Ilustrasi LGBT

Waswas LGBT Meluas (2)

27 Maret 2023 13:17 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Winindakh, seorang ibu, resah karena konten-konten bermuatan lesbian, gay, biseksual, dan transeksual bergentayangan di media digital. Ia cemas karena tak bisa 100% mengawasi anaknya ketika sedang menonton tayangan di internet.
Ahsani Taqwim, seorang ayah, juga merasakan hal serupa. Ia mencontohkan adanya tayangan kreator konten di media sosial yang memampang unsur LGBT. Dalam tayangan itu, ada dua orang lelaki berperan sebagai orang tua—satu berperan sebagai Ayah, dan pasangan lelakinya berperan sebagai Mamah.
“Ini akan membuat anak-anak [yang menonton] nantinya jadi kurang paham soal identitas dirinya,” kata Ahsani. Ia mengkhawatirkan tontonan semacam itu sebagai propaganda LGBT yang kini meluas baik dalam bentuk penggunaan simbol, warna, atau suara.
Ketua MPR Bambang Soesatyo. Foto: MPR RI
Dua hari berturut-turut, Ketua MPR Bambang Soesatyo mewanti-wanti masyarakat akan bahaya kehidupan seks dan perkawinan sejenis. Pesan itu disampaikan Bamsoet dalam peringatan 9 Tahun UU Desa di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (19/3).
Sehari kemudian, Senin (20/3), ia kembali menyinggung soal LGBT dalam Musyawarah Adat Nasional Lembaga Tinggi Masyarakat Adat RI di kompleks parlemen.
“Untuk urusan LGBT, tidak ada tawar-menawar, kita harus lawan. Walaupun itu adalah produk kemajuan zaman, produk modernitas, tetapi harus kita tolak," kata Bamsoet.
Bamsoet juga menyatakan ketidaksetujuannya dengan negara tetangga yang melegalkan perkawinan sesama jenis. Meski tak menyebut negara yang ia maksud, namun pada November 2022 Singapura telah mencabut UU yang melarang hubungan seks kelompok gay.
Bamsoet menekankan, LGBT tak sesuai dengan nilai enam agama yang diakui di Indonesia.
“Saya tidak pernah melihat ayam jago kawin sama ayam jago,” ujarnya, pedas.
Ilustrasi: kenchiro168/Shutterstock
Perkara LGBT merupakan hal tabu di Indonesia. Persoalan ini acap menjadi perdebatan tiap mencuat ke publik. Kalangan LGBT resah bakal didiskriminasi, sedangkan orang tua gelisah anak-anak mereka akan terpengaruh ragam konten dengan sisipan LGBT.
KPAI misalnya pernah mendesak revisi buku Balita Langsung Lancar Membaca karena memuat frasa yang menjurus ke LGBT. Buku tersebut diadukan ke KPAI pada 2017.
“Buku itu menggambarkan rumah tangga yang orang tuanya pasangan sejenis,” kata Komisioner KPAI Margaret Aliyatul Maimunah.
KPAI juga pernah mempersoalkan beberapa tayangan yang mengandung unsur LGBT seperti seri kartun Doc Mcstuffins yang menampilkan pasangan sesama jenis perempuan sebagai orang tua dari dua anak; juga film animasi spin-off Toy Story berjudul Lightyear (2022) yang menampilkan adegan ciuman sesama jenis.
Sejumlah film dan seri kartun juga pernah dituding memuat unsur LGBT, misalnya Beauty and the Beast (2017) yang memperlihatkan adegan pria kagum dengan pria lainnya. Walau sempat memicu kontroversi, film ini lolos sensor karena tak ada adegan eksplisit kontak fisik LGBT.
Seri kartun SpongeBob SquarePants bahkan pernah ditafsirkan mengandung LGBT setelah Nickelodeon—jaringan televisi yang menayangkan SpongeBob—mencuit soal tokoh kartunnya yang menjadi bagian dari komunitas LGBT.
Ilustrasi: Putri Sarah Arifira/kumparan
Keberadaan buku, film, dan konten media sosial yang menampilkan LGBT, menurut Margaret, sangat memengaruhi anak karena anak biasa meniru apa yang mereka lihat dan tonton.
“Dia akan menganggap semua itu boleh ditiru; menganggapnya sebagai hal yang boleh dan benar. Karena dia lihat contohnya,” ujarnya.

