 10 juta per meter. Sehingga uang yang diterima oleh Makhfud adalah Rp 28.440.000.000.
Uang fee pun kemudian direaliasikan sebesar Rp 2 miliar permintaan Pepen dan jasa pengacara Rp 1 miliar. Dari total Rp 3 miliar yang diterima, Pepen mendapatkan Rp 2,3 miliar. Sementara Jumhana menerima Rp 200 juta dan Wahyudi Rp 500 juta.
Ketiga, penerimaan uang dari Suryadi Mulya, terkait pengadaan lahan pembangunan Polder Air Kranji.
Pepen menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 612/Kep.478-Distaru/IX/2020 tentang Penetapan Lokasi Rencana Pembangunan Polder Air Kranji di Kelurahan Kranji Kecamatan Bekasi Barat Kota Bekasi dengan luas wilayah kurang lebih 22.624 m persegi.
ADVERTISEMENT
Salah satu pemegang hak di lokasi tersebut adalah PT Hanaveri Sentosa yang dipegang oleh Suryadi. Atas penetapan lokasi tersebut, Suryadi selaku Direktur menyambut baik dengan harapan segera mendapatkan uang pembayaran ganti rugi atas lahannya.
Dalam APBD Kota Bekasi TA 2021 Kegiatan Pengadaan Lahan Polder Air Kranji tidak dianggarkan sehingga pembayaran ganti rugi lahan yang diharapkan Suryadi belum dapat direalisasikan, kemudian ia meminta bantuan Bunyamin selaku orang kepercayaan Pepen, agar mengupayakan penganggaran.
Atas permintaan tersebut Bunyamin menyanggupinya dan menyampaikannya kepada Pepen, yang kemudian terdakwa Pepen mengatakan bahwa Kegiatan Pengadaan Lahan Polder Air Kranji dan pembayarannya tersebut akan diprioritaskan. Namun dengan syarat Pepen mengarahkan Bunyamin untuk meminta sejumlah uang sebagai fee.
Diketahui, total diduga uang suap yang diterima Pepen dkk dari Suryadi Mulya mencapai Rp 3.350.000.000.
ADVERTISEMENT
Atas perbuatannya Pepen, Jumhana, dan Bunyamin didakwa dengan Pasa 12 huruf a juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor atau Pasal 11 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Tersangka Wali Kota Bekasi nonaktif Rahmat Effendi berjalan menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (11/3/2022). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Suap Pembangunan Gedung Teknis Bersama
Tak hanya tiga penerimaan suap di atas, Pepen bersama Muhammad Bunyamin selaku Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Sekretaris DPMPTSP) Kota Bekasi juga diduga menerima suap sebesar Rp 30 juta. Suap terkait pekerjaan pembangunan Gedung Teknis Bersama Kota Bekasi.
Pepen menerima suap tersebut dari Ali Amril selaku Direktur PT MAM Energindo yang menjadi pemenang kontrak pembangunan Gedung Teknis Bersama itu.
“Sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan perbuatan, menerima hadiah yaitu berupa uang sejumlah Rp 30.000.000 dari Ali Amril, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,” jaksa jaksa KPK.
ADVERTISEMENT
Suap tersebut diduga diberikan oleh Ali kepada Pepen dan Bunyamin agar PT MAM Energindo mendapatkan perpanjangan kontrak pekerjaan pembangunan gedung teknis bersama kota Bekasi Tahun 2021 sekaligus mendapatkan pekerjaan lanjutannya pada tahun 2022.
Atas perbuatannya, Pepen dan Bunyamin dijerat dengan pasal 11 juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.