Warung Kelontong Madura, Selalu Siaga 24 Jam Tak Kenal Lelah?

15 Januari 2023 11:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Eka (18) penjaga Warung Madura. Foto:  Retyan Sekar Nurani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Eka (18) penjaga Warung Madura. Foto: Retyan Sekar Nurani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Merantau ke kota-kota besar, seperti Jakarta, tak selalu memimpikan kerja formal. Eka (18) yang baru lulus SMA mengikuti tradisi keluarganya dari Sumenep, Madura untuk merantau ke Ibu Kota sebagai penjaga warung kelontong di salah satu daerah di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Warung tersebut dimiliki oleh majikannya yang juga berasal dari kampung halamannya.
ADVERTISEMENT
Ia bekerja sejak 5 bulan lalu. Itu warung pertama yang ia jaga sebagai perantau. Kata Eka, pemilik warung itu bahkan sudah memiliki 10 cabang yang tersebar di wilayah DKI Jakarta. Dari Barat hingga Selatan.
Warung kelontong yang dijaga oleh orang-orang Madura ini semakin menjamur, kemunculannya bukan hal baru. Namun eksistensinya semakin kentara saat pandemi melanda. Hampir setiap gang memiliki satu warung yang dimiliki dan dijaga oleh perantau dari Madura.
Saat seluruh warung hingga toko modern hanya 'berani' buka sampai jam tertentu, warung kelontong Madura tetap melayani 24 jam.
Hampir mustahil menemukan Warung Madura memiliki waktu tutup toko, termasuk yang dijaga oleh Eka. Tanpa hari libur warung itu melayani pembeli yang datang silih berganti, dari ramainya pembeli di siang terik hingga sunyi dini hari.
ADVERTISEMENT
Eka tak keberatan melakukan pekerjaan itu. Baginya sudah seperti kewajiban saling membantu dan menguatkan perekonomian sesama orang dari kampung halamannya.
“Karena di Madura sendiri, meskipun berbeda-beda tata caranya dalam menghargai sesama, tetap masih kuat, termasuk saling membantu perekonomian,” ujar Eka kepada kumparan, Jumat (13/1).
Eka tak menjaga warung sepanjang hari seorang diri. Dia bekerja secara bergantian dengan suami, yang belum lama menikah karena perjodohan. Suami Eka yang berusia 24 tahun itu bekerja usai shift Eka. Usai suami Eka, shift diganti oleh pamannya yang berusia 21 tahun.
“Ngantuk pasti ada, tapi kan ada shift-nya, ada yang ganti, istirahat dulu. Saya kerja dari jam 7 sampai jam 3, nanti malamnya lagi dari 8 sampai jam 1, dan seterusnya,” imbuh Eka.
Warung Madura yang dijaga Eka di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Foto: Retyan Sekar Nurani/kumparan
Ketiganya tinggal di sebuah ruangan yang menempel dengan warung tersebut. Masih ada penyekat yang membedakan warung, tempat makan hingga tempat tidur. kumparan tak sampai menengoknya ke dalam, tapi Eka mengaku bangunan itu cukup untuknya beristirahat dengan suami dan pamannya.
ADVERTISEMENT
Eka menyebut, penghasilan setiap warung bisa menentukan jumlah penjaganya. Warung yang dijaga 3 hingga 4 orang, bisa mencapai omset Rp 5 juta setiap harinya.
Berbeda dengan Andre (24) dan Abuy (21), dua penjaga Warung Madura yang letaknya tak jauh dari Eka, berjarak sekitar 500 meter.
Andre sudah bekerja sebagai penjaga Warung Madura sejak 2016. Tak pernah berganti profesi, hanya berganti lokasi warung karena Warung Madura memang terkenal memiliki sistem rolling. Satu penjaga bisa bekerja di beberapa warung pada waktu yang berbeda.
Menurut Andre, bekerja sebagai penjaga Warung Madura memiliki berbagai keunggulan dibanding dengan penjaga toko modern. Meskipun bukan warung milik sendiri, namun ia mendapat kebebasan dalam gaya dan caranya berjualan. Ia sebut, serasa warung ia yang punya.
ADVERTISEMENT
Andre juga mengaku tak pernah mengkonsumsi obat masuk angin, meskipun ia harus jaga warung 12 jam.
“Seperti yang dilihat, kerja di sini bebas. Meskipun kerja sama orang, kaya kerja sama diri sendiri, kalau di ruko modern itu harus disiplin, kalau di sini nggak disiplin tapi tetap enak, meskipun 24 jam,” ujar Andre.
“Kalau kita ketiduran, ya tinggal dibangunin aja,” imbuhnya.
Andre dan Abuy tinggal di dalam warung yang mereka jaga dengan ukuran 3x4 meter. Waktu mereka habiskan dengan berjaga secara bergantian. Tak ada waktu libur. Di sela waktu juga dilakukan untuk ke pasar berbelanja stok-stok barang yang mulai menipis.
Saat Andre berjaga pada pukul 6 pagi hingga 6 sore, Abuy akan terbaring atau duduk di atas alas tidur di dalam warung. Dengan menggenggam smartphone Apple seri 11, Abuy terlihat sedang bermain mobile legend.
Warung Madura yang dijaga Abuy dan Andre di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Foto: Retyan Sekar Nurani/kumparan
Di setiap inci warung itu ada barang dagangan yang disusun dengan rapi, mengelilingi mereka di dalamnya. Ada kamar mandi kecil di sebelah warung untuk mandi dan buang air.
ADVERTISEMENT
Abuy yang kerap mengeluh panas, sehingga tak jarang ia berjualan tanpa mengenakan kaus. Namun memasuki tengah malam, ia pantas diacungi jempol sebab harus meningkatkan kewaspadaan di tengah rasa kantuk.