LGBT dalam Film Makin Banyak

Lembaga Sensor Film mengatakan bahwa kini banyak film berunsur LGBT, terutama yang berasal dari luar negeri. Namun, tak semua film berunsur LGBT itu bisa disensor.
“Ketika adegan itu digolongkan LGBT tapi adegannya biasa seperti orang jalan atau orang makan bareng, itu tidak disensor,” kata Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat (24/3).
Menurut Rommy, cuma film yang terang-terangan mempertontonkan adegan pornografi-pornoaksi yang bisa masuk kriteria penyensoran. Berdasarkan Pasal 12 Permendikbud Nomor 14 Tahun 2019, film atau iklan yang mengandung pornografi di antaranya memperlihatkan visual telanjang, visual/dialog persenggamaan vulgar dan perilaku seks menyimpang, ciuman bibir menjurus pornografi, tarian erotik, hingga dialog cabul.
Itu sebabnya Beauty and The Beast dulu lulus sensor untuk usia 13 tahun ke atas, sebab film itu tak menampakkan adegan seks apa pun. Sementara adegan yang dituding bernuansa LGBT pada film itu hanya berupa tarian dan nyanyian oleh LeFou yang mengagumi bosnya, Gaston.
Usai sang sutradara, Bill Condon, mengungkap bahwa lakon LeFou adalah gay, barulah terang betul bahwa film live action Disney tersebut memang punya nuansa LGBT di dalamnya.
Begitu pula dengan film semesta Marvel Eternals (2021). Satu adegan film itu menampilkan karakter superhero Phastos, seorang laki-laki, yang mencium pasangan prianya dan membesarkan anak laki-laki bernama Jack. Eternals juga lolos sensor dengan rating 13+ di Indonesia, tetapi tak menampilkan adegan ciuman tersebut karena dipotong oleh pihak Marvel.
Angelina Jolie yang berperan sebagai superhero bernama Thena dalam film itu berharap, penonton Eternals tak menganggap adegan itu sebagai sebuah keragaman semata, tetapi sebagai “sesuatu yang normal dan benar”.
Ilustrasi: Kemenparekraf
UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman mengatur bahwa setiap film yang akan dipertunjukkan untuk umum di Indonesia mesti mendapat surat tanda lulus sensor (STLS) dari LSF. Film itu termasuk yang tayang di bioskop, televisi, festival, dan jaringan informatika.
Proses pendaftaran penyensoran dapat dilakukan secara online. Pemilik film bisa mendaftar ke Administrasi Sensor Berbasis Elektronik dan mengisi data film yang akan disensor seperti judul, pemilik, asal negara, hingga durasi.
LSF memiliki 5 studio sensor yang masing-masing diisi oleh 2 anggota LSF dan 3 tenaga sensor. Dalam setahun, LSF bisa menyensor lebih dari 40 ribu judul film. Pada 2020, ada 16 film tak lulus sensor, dan 12 di antaranya karena menampilkan pornografi dan eksploitasi LGBT. Sementara pada 2021, ada 2 film tak lulus sensor.
Ilustrasi: Shutterstock
LSF bukan semata mencoret film dengan muatan adegan yang dinilai tak pantas dalam proses sensor, tapi juga melakukan pemeringkatan klasifikasi film sesuai umur.
Awalnya, semua film diperlakukan untuk semua umur. Lalu dalam proses sensor akan ditentukan apakah film itu layak untuk 13 tahun ke atas, 17+, atau 21+.
Jika tayangan masih belum masuk kategori 21+, film tersebut dikembalikan dengan catatan ke pemilik film. Selanjutnya, pemilik film bisa mengajukan sensor ulang setelah melakukan penyesuaian adegan film hingga 3 kali.
Proses pemberian rating film pun bersifat dialogis. Misalnya, ketika ada film yang dicatat LSF sebagai 17+ namun pemilik film merasa tayangan itu bisa untuk 13+, hal tersebut kemudian didiskusikan antara LSF dan pemilik film untuk mencapai kesepahaman, apakah dengan menurunkan rating film atau memotong adegan tertentu.
Ilustrasi naskah film: Basith Subastian/kumparan

Bagaimana dengan Platform Tayangan Berlangganan?

Film-film di Indonesia yang tayang di bioskop dan televisi menurut LSF sudah sesuai alur dan aturan. Yang dinilai jadi masalah adalah tayangan berbasis jaringan informatika (over-the-top) seperti platform langganan video-on-demand. Layanan ini dinilai masih longgar regulasinya.
LSF pernah membuat pemantauan terhadap tujuh layanan over-the-top pada Maret–Desember 2021. Hasilnya, dari 3.524 temuan, terdapat 2.501 tayangan yang tidak menampilkan surat tanda lulus sensor, sedangkan 333 tayangan lainnya diindikasikan belum melalui penyensoran.
Menurut Rommy, LSF sudah mengajak diskusi beberapa penyedia layanan over-the-top terkait pentingnya penyensoran tayangan di platform mereka. Beberapa layanan yang sudah menyensorkan sejumlah tayangannya antara lain WeTV, iFlix, Viu, dan Disney. Sisanya belum.
LSF menyebut ada layanan over-the-top asing yang bandel karena tak mau menyensorkan tayangannya. Pihak layanan sudah diundang LSF, namun tak hadir lantaran tak memiliki kantor di Indonesia meski beroperasi di sini.
Rommy mengatakan, layanan bandel tersebut punya kantor terdekat di Singapura.
Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto. Foto: kumparan
“Atmosfer bisnis harus dijamin keadilannya. Enggak adil ada yang enggak tersentuh sama sekali, sementara yang lain taat menyensorkan. Mestinya ada regulasi yang lebih ketat dan jelas tentang ini (over-the-top asing),” kata Rommy.
Di Indonesia, layanan over-the-top dikategorikan sebagai penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup privat yang sudah diatur dalam Permenkominfo 20/2020 turunan UU ITE hasil revisi Nomor 19/2016 dan PP Nomor 71/2019.
Pasal 2 Permenkominfo 20/2020 berbunyi bahwa setiap PSE, termasuk yang memiliki aplikasi internet, wajib melakukan pendaftaran untuk mengirim materi atau muatan digital berbayar melalui jaringan data ke perangkat pengguna sistem elektronik.
Basis utama UU ITE dan turunannya, menurut Dirjen Aptika Kominfo Semuel Pangerapan, adalah mengakui realitas digital layaknya realitas fisik.
Jadi, kewajiban PSE over-the-top dalam beleid itu untuk memastikan platformnya tidak memuat informasi yang dilarang aturan perundang-undangan. Mereka juga wajib take down konten yang dilarang aturan. Kalau tidak, bisa berujung sanksi pemblokiran.
Foto: REUTERS/Dado Ruvic
Pengaturan layanan video streaming-on-demand seperti Netflix atau YouTube diadopsi Uni Eropa pada 2018. Dalam aturan terbaru, penyedia layanan media itu mesti memerangi konten yang menghasut kekerasan, kebencian, dan terorisme. Regulasi terbaru kawasan itu juga mengatur ketat mengenai pornografi.
UU tersebut juga mencakup pengaturan ketat soal periklanan, penempatan produk di program TV anak-anak, dan konten yang tersedia di platform video-on-demand. Selain itu, platform video-on-demand di Uni Eropa wajib menayangkan 30% film-film Eropa.
Aturan serupa diberlakukan di Australia. Di benua kanguru itu, layanan over-the-top tak hanya wajib mendaftar pada regulator, tapi juga menyampaikan investasi dan pendapatan yang mereka peroleh. Mereka juga wajib mengalokasikan 5% pendapatan untuk konten Australia.
Sementara pada 2021, Inggris mengkaji aturan yang memberlakukan over-the-top layaknya siaran TV konvensional agar tercipta keadilan.

LGBT: Tidak Mendiskriminasi, Tidak Mempromosikan

Arus Pelangi, salah satu organisasi yang mewadahi LGBT, menekankan bahwa LGBT bukan penyakit menular. Kaum LGBT hanya ingin diterima apa adanya. Mereka juga ingin masyarakat memahami adanya keberagaman orientasi seksual.
“[LGBT] jangan didiskriminasi, jangan dipersekusi, jangan dikucilkan, jangan diserang,” kata Sekjen Arus Pelangi Echa Waode kepada kumparan, Kamis (23/3).
Di sisi lain, Echa—yang seorang transpuan—menegaskan kalangannya tidak pernah berniat mempropagandakan atau mempromosikan LGBT seperti yang ditakutkan sebagian orang.
“Kami tidak mengajak orang untuk menjadi bagian dari kami. Aku sendiri waktu kecil tidak bercita-cita jadi waria, jadi transpuan. Aku juga tidak terpengaruh siapa pun,” tegas Echa.
Menurutnya, jalan hidupnya sebagai transpuan saat ini mengalir begitu saja. “Bukan gara-gara main dengan si A lalu ketularan. Oh, tidak. Kami tidak menularkan. Kami bukan penyakit.”
Ilustrasi: Sokolov Olleg/Shutterstock
Psikolog Tika Bisono mengatakan, mayoritas masyarakat Indonesia saat ini memang menentang LGBT dinormalkan. Namun, hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga Amerika Serikat dan Eropa.
Menurut Tika, LGBT bukan hanya terbentuk karena pengaruh konten film. Mereka biasanya juga punya trauma dalam perkembangan hidupnya.
“Rata-rata trauma seksual yang kalau tidak diatasi bisa jadi momen untuk menyeberang [jadi LGBT],” kata Tika.
Ini misalnya terjadi pada Siska, perempuan 30 tahun yang pernah menyukai sesama perempuan saat SMP. Menurutnya, ia pernah mengalami pelecehan seksual oleh sepupu laki-lakinya saat berusia 7 tahun.
Selain itu, pada usia itu pula Siska kehilangan ayahnya yang meninggal, sehingga harus tinggal bersama keluarga laki-laki dari pihak ibu. Sayangnya, keluarga itu sering menyakiti ibunya.
“Saya akhirnya menganggap laki-laki sebagai sosok yang menakutkan,” kata Siska yang meminta nama aslinya disamarkan.
Ilustrasi: ie27/Shutterstock
Menyitir data KPAI, pada 2016–2019, anak pelaku LGBT berjumlah 59 orang, sedangkan anak yang menjadi korban LGBT tercatat 68 orang. Tahun berikutnya, 2020, laporan berjumlah nol.
Sementara pada 2021–2022, klaster anak sebagai pelaku/korban LGBT berubah. Data anak sebagai pelaku kekerasan seksual pemerkosaan sesama jenis ada 4 orang, sementara anak sebagai pelaku pencabulan sesama jenis berjumlah 6 orang.
Menurut Komisioner KPAI Margaret Aliyatul Maimunah, selain faktor trauma, faktor pengasuhan anak dan faktor ekonomi juga bisa memengaruhi anak menjadi LGBT. Sementara pengaruh film hanya faktor pendukung.
Arus Pelangi membantah bila film sebagai seni disangkutpautkan sebagai propaganda untuk mengajak orang lain menjadi bagian dari LGBT.
“Itu pemikiran orang yang transfobia terhadap isu teman-teman [LGBT]. Misal, Upin & Ipin dibilang ada unsur LGBT-nya,” kata Echa.
Upin @ Ipin. Foto: Fadjar Hadi/kumparan
Sementara soal pernyataan pejabat negara agar mewaspadai LGBT, menurut Echa hal itu sudah biasa muncul menjelang tahun politik, seolah menjadi tradisi.
Echa menyatakan, setiap warga negara memiliki hak asasi yang mesti dihargai oleh negara.

Cara Membentengi Anak

KPAI berpendapat, anak-anak bukannya tak bisa terpengaruh LGBT. Anak-anak yang tadinya heteroseksual bisa saja berubah orientasi sensual bila kena rayu.
“Kalau sudah terpengaruh, ikut komunitas, sudah merasa ketagihan dan enak, dia bisa naksir yang lain juga,” kata Margaret.
Menurutnya, ada 3 upaya yang mesti ditempuh untuk membentengi anak dari LGBT. Pertama, memantapkan pola asuh berkualitas bagi anak. Kedua, membangun komunikasi yang baik antara anak dengan orang tua. Ketiga, orang tua mesti punya kesadaran penuh soal LGBT sehingga bisa turut mengontrolnya di masyarakat.
“Kalau tidak ada kontrol, itu sama dengan membiarkannya semakin merajalela,” ujar Margaret yang menolak pidana untuk LGBT.
Komisioner KPAI Margaret Aliyatul Maimunah. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Menurut Margaret, LGBT perlu direhabilitasi, bukannya dipidana. Dalam konteks ini, ia menyinggung RUU Ketahanan Keluarga yang pernah dibahas di DPR. Pasal 85 draf RUU itu menyebut bahwa salah satu krisis keluarga adalah akibat perilaku seksual menyimpang, termasuk homoseksual dan lesbian.
“Artinya LGBT masuk menjadi bagian yang dianggap dapat memicu krisis ketahanan keluarga. Di pasal berikutnya, yang bersangkutan (LGBT) wajib melaporkan diri untuk kemudian ditangani atau disembuhkan,” kata Margaret.
RUU Ketahanan Keluarga sempat masuk program legislasi nasional tahun 2020. Namun, RUU itu kandas dibahas lebih lanjut menjadi RUU inisiatif DPR usai ditolak 5 dari 9 fraksi di DPR.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten