Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Warga Muara Baru Hidup di Tanah Lebih Rendah dari Lautan, Berharap Tanggul Kuat
6 Mei 2025 15:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Anak-anak sekolah berjalan pulang meniti langkah mereka di balik tanggul beton setinggi 4 meter di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (6//5) siang. Tanggul itu memisahkan daratan yang lebih rendah dari lautan.
ADVERTISEMENT
Di sisi daratan itu dibangun rumah-rumah warga, ada yang bedeng hingga semi permanen. Bergeser sedikit lebih jauh dari tanggul terdapat rumah-rumah yang sudah permanen yang dihuni warga RT 14 dan 15 RW 17.
Dari sela-sela tembok pembatas, udara lembap menyeruak dari gang-gang kecil yang dipenuhi jemuran pakaian dan anak-anak yang berlarian.
Warga sekitar mengaku kehidupan mereka dulu tak setenang saat ini. Sebelum tanggul tinggi itu berdiri membendung, risiko besar setiap hari mereka hadapi, yakni ancaman air laut masuk ke permukiman dan membuat rumah mereka terendam banjir rob.
Ketua RT 14, Watiah (40), masih ingat betul masa ketika tanggul masih pendek. Dulu, katanya, tinggi tembok laut itu hanya sepinggang orang dewasa atau sekitar 1 meter.
ADVERTISEMENT
“Baru dibangun setinggi segini setelah banjir besar tahun 2012, pas zaman Pak Ahok,” cerita Watiah di dalam ruang tamu yang juga merangkap ruang tengah rumahnya. Di dapur, mertuanya terlihat sibuk memasak.
Banjir itu, kenangnya, bukan banjir biasa. Kombinasi rob dan kiriman air dari Bogor datang bersamaan, memporakporandakan kawasan yang dulunya masih bisa memeluk garis pantai.
Banyak yang kehilangan tempat tinggal. Ahok, Gubernur Jakarta kala itu, disebut warga sempat marah besar karena bencana tersebut.
"Marah besar karena waktu itu pompa katanya enggak jalan. Setelah itu diganti semua sama yang baru," katanya.
Sejak saat itulah tanggul diperkuat, beton ditinggikan, dan perlahan-lahan mengubah hidup warga. Banjir air laut tak lagi datang, mereka bisa sedikit tenang hidup tanpa adanya bayang-bayang bencana.
ADVERTISEMENT
Dia berharap tanggul ini kuat agar rumah tinggal mereka tetap aman dan bebas dari ancaman luapan air laut.
Masjid yang Dirindukan
Sebelum banjir besar itu datang, kawasan pantai bukan sekadar batas air. Ia adalah ruang hidup, tempat ibadah, hingga lokasi rekreasi warga.
Salah satu yang paling dirindukan adalah keberadaan masjid yang kini tenggelam air laut. Dahulu, sebelum dikenal sebagai Masjid Tenggelam—nama resminya Masjid Waladuna—ramai setiap Jumatan.
“Salat Jumat ya di masjid yang sekarang udah tenggelam setengah itu. Malam Minggu sering pada kumpul dan ramai-ramai di sekitarnya,” ujar Watiah, matanya menerawang ke masa lalu.
Kini, semua itu tinggal kenangan. Di belakang rumahnya dulu—area tanah Pelindo—adalah empang hingga tempat warga menggembalakan kambing. Sekarang, banyak berdiri petak-petak bedeng pemulung yang dihuni oleh pendatang dari berbagai penjuru yang menggantungkan hidup sebagai buruh di Pelabuhan Sunda Kelapa atau berdagang di Pasar Ikan.
ADVERTISEMENT
Di balik tanggul laut dengan deru ombaknya itu tersimpan kisah tentang orang-orang Muara Baru yang menjalani kehidupan di daerah 'bawah laut'. Bila tanggul hilang, rumah dan kehidupan mereka bisa ikut tersapu dan terendam.