Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Wawancara Terakhir Yusuf Supendi Bersama kumparan
3 Agustus 2018 11:24 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Jumat pagi (3/8), kabar mengagetkan kembali datang. Yusuf Supendi meninggal dunia di usianya yang ke-60 tahun. Ia mengembuskan napas terakhir pukul 07.00 WIB di RSCM, Jakarta Pusat. Almarhum akan dimakamkan usai salat Jumat di TPU Kober, Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Belum lama ini, kumparan sempat dua kali menyambangi Yusuf Supendi di kediamannya yang redup dan senyap di Pekayon, Pasar Rebo. Menuju rumah itu tak terlalu mudah karena harus memasuki gang yang jauh dari jalan raya.
Kamis (19/7), dua hari setelah mendaftar ke KPU sebagai calon legislator DPR RI dari PDIP, ia berbincang banyak hal. Sebagian besar soal politik yang memang jadi minatnya sejak lama. Berikut petikan wawancara terakhir Yusuf Supendi bersama kumparan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Anda melihat konstelasi politik menuju 2019?
Di kubu Prabowo, sepertinya sekarang tergantung pilihan Prabowo apakah mau legowo menerima kader PKS jadi cawapres. PKS memang keukeuh ke Prabowo, tapi kan mau koalisi dengan Gerindra dengan syarat cawapresnya dari PKS. Ngotot banget. Kalau Prabowo nggak menerima, PKS bisa ngambek. Prabowo bisa kurang suara.
Kalau PKS, PAN, Demokrat bergabung ke Gerindra, itu (kompromi) akan susah selesai, karena semua ingin kadernya jadi cawapres. Demokrat, karena suaranya lebih besar, tentu majukan AHY. Pasti berebut itu, dan tidak mungkin semua dapat (jatah cawapres).
Anda pendiri PKS, bagaimana berdakwah dalam Islam menurut Anda?
Setelah Soeharto jatuh, kami (para pendiri PKS) memanfaatkan momen Reformasi untuk mendirikan partai. Berdirilah Partai Keadilan karena politik itu bagian dari dakwah.
ADVERTISEMENT
Seorang hamba Allah harus menguasai politik. Bukan berarti segala-galanya politik, tapi politik adalah salah satu elemen dari dakwah.
Partai Keadilan berdiri 20 Juli 1998, dan tahun 1999 ikut pemilu. Tapi dapat suara hanya satu koma sekian persen, sehingga tidak memenuhi syarat untuk ikut pemilu berikutnya.
Berdasarkan UU waktu itu, apabila perolehan suara tidak mencapai dua persen, tidak bisa. Akhirnya ganti partai. Partai Keadilan jadi Partai Keadilan Sejahtera.
Pada 20 Juli 2002 berdirilah PKS. Beda nama dan beda logo dengan Partai Keadilan, meski tak terlalu jauh.
Kenapa sekarang memilih nyaleg dari PDIP?
Kalau analisa saya, partai itu dibagi tiga: papan atas, papan menengah, papan bawah. Papan atas itu PDIP