Waspada Praktik Curang PPDB, Modus 'Jastip' hingga Gratifikasi

11 Juni 2024 5:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi siswa tidak lolos PPDB. Foto: Pramata/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siswa tidak lolos PPDB. Foto: Pramata/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mewanti-wanti terkait praktik kecurangan yang berpotensi terjadi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini.
ADVERTISEMENT
Berbagai praktik kecurangan itu, kata dia, mulai dari oknum guru yang memanfaatkan model jasa titipan (jastip) hingga beragam bentuk gratifikasi. Ia pun berkaca pada kejadian tahun lalu yang melahirkan kecurangan dari setiap jalur masuk PPDB.
"Salah satu hal penting yang mentrigger adalah kalau kita cermati kasus 2023, mulai dari jalur gratifikasi, bentuknya macam-macam, ya, ada yang model jual-beli kursi, kemudian numpang KK [Kartu Keluarga], ada sertifikat prestasi abal-abal, kemudian siswa titipan, kemudian ada pemalsuan data kemiskinan, kemudian manipulasi jarak zonasi, dan yang terakhir aplikasi error itu yang ternyata di lapangan tak sekadar error, tapi juga berdampak terhadap nama kemarin ada, kemudian setelah diperbaiki namanya hilang," ujar Ubaid dalam diskusi bertajuk 'Mencegah Praktik Korupsi Penerimaan Siswa Baru', di Gedung Merah Putih KPK, Senin (10/6).
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Foto: Agaton Kenshanahan/kumparan
Dalam pantauan dan laporan yang diterima oleh JPPI, musim PPDB ini justru dimanfaatkan oleh oknum guru yang melakukan pemerasan terhadap orang tua siswa.
ADVERTISEMENT
"Ini ada model di oknum kepala sekolah di sekolah tertentu yang lapor kepada kami, itu dikumpulkan tuh orang tua, lalu dikasih tahu bahwa jumlah kursi di sekolah sini sama pendaftar itu enggak imbang. Karena enggak imbang, maka ada yang enggak lulus. Karena ada yang enggak lulus, maka jangan kecewa kalau enggak lulus," jelasnya.
"Nah, [dibilang gurunya] 'kalau Bapak Ibu berani bayar sekian, maka kita usahakan nanti pas pengumuman, anak Bapak Ibu keluar namanya. Tapi, kalau Bapak Ibu enggak bisa bayar, ya enggak ada jaminan dari kami, ya terima saja kalau misalnya enggak lulus'. Itu ada oknum yang semacam itu," papar dia.
Model kecurangan lainnya, misalnya jasa titipan lewat oknum guru hingga komite sekolah. Kemudahan akses aplikasi PPDB hingga kedekatan dengan pimpinan sekolah pun dimanfaatkan oknum ini untuk berbuat curang.
ADVERTISEMENT
"Kemudian ada juga model jastip lewat guru, jasa titipan. Oknum guru orang dalam ini juga digunakan karena aplikasi dan lain-lain itu tetap di bawah kekuasaan sekolah gitu," imbuh dia.
Ilustrasi siswa tidak lolos PPDB. Foto: Pramata/Shutterstock
"Kemudian, juga ada yang melalui jalur komite sekolah. Komite sekolah ini juga punya kedekatan dengan pimpinan sekolah, kedekatan dengan dinas," tutur Ubaid.
Lalu, Ubaid juga membeberkan bahwa tak jarang ada orang tua murid yang rela merogoh kocek ke pihak luar yang mengaku-ngaku sebagai pihak sekolah, padahal bukan siapa-siapa.
Karena tertipu, uang puluhan juta yang dibayar demi memuluskan anaknya pun akhirnya hilang begitu saja.
"Kemudian ada juga broker pihak luar. Nah, ini yang seringkali orang tua ini ketipu. Jadi sudah bayar puluhan juta tapi pas pengumuman, namanya [anaknya] enggak nongol," katanya.
ADVERTISEMENT
"Ketika dikonfirmasi, ternyata si broker ini memang enggak ada hubungannya sama sekolah, cuma ngaku-ngaku sudah direstui kepala sekolah misalnya, atau ngaku-ngaku orang dalam sekolah, tapi namanya enggak tercantum di struktur sekolah sama sekali," tandas Ubaid.
Terakhir, lanjut Ubaid, juga ada model kecurangan berupa jatah kursi orang dalam. Biasanya, model ini dimanfaatkan oleh oknum pejabat.
"Kemudian, yang terakhir adalah jatah kursi orang dalam. Oknum pemerintah daerah, dinas, dan DPR, ini juga banyak juga dikeluhkan masyarakat," pungkasnya.
Sejalan dengan itu, Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, dalam kesempatan yang sama mengungkapkan bahwa Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2023 menemukan sebanyak 24,6% guru menyatakan masih ada siswa diterima karena telah memberikan imbalan tertentu kepada pihak sekolah.
ADVERTISEMENT
Kemudian, juga ada temuan 42,4% guru yang mengungkapkan bahwa sebenarnya ada siswa-siswa yang tidak layak diterima di sekolah tersebut dengan berbagai alasan.
"Ini memperlihatkan bahwa kondisi di dunia pendidikan kita nilainya masih di bawah yang diharapkan," tandas Wawan.