Cover Lipsus "Waspada Bencana Akhir Tahun"

Waspada Bencana di Pengujung Tahun: Faktor Cuaca atau Ulah Manusia?

23 Desember 2024 18:13 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sari tengah memasak saat fajar menyingsing di Blok Empang Muara Angke, Kelurahan Pluit, Jakarta Utara. Ibu paruh baya ini tengah menyiapkan makanan sebelum kemudian mengantar anak keempatnya ke Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Pagi itu, Senin (16/12), Ketua RT di RW 022 sudah memperingati warganya untuk bersiap dengan banjir rob yang disebabkan pasang air laut. Tetapi Sari masih beraktivitas seperti biasa: mengantar anaknya dan pergi bekerja di warung makan kerabatnya karena air belum tampak membasahi daratan.
Sampai di sekolah anaknya yang berjarak sekitar 1 km dari rumahnya, air tetiba sudah menggenang setinggi lutut kakinya. Dengan tinggi badan Sari yang tak sampai 140 cm, air diperkirakan sudah mencapai 30-40 cm pada pukul 06.00 WIB hari itu dan terus meninggi.
“Sekolah sampai disetop, anak-anak diliburkan,” kata Sari kepada kumparan, Rabu (18/12).
Sari, warga Blok Empang Muara Angke, Kelurahan Pluit, Jakarta Utara, menunjukkan tinggi banjir pada Kamis (19/12/2024). Foto: Agaton/kumparan
Rumah kontrakan Sari pun turut kemasukkan air setinggi pinggang atau kira-kira 0,8-1 meter. Menurut Sari, banjir tahun ini merupakan yang terparah selama ia tinggal di sana sejak era Orde Baru. Air meningkat cepat dan baru surut sepekan lamanya. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, biasanya air surut dalam hitungan jam.
Sari bahkan tak sempat mengamankan pakaian, kasur, dan lemari yang biasanya ditaruh di lantai dua kontrakan berdinding kayu itu sebelum banjir rob tiba. Ia pun terpaksa mengungsi ke rumah bibinya. Di sana, Sari menumpang tinggal sementara meski untuk tidur tetap harus di musala karena keterbatasan tempat.
Sesekali Sari mengecek rumah kontrakannya yang hanya ada 2 ruangan–lantai atas dan bawah–untuk melihat kondisi. Saat situasi sudah agak kondusif, kasur anaknya dipindahkan ke lantai 2 untuk tidur. Sementara Sari baru beres membersihkan lantai satu kontrakannya pada Kamis (19/12).
“Kalau airnya surut, cuma banjir di depan aja, saya pulang. Cuma kalau memang airnya gede lagi, saya ngungsi,” ujarnya Kamis (19/12).
Eriyati, warga korban banjir di Blok Empang Muara Angke, Kelurahan Pluit, Jakarta Utara, pada Kamis (19/12/2024). Foto: Agaton/kumparan
Beda dengan Sari, Eriyati (60) yang juga warga di RW 022, memilih tidak mengungsi saat banjir rob tiba karena ia mesti berdagang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Walaupun rumahnya yang hanya ada 3 ruangan: kamar, dapur, dan ruangan warung, seluruhnya terendam air.
Saat banjir mulai surut di jalan pada Kamis (19/12) sore, rumahnya masih tergenang semata kaki. Karena tak ada dipan, kasur di kamarnya disangga dengan tumpukan sterofoam dan kayu agar tak terendam banjir. Saat banjir mulai surut, kasurnya diberdirikan dengan disangga sebatang kayu untuk meniriskannya.
“Pas hari pertama dan kedua (banjir rob) bahkan enggak bisa dicagakin [berdirikan -red] buat ngeringin. Mesti dikeluarin semua kasurnya. [Kalau banjir rob] yang pertama diamanin beras, terus kasur,” katanya.
Banjir rob di Blok Empang Muara Angke, Kelurahan Pluit, Jakarta Utara, pada Kamis (19/12/2024). Foto: Agaton/kumparan
Sarini juga bernasib serupa dengan Eriyati. Lansia 66 tahun ini tinggal sendiri di rumahnya yang masih terendam sekitar 30 cm kala banjir surut. Sebab rumahnya lebih rendah daripada jalan–padahal rumah itu sudah sempat direnovasi dengan ditinggikan dua kali sejak pandemi 2020-2021.
Meski begitu, rupanya peninggian rumah Sarini berkejaran dengan peninggian jalan. Ia pun beralih dengan membeli mesin untuk memompa air keluar–yang ternyata belakangan mesin itu rusak saat banjir rob sepekan terakhir.
“Tadinya pompanya jalan terus, jadi mendingan, jam 12 siang sudah kering. Sekarang sampai pagi kalau enggak ditanggung (diangkut) sampai dihitung 150 ember juga enggak kering-kering, sudahlah bodo amat karena sudah capek,” kata Sarini.
Petugas mengukur paparan matahari di Stasiun Klimatologi Badan Meteorologi Dan Geofisika (BMKG), Sleman, D.I Yogyakarta, Jumat (19/1/2024). Foto: ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

Intensitas Bencana Hidrometeorologi Meningkat

Banjir rob yang terjadi di Muara Angke, Jakarta Utara, hanya salah satu bencana hidrometeorologi–bencana atau proses perusakan yang terjadi terkait air dan atmosfer–yang menimpa Indonesia di penghujung 2024.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto menyatakan, bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, puting beliung, cuaca ekstrem, hingga kekeringan menyumbang 95-98% dari total bencana di Indonesia.
Di akhir 2024, bencana hidrometeorologi di antaranya terjadi di Lebak, Banten, yang mana hujan dengan intensitas tinggi mengguyur hingga menyebabkan longsor pada 2 Desember 2024. Kejadian ini, menurut data BNPB, menewaskan 2 orang dan membuat 206 rumah rusak di 14 kecamatan dan 43 desa.
Dengan sebab yang sama, banjir pun terjadi di Lebak sehingga merendam 14 kecamatan dan 42 desa. Hal ini menyebabkan 3 orang tewas dan 1.949 rumah terendam dengan 88 di antaranya rusak.
Dua hari setelahnya, 4 Desember, di Cianjur, banjir dan longsor menewaskan 5 orang. Kabupaten tetangganya, Sukabumi, juga mengalami bencana serupa yang menewaskan 10 orang akibat banjir dan 1 orang imbas tanah longsor, sementara 2 orang masih dinyatakan hilang akibat tanah longsor. Di Sukabumi, setidaknya 4.166 rumah rusak akibat banjir dan longsor yang terjadi di 39 kecamatan dan 181 desa.
Data BMKG mencatat, cuaca ekstrem di Indonesia memang mengalami tren peningkatan pada November-Desember 2024. Sejalan dengan meningkatnya cuaca ekstrem, korban luka dan meninggal dunia juga naik di akhir tahun.
Grafik dampak cuaca ekstrem di Indonesia pada 2024. Foto: Dok. BMKG
Grafik cuaca ekstrem di Indonesia pada 2024. Foto: Dok. BMKG
BMKG memprediksi puncak musim hujan di Indonesia terjadi di akhir tahun 2024 dan awal 2025. Pada November-Desember 2024, puncak musim hujan terjadi di Sumatera, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan sebagian besar Jawa bagian selatan.
“Sedangkan nanti Januari-Februari 2025, puncak musim hujan terjadi di wilayah Jawa pesisir utara, Bali, NTB, NTT, Papua, sebagian Kalimantan Timur dan beberapa di Maluku,” kata Guswanto kepada kumparan, Kamis (19/12).
Berdasarkan analisis BMKG, wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi berpotensi mengalami hujan lebat dan cuaca ekstrem antara 20 Januari hingga 10 Februari 2025. Puncak musim hujan di akhir 2024 dan awal 2025 ini dipengaruhi oleh 6 faktor:
Enam faktor tersebut ditambah puncak musim hujan, menurut Guswanto, saling mendukung dan menyebabkan cuaca ekstrem yang terjadi belakangan. Itu karena kalender BMKG menunjukkan keenam faktor tadi tengah berlangsung bersamaan pada 11 Desember 2024-10 Januari 2025.
Sejumlah mobil melintasi terowongan (underpass) saat terjadi banjir di Jalan Angkasa, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2020). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Secara spesifik, Guswanto menggarisbawahi bahaya faktor seruakan dingin yang saat ini index chance-nya atau kemungkinan masuk Indonesia berada di angka 12,9. Indeks ini terbagi menjadi 3: lemah (11-12,9), moderat (12,9-14,9), dan kuat (>15). Dengan angka tersebut, kemungkinan seruakan dingin masuk Indonesia di level lemah dan moderat.
“Kalau lebih dari 15 itu kuat dan ini yang perlu kita waspadai. Karena pada tahun 2019-2020 banjir Jakarta (akibat curah hujan) sampai 377 mm di Halim Perdanakusuma itu yang lebih dominan akibat seruakan dingin. Dampaknya dua: curah hujan sama tinggi gelombang,” kata Guswanto.
Mengantisipasi kejadian bencana hidrometeorologi akhir 2024 dan awal 2025, BMKG melakukan tiga langkah.
Pertama, pengamatan, pengolahan, dan pemberian informasi meteorologi dan iklim sehingga mudah dipahami. Kedua, audiensi kepada pemerintah daerah dan stakeholder, termasuk menyebarkan informasi peringatan dini potensi bencana. Ketiga, melakukan Joint-SOP dengan stakeholder.
“Misalkan dengan stakeholder yang ada di pelabuhan, bandara, dan terminal. Contoh di pelabuhan Merak-Bakauheni, kita joint SOP, tanggal 30 [November], tanggal 1,2,3 [Desember] kan terjadi cuaca ekstrem, gelombang tinggi, maka ditahan seluruh kendaraan yang masuk antrian,” kata Guswanto.
Warga menambang emas di salah satu lokasi Tambang Emas kampung Ciawitali, Simpenan, Kabupaten Sukabumi. Foto: ANTARA FOTO/Nurul Ramadhan

Bukan Hanya Faktor Cuaca

Meski dinamakan bencana hidrometeorologi atau terkait cuaca, akan tetapi cuaca bukan satu-satunya faktor alami yang menyebabkan bencana ini terjadi. Guswanto menyebut faktor manusia bisa menjadi sebab.
“Misalkan kualitas lingkungan, beberapa daerah sudah mulai mengalami perubahan lahan, yang dulu ada lahan hutan sebagai penahan (air), sekarang tidak lagi,” katanya.
Menteri Lingkungan Hidup , Hanif Faisol Nurofiq, sempat menyebut bahwa 65 persen hutan di lokasi bencana Sukabumi sudah gundul yang diindikasikan karena aktivitas pertambangan. Guswanto mengamini bahwa aktivitas tambang bisa jadi sebab bencana hidrometeorologi karena hal itu mempengaruhi perubahan lahannya.
Pakar Mitigasi Bencana UPN Yogya, Prof Eko Teguh Paripurno, menyampaikan perlunya mengamati perbandingan bencana banjir Sukabumi tahun 1980-an dan kini. Pada saat itu bencana yang sama tidak banyak memakan korban jiwa.
Artinya faktor curah hujan yang merupakan pemberian Tuhan, menurut Eko, tak bisa selalu dituding jadi penyebab karena ada faktor-faktor lain yang juga mengontrol terjadinya banjir.
“Adakah perubahan morfologi, tata kelola wilayah, dan tanah batuan yang signifikan? Kalau itu terjadi semua, ada kupasan lahan, ada penebangan pohon, peningkatan perubahan morfologi dari yang alamiah menjadi seperti teras tapi enggak terkontrol untuk sebuah permukiman, ya jadinya seperti itu (banjir),” terang Eko.
Sejumlah personel SAR gabungan membawa kantong berisi jenazah korban bencana longsor saat pencarian di Kampung Cisarakan, Simpenan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (7/12/2024). Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari, mengakui meningkatnya intensitas bencana banjir didukung oleh adanya kepadatan penduduk. Hal ini dilihat dari wilayah yang tinggi frekuensi bencana seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan lain-lain.