Pandemi Jadi Momen Kebangkitan Warung Madura

Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Prof Heddy Shri Ahimsa-Putra, mengatakan orang Madura memiliki cara mereka bertahan lewat berdagang dan paguyuban yang kuat.
Menurut dia, fenomena Warung Madura ini dinilai semakin menguat bertepatan dengan munculnya pandemi COVID-19. Di saat toko modern lain tunduk pada aturan PPKM dengan menutup gerai mereka saat malam hari atau jam-jam tertentu, Warung Madura nekat untuk berjualan sampai 24 jam.
Hal itu dinilai didorong dari keyakinan bahwa ancaman COVID-19 tidak membahayakan mereka. Menurut Heddy, bagi sebagian besar orang Madura, mereka tak takut dengan corona.
Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Prof Heddy Shri Ahimsa-Putra. Foto: UGM dan kumparan
“Dengan adanya COVID-19, mereka nggak punya pesaing, toko modern itu tutup jam 8 malam, mereka berani buka, dan sampai sekarang terus begitu. Kenapa? karena orang Madura lebih berani, ada sebagian orang Madura itu nggak punya ketakutan dengan yang namanya covid," kata dia kepada kumparan, Jumat (13/1).
ADVERTISEMENT
Orang Madura juga dipandang memiliki hubungan erat dengan satu sama lain, tidak hanya soal perdagangan, mereka memiliki kecenderungan saling membantu.
"Kemudian patron client relationship atau hubungan patronase yang kuat. Di saat mereka menemukan seseorang yang mampu membantunya dalam meningkatkan taraf ekonomi, mereka akan setia dan bersolidaritas," ujarnya.
Kemudian faktor primordialisme yang kuat dari kesamaan tertentu. Heddy mencontohkan, di Madura terdapat beberapa kelompok arisan, mereka memiliki pemimpin dan bendera yang melambangkan kelompok tersebut.
Hal itu meningkatkan rasa kesamaan dalam identitas mereka dan menambah tingkat solidaritas.
“Karena ada kesamaan kelompok-kelompok arisan, kesamaan asal tempat misal sama-sama dari Sumenep dan persoalan harga diri itu kuat sekali,” kata dia.
Karena adanya kesamaan kelompok itu, maka mereka membentuk jejaring bisnis.
ADVERTISEMENT
Jejaring bisnis seperti ini menurut Heddy mirip dengan yang terjadi pada jejaring bisnis orang-orang China. Dalam menjalankan bisnis, orang-orang China menurut dia memiliki jaringan yang sangat kuat dengan memanfaatkan kelompok-kelompok rahasia atau secret society yang saling mendukung satu sama lain.
“Madura itu sepertinya tanpa sadar mengikuti pola bisnis dari orang-orang keturunan China itu,” kata dia seperti dikutip dari Pandangan Jogja.