Wali Nanggroe Soroti Kemiskinan-Syariat Islam di 17 Tahun Peringatan Damai Aceh

15 Agustus 2022 16:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bandar udara Rembele Bener Meriah, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bandar udara Rembele Bener Meriah, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
ADVERTISEMENT
Konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia berakhir damai 17 tahun lalu. Kesepakatan damai tercipta dalam Memorandum of Understanding (MoU) 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
ADVERTISEMENT
Salah satu amanah MoU Helsinki adalah pembentukan Lembaga Wali Nanggroe sebagai salah satu, bentuk kekhususan Aceh.  Lembaga yang mengatur kepemimpinan adat di Aceh ini bertindak sebagai pemersatu masyarakat di bawah prinsip-prinsip yang independen.
Pada usia 17 tahun perdamaian Aceh, Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al-Haytar menyayangkan angka kemiskinan masih terlalu tinggi. Padahal berdasarkan sejarah, Aceh dikenal sebagai daerah yang maju dan kaya di Asia Tenggara.
“Berdasarkan catatan BPS di tahun 2022 ini lebih dari 800 ribu atau lebih 15 persen dari 5,3 juta masyarakat Aceh yang masuk dalam kategori miskin," kata Malik Mahmud dalam sambutannya saat memperingati hari damai Aceh di Banda Aceh, Senin (15/8).
Prajurit Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memberi hormat saat upacara pengibaran bendera memperingati HUT ke-23 di Desa Pandrah Kandeh, Aceh Utara pada 4 Desember 1999. Foto: Oka Budhi/AFP
ADVERTISEMENT
“Jika seluruh butir-butir MoU Helsinki dan pasal-pasal dalam Undang-undang Pemerintah Aceh telah diimplementasikan secara maksimal, maka rakyat Aceh bukan hanya akan terlepas dari belenggu kemiskinan tapi juga akan menjadi bangsa yang sejahtera, berwibawa, dan bermartabat seperti diciptakan oleh indatu [nenek moyang] kita dulu,” ujarnya.
Kondisi ini, sebut Malik Mahmud, harus dipahami oleh semua kalangan baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta, khususnya anak muda Aceh. Perdamaian Aceh belum cukup apabila pergerakan ekonomi masih bergantung pada sumber APBA dan dana Otonomi Khusus (Otsus) semata.
"Kita mesti mengelola dengan baik dan profesional potensi pertanian, perikanan, peternakan dengan membangun infrastruktur yang mendukung peningkatan kualitas produksi dan mengolahnya menjadi bahan jadi guna memenuhi kebutuhan masyarakat Aceh," sebutnya.
Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan

Kebutuhan Masyarakat Dunia

Setelah terpenuhinya kebutuhan Aceh, selanjutnya adalah memenuhi kebutuhan masyarakat dunia.
ADVERTISEMENT
Begitu juga pemanfaatan potensi letak geografis Aceh yang sangat strategis di pintu Barat Selat Malaka, khususnya di jalur perdagangan laut dan penerbangan udara Internasional.
“Boleh dikata sekarang belum tersentuh sama sekali, di sekitar laut Aceh setiap harinya paling kurang ada 200 buah kapal perdagangan berbagai macam rupa, begitu juga pesawat terbang yang datangnya dari Eropa, Timur Tengah, kemudian singgah ke Kuala Lumpur atau Singapura, Jakarta dan sebaliknya,” tuturnya.
“Ratusan dalam masa 24 jam melewati Aceh, pertanyaannya adakah kapal dan pesawat tersebut yang singgah di Aceh. Ini potensi yang harus kita pikirkan bagaimana caranya supaya ekonomi Aceh menyambung dengan ekonomi orang luar negeri. Kalau itu terjadi, maka pesawat terbang dan kapal laut akan singgah di beberapa pelabuhan di Aceh yang ada sekarang ini,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, Malik Mahmud mengingatkan, perdamaian belum cukup dirasakan apabila masih ada praktik-praktik perilaku korup di dalam pemerintahan, menghalalkan segala cara, mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok.