Wamenkumham Jelaskan Pasal Penyerangan Harkat Martabat Presiden-Wapres di RKUHP

26 Mei 2022 14:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
ADVERTISEMENT
Wamenkumham, Edward Omar Sharif Hiariej, menjelaskan 16 pasal kontroversial dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP di hadapan Komisi III DPR RI.
ADVERTISEMENT
Salah satunya terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.
Edward atau akrab dikenal Eddy mengatakan, Pasal 218 tentang Penyerangan Harkat dan martabat presiden dan wakil presiden itu tetap dalam RKUHP yang disodorkan ke DPR.
Namun ada perubahan dari delik yang bersifat biasa menjadi delik aduan. Artinya yang bisa mengadukan adalah yang bersangkutan sendiri, presiden dan wakil presiden.
“Merupakan delik aduan […] pengaduan dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wapres,” jelas Eddy dalam salinan tertulis yang juga disampaikan pada rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR-RI, Rabu (25/5).
Ia menerangkan, dalam pasal ini istilah yang digunakan bukan “penghinaan” tetapi “penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden”.
“Yang pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah,” terangnya dalam salinan Kemenkumham dikutip Kamis (26/5).
Presiden Jokowi (kanan) didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir dalam acara Hari Santri 2021 di Istana Negara, Jakarta. Foto: Dok. Biro Pers
Dalam pemaparannya, Eddy menekankan pasal penyerangan terhadap presiden dan wapres ini tidak bermaksud mengurangi kebebasan mengurangi kritik.
ADVERTISEMENT
“Terdapat pengecualian jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri,” kata Eddy.
“Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah,” tambahnya.
Berikut bunyi pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden dalam RKUHP:

Pasal 218

(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 220

(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
ADVERTISEMENT
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
RDPU Komisi III dengan tim relawan perempuan kemanusiaan dan kuasa hukum korban Binomo dan Quotex, Kamis (23/3). Foto: Annisa Thahira/kumparan
Dalam rapat pendapat itu, Eddy berharap RKUHP bisa diselesaikan di masa sidang V DPR 2022. Sebab RKUHP akan masuk dalam prolegnas menengah 2020-2024 dan menjadi prioritas 2022.
“RKUHP masuk dalam prolegnas menengah 2020-2024 dan prioritas 2022, diharapkan RKUHP diselesaikan di masa sidang V DPR ini,” kata Eddy.
Menurut dia, sosialisasi RKUHP juga sudah dilakukan dengan melakukan diskusi publik agar tidak terjadi disinformasi di tengah masyarakat.
Dari sosialisasi yang dilakukan, pemerintah sudah melakukan perubahan untuk pasal-pasal yang kontroversial.
“Pemerintah selama 2021 telah sosialisasi dengan diskusi publik. Dari hasil ini, pemerintah menyempurnakan dengan reformulasi dan beri penjelasan pasal kontroversi dan masukan dari kementerian atau lembaga terkait,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Eddy melanjutkan, pasal-pasal yang kontroversial ada yang dihapus dan ada yang diubah. Namun, tanpa menghapus substansi, Eddy mengatakan, telah dilakukan penyesuaian sesuai putusan MK.
“Garis besar terkait isu kontroversi memang ada yang kami hapus, ini menyesuaikan dengan putusan MK. Lalu, ada yang tetap tapi ada juga yang reformulasi tapi tidak hapus substansi,” tutup dia.