Menurut Muhari, wilayah yang memiliki kepadatan penduduk signifikan akan menekan kualitas lingkungan. Apalagi jika terjadi masalah sistemik seperti pembuangan sampah, masalah sosial-budaya, hingga drainase yang tak memadai.
Sementara perusakan lingkungan seperti penambangan, menurut Muhari, tidak menambah frekuensi bencana, tetapi meningkatkan dampak jika bencana terjadi.
“Jadi sekali dia banjir bandang itu gede banget. Sekali dia longsor, gede. Seperti penambangan emas liar di Gorontalo, 54 orang meninggal, itu dibangun gua. Enggak sering longsor, tapi sekali longsor dia timbun semuanya,” ujar Muhari.
Guswanto, Deputi Bidang Meteorologi BMKG. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
BMKG mengimbau dalam suatu bencana peringatan dini memiliki golden time untuk melakukan evakuasi. Masyarakat mesti mengetahui kapan harus menyingkir. Seperti di bencana banjir Sukabumi, Guswanto menyebut pihaknya sudah memberi 8 kali peringatan dini pada 2-3 Desember jelang bencana terjadi.
Pada saat itu BMKG mendeteksi adanya bibit siklon tropis 99S yang berada di barat daya Banten; Mesoscale Convective Complex (MCC)--gugusan badai petir dan hujan besar yang berumur panjang dan berbentuk melingkar; dan curah hujan >150 milimeter yang masuk kategori cuaca ekstrem.
“Disebarkan berupa peta, terus ada narasinya, disebarkan ke WhatsApp, di situ ada BPBD Sukabumi dan stakeholder lain se-Jawa Barat,” kata Guswanto.
Meski demikian, Muhari menyampaikan bahwa peringatan dini dalam bencana banjir Sukabumi berupa prakiraan cuaca menurutnya kurang operasional dalam keadaan darurat. Sebab masyarakat tidak tahu bencana akan terjadi di mana, apa yang mesti dilakukan, dan kapan melakukannya.
Guswanto menyebut BMKG tengah mewacanakan solusi peringatan dini berupa SMS blast kepada masyarakat agar lebih tersampaikan secara luas dan lugas meski pesannya dibatasi 160 karakter saja.
Muhari juga menyampaikan perlunya masyarakat mematuhi imbauan aparat ketika terdapat peringatan dini bencana. Jangan sampai masyarakat bias memandang risiko kebencanaan seolah semua baik-baik saja karena tidak melihat bencananya secara langsung meski sudah ada peringatan dini.
“Ada babinsa yang inisiatif waktu itu nyuruh keluar korban yang namanya Emah (50). Sudah keluar, terus dia lihat kayaknya rumahnya enggak papa. Pas balik, longsor,” kata Muhari menjelaskan salah satu contoh bias risiko pada bencana tanah longsor Sukabumi awal Desember 2024 lalu. Emah akhirnya ditemukan tewas tertimbun longsor.
Waspada bencana di penghujung tahun. Ilustrasi: Adi Prabowo/kumparan
Untuk meminimalkan dampak bencana, BMKG dan BNPB kini tengah melakukan operasi modifikasi cuaca sepanjang Natal dan Tahun Baru. Dalam paparan Guswanto, OMC sudah dilaksanakan di Jakarta sejak 7 Desember dan Jabar-Jateng sejak 11 Desember. Paparan BNPB juga menambahkan OMC di wilayah Jatim berlangsung sejak 18 September. Khusus Jabar dan Jateng, OMC dilaksanakan dengan durasi 24 jam.
“Karena daya dukung lingkungan [daerah-daerah itu] sudah enggak kuat menerima hujan lebih dari 50 mm per hari, ya sudah kita hajarnya pemicunya kita kurangin dengan OMC,” kata Muhari. OMC dilakukan dengan menabur garam di awan sehingga hujan terjadi di wilayah yang dikehendaki.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten