Warisan Leluhur di Buleleng Disulap Jadi Pemandian Air Panas Modern

18 Februari 2019 16:20 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengelola Wisata Gitgit Hot Spring, Made Wicana. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pengelola Wisata Gitgit Hot Spring, Made Wicana. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
ADVERTISEMENT
Pada zaman dulu di Desa Gitgit, Kabupaten Buleleng, Bali, ada sebuah pemandian air panas yang dikhususkan untuk tempat pengobatan alternatif warga. Lambat laun, pemandian air panas itu dijadikan tempat suci oleh para leluhur dan sempat dikelola oleh beberapa warga desa.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, pemandian tersebut terbengkalai cukup lama hingga akhirnya ada seorang pemuda bernama Made Wicana (35) yang ingin merenovasi tempat itu. Wicana ingin agar pemandian air panas tersebut hidup kembali.
Keinginan Wicana itu bermula sekitar 7 tahun lalu waktu ia bekerja di sebuah perusahaan peternakan di Jepang. Bosnya saat itu hobi sekali mandi dan berendam di air panas.
Jajan menuju Wisata Gitgit Hot Spring. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Dari situlah Wicana kemudian ingin agar tempat pemandian air panas di daerahnya yang sempat mati bisa hidup kembali.
"Waktu itu, aku juga sering cerita ke dia (bos) kalau di Bali, di kampung halamanku, ada sumber air panas yang sudah ada sejak zaman dulu," kata Wicana saat dikunjungi di lokasi, Sabtu (16/2) lalu.
ADVERTISEMENT
Lokasi pemandian air panas itu berada di kilometer 13, akses jalur utama Singaraja-Denpasar via GitGit. Kemudian impian untuk menghidupkan pemandian air panas warisan leluhur sempat sirna karena Wicana harus bekerja sebagai terapis di Arab Saudi.
Jadi Wicana empat tahun di Jepang dan tiga tahun di Arab Saudi. Hingga akhir 2017, impiannya menghidupkan pemandian air panas hanya angan-angan belaka. Lalu di awal tahun 2018, Wicana berhasil membujuk 32 pemuda lainnya untuk membantu mewujudkan keinginannya.
Sejumlah pengunjunga di Wisata Gitgit Hot Spring. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Wicana dan 32 pemuda lainnya lalu merenovasi pemandian air panas warisan leluhur itu. Sumber air panas pemandian ini berasal dari tebing Gunung Purba. Di sekitar pemandian juga mengalir air dari Yeh (sungai) Lampah.
"Tapi karena konstruksi kolam yang belum matang. Kalau ada hujan deras, air bah dari sungai masuk menghancurkan kolam. Sudah lima kali dibenahi dulu sama mereka, tapi tetap saja begitu," lanjut pria berkulit sawo matang ini.
ADVERTISEMENT
Bermodal pengetahuan pekerjaan utama dan modul dari internet, bulan April 2018, Wicana dan 32 pemuda mulai membangun sebuah bak ukuran 3x12 meter. Mereka bahu-membahu menebang pohon rimbun, memindahkan batu-batu besar, dan mengeruk tanah sungai.
"Saya bikin konstruksinya belajar dari internet dari sistem pipa, menyedot air pakai sanyo, bagaimana biar suhu airnya merata, masukkan listrik," jelas Wicana.
"Yang lain karena bekerja sebagai buruh soal konstruksi mereka pahamlah. Semua kami belajar mandiri," imbuhnya.
Sejumlah pengunjunga di Wisata Gitgit Hot Spring. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Untuk merenovasi pemandian air panas warisan leluhur, Wicana menuturkan ia urunan dengan 32 pemuda lainnya.
"Kalau mau bangun A misalnya, masing-masing orang kasih uang Rp 50 ribu. Kalau habis, mau bangun atau mau buat apa lagi urunan Rp 50 ribu lagi, begitu terus," beber Wicana.
ADVERTISEMENT
Setelah perjalanan cukup panjang, akhirnya pada bulan September 2018, pemandian air panas bernama Hot Spring karya dari Wicana dan 32 pemuda Buleleng berhasil dibuka. Tepatnya pada tanggal 25 September 2018 soft opening digelar dan sejumlah pejabat dari Dinas Pariwisata hingga pihak kecamatan termasuk warga antusias mendukung hasil jerih payah mereka.
Wicana membuat warisan leluhur itu jadi modern dan tak terlihat kesan mistis. Lalu lama kelamaan, turis asing pun cukup sering mengunjungi pemandian Hot Spring yang baknya berwarna biru.
Di pemandian ini juga disediakan sebuah bak rendam bundar dari batu. Kursi dan meja kecil juga disediakan ditambah sejumlah bunga ikut memberi warna.
Wicana mematok harga Rp 10 ribu bagi pengunjung lokal yang akan berendam di Hot Spring. Sedangkan untuk pengunung asing, Wicana hanya meminta donasi sukarela.
ADVERTISEMENT
Maklum, fasilitas yang diberikan kata Wicana, hanya ruang ganti dan satu gazebo saja.
"Kami tahu dirilah, fasilitasnya masih bak mandi saja. Kami belum punya modal banyak untuk melakukan pengembangan untuk semua ini saja kami keluar uang sekitar Rp 60 juta. Untuk listrik saja Rp 3 juta," terang Wicana.
Jalan menuju Wisata Gitgit Hot Spring. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Waktu terus berjalan, pemandian air panas ini kemudian membutuhkan modal yang terus menerus bertambah. Namun Wicana belum bisa mendapatkan modal cukup untuk memajukan pemandian air panas warisan leluhur ini.
Selain modal, satu demi satu rekannya undur diri. Ini jadi kesulitan tersendiri bagi Wicana untuk mengembangkan fasilitas. Hanya 22 orang saja yang kini bertahan.
Namun, Wicana belum menyerah, dalam tiga tahun mendatang ia sudah memiliki target. Menambah jumlah bak rendam, warung makan, membangun kembali pemandian untuk pengobatan hingga spa sudah ia rencanakan.
ADVERTISEMENT
"Kalau fasilitas bertambah, toh pegawai juga bertambah. Pegawainya kan tentu saja kami warga Banjar," tutur Wicana.