Wamenkumham Upayakan Peristiwa Kudatuli Masuk Jadi Pelanggaran HAM Berat

21 Juli 2022 13:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tabur bunga di Kantor DPP PDIP memperingati peristiwa kudatuli. Foto: Dok. PDIP
zoom-in-whitePerbesar
Tabur bunga di Kantor DPP PDIP memperingati peristiwa kudatuli. Foto: Dok. PDIP
ADVERTISEMENT
Wamenkumham Edward Omar Sharif atau yang akrab disapa Eddy mengatakan Peristiwa Kudatuli atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli sepatutnya dimasukkan dalam catatan peristiwa pelanggaran HAM berat.
ADVERTISEMENT
Kudatuli merupakan peristiwa pengambilalihan secara paksa Kantor DPP PDIP yang dikuasai Megawati Soekarnoputri oleh massa pendukung Ketum PDI hasil kongres Medan, Soerjadi, pada 27 Juli 1996.
"Peristiwa 27 Juli adalah kejahatan demokrasi. Bagaimana seorang Megawati yang terpilih sah soal Kongres tidak diakui, kemudian Kantor PDI diambil paksa," papar Eddy dalam diskusi publik memperingati Peristiwa 27 Juli atau Kudatuli yang digelar oleh DPP PDIP, Kamis (21/7).
"Kalau kita merujuk UU 26 Tahun 2000, hanya ada dua kemungkinan. Ini genosida atau kejahatan kemanusiaan. Kalau kita perhatikan, elemen ini tidak mungkin genosida tapi mungkin kejahatan kemanusiaan," imbuh Eddy.
Oleh sebab itu, Eddy mengatakan pemerintah akan membahasnya dan berusaha memasukkannya dalam pelanggaran HAM berat di masa lalu. Namun, hal itu harus melewati mekanisme Komnas HAM.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Komnas HAM sampai saat ini belum merekomendasikan Peristiwa Kudatuli sebagai pelanggaran HAM berat.
"Jadi ini sepenuhnya pada Komnas HAM. Karena ini di masa lampau, setelah ada penyelidikan, ini dinyatakan pelanggaran berat HAM, untuk ke pengadilan adalah dengan keputusan presiden, ini proses politik," tuturnya.
"Setelah rekomendasi ini ada dugaan langgar berat HAM, ke Jaksa Agung, bentuk ad hoc harus persetujuan DPR. Jadi ini bukan masalah hukum tapi politik. Sebagai partai mayoritas parlemen, bisa kita technical yuridis, tapi juga perlu dukungan DPR pengadilan ad hoc berdasarkan keputusan presiden amanat UU 26 Tahun 2000," paparnya.
Di sisi lain, Eddy menyebut, Kemenkumham sudah melakukan pertemuan tertutup dengan Menkopolhukam Yasonna Laoly dan Mensesneg Pratikno untuk menindaklanjuti penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu.
ADVERTISEMENT
"Sayangnya dalam 14 kasus terkait pelanggaran HAM, tidak ada Peristiwa Kudatuli. Kalau ada pasti akan diselesaikan. Jadi pemerintah tidak bisa bekerja tanpa rekomendasi Komnas HAM," ungkapnya.
Meski demikian, Eddy mengatakan hal ini belum terlambat. Peristiwa 27 Juli bisa dilaporkan dengan dugaan pelanggaran HAM yang diselesaikan lewat dua mekanisme, yakni pengadilan HAM atau komisi kebenaran dan rekonsiliasi.
"Jadi Perpres terkait penyelesaian HAM berat di masa lalu ini sambil tunggu UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang memang inisiatif pemerintah dan akan dibahas dalam waktu dekat," tutupnya.
Wamenkumham Eddy Hiariej usai rapat RUU TPKS, Senin (4/4/2022). Foto: Annisa Thahira Madina/kumparan

Langkah Komnas HAM Usut Pelanggaran HAM Peristiwa Kudatuli

Pada kesempatan yang sama, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengatakan pihaknya langsung menindaklanjuti Peristiwa Kudatuli pada saat itu. Sandra mengungkapkan, pihaknya langsung datang ke lokasi untuk melihat langsung TKP.
ADVERTISEMENT
"Jadi ada penyelidikan dan rekomendasi dan ditanggapi pemerintah saat itu oleh Mensesneg. Waktu itu memang selain peristiwa di PDI, Komnas ingatkan pentingnya usut peristiwa Medan dan pencegahan kerusuhan," kata Sandra.
Ia mengungkapkan, Komnas HAM terus mengkaji potensi pelanggaran HAM berat yang dilakukan di pemerintahan Soeharto, yaitu Peristiwa Tanjung Priok, penembakan misterius atau Petrus, Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh dan Papua, dan Kudatuli.
"Jadi penyelidikan tidak tepat, baru kajian. Jadi rekomendasi 2003 untuk tindak lanjuti penyelidikan semua peristiwa HAM berat [di pemerintahan] Soeharto lalu sudah ada. Tanjung Priok sudah inkrah, Petrus selesai, DOM Aceh ada yang tinggal finalisasi, DOM Papua belum, demikian 27 Juli," ungkapnya.
Oleh karena itu, lanjut Sandra, Komnas HAM pada 2016 dan 2018 sepakat untuk menindaklanjuti Peristiwa Kudatuli dengan konsolidasi korban yang dilakukan PDIP. Namun, kelanjutan pengusutan peristiwa itu belum sampai ke penyelidikan yorustisia.
ADVERTISEMENT
"Jadi kami sudah pernah rekomendasi pada 2003, tapi karena ada prioritas peristiwa lain itu diutamakan. Resources di Komnas terbatas, anggaran 1/8 dari KPK. Ini buat kami harus selektif. Karena PDIP sekarang berkuasa, peluang cari kebenaran besar," ujarnya.
Untuk saat ini, Sandra mengatakan Komnas HAM belum melakukan pendekatan terhadap korban Kudatuli. Sebab, pihaknya masih menunggu koordinasi dari PDIP.
"Komnas bersifat menunggu. Kami masih selesaikan penyelidikan lain juga," pungkasnya.