Wamenag: Kekerasan Seksual di Pesantren, Presiden Taruh Perhatian Luar Biasa

13 Januari 2022 15:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Zainut Tauhid memberi keterangan kepada press. Foto: Kevin S. Kurnianto
zoom-in-whitePerbesar
Zainut Tauhid memberi keterangan kepada press. Foto: Kevin S. Kurnianto
ADVERTISEMENT
Berbagai persoalan tindak kekerasan dan pelecehan seksual di institusi pendidikan keagamaan terus menjadi sorotan masyarakat. Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa'adi mengungkapkan Kemenag terus melakukan upaya mitigasi dan investigasi agar kasus serupa tidak terjadi lagi.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, Zainut juga menyebut Presiden Jokowi sudah memberikan perhatian khusus terhadap munculnya kasus-kasus pelecehan seksual di pondok pesantren yang terjadi beberapa waktu terakhir.
"Terkait masalah tindak kekerasan seksual, khususnya di pesantren, Bapak Presiden sangat menaruh perhatian luar biasa. Tidak biasanya beliau menanggapi langsung terhadap berbagai kejadian-kejadian, tapi ini beliau turun langsung memberikan respons dan itu bentuk dari kegelisahan dan perhatian pemerintah," tegas Zainut saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR di Senayan, Jakarta, Kamis (13/1).
Zainut menilai pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja termasuk pondok pesantren, tergantung motif dari pelakunya. Namun, ia menegaskan kasus tersebut hanya terjadi di segelintir ponpes, dan tidak bisa dikatakan di semua pesantren.
ADVERTISEMENT
"Bahwa itu terjadi di pondok pesantren iya, tapi itu enggak mencerminkan seluruh pesantren-pesantren yang ada. Sebagian kecil pesantren yang melakukan itu," tegas dia.
Ilustrasi pesantren Foto: Getty Images
"Dan memang seharusnya pelecehan seksual tidak terjadi di lembaga pendidikan, khususnya pesantren karena pesantren lembaga pendidikan harus dijauhkan dari tindak-tindak yang asusila dan tindakan yang tidak bermoral," ujar Zainut.
Di sisi lain, Zainut meminta anggota dewan bisa menelaah kembali UU Pesantren yang memungkinkan ada pengawasan terhadap ponpes.
"Kami evaluasi regulasi yang ada, di dalam UU pesantren itu tidak ada yang namanya pengawasan. Ada dewan masyayikh itu lebih kepada penguatan konten-konten pendidikan. Ini saya kira kami mohon telaah ulang apakah perlu dilakukan semacam revisi agar pemerintah dan masyarakat bisa memiliki akses pengawasan di pondok pesantren," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, ia menilai pesantren adalah unit pendidikan yang unik dan memiliki independensi, sehingga dibutuhkan kerja sama dari banyak pihak untuk melakukan penguatan dan pengetatan pendiriannya. Salah satunya dengan memperketat izin pendirian pesantren.
"Misal pesantren itu memiliki atau mendapatkan rekomendasi dari ormas Islam, misalnya, agar ormas tersebut dapat memberikan pengawasan kepada pondok pesantren. Saya kira ini bagian yang sangat serius yang kami perhatikan," tutup Zainut.
Kasus pelecehan seksual masih menjadi sorotan. Sebab, tak hanya korbannya masih di bawah umur, kejadian tersebut terjadi di lingkungan pendidikan.
Yang masih terbaru adalah pemerkosa 13 santri di Kota Bandung, Herry Wirawan, dituntut hukuman mati dan kebiri kimia oleh jaksa penuntut umum. Kejadian pemerkosaan terjadi di pondok pesantren di kawasan Cibiru, Kota Bandung.
ADVERTISEMENT
Sepanjang 2021 lalu juga banyak terjadi kasus pelecehan seksual terhadap santri di ponpes. Seperti di ponpes di Ogan Ilir, Sumatera Selatan, yang melakukan tindakan asusila terhadap 26 santri laki-laki. Kemudian ada dari ponpes di Trenggalek, Jawa Timur, yang dilakukan oleh seorang guru berinisial SMT terhadap puluhan santriwati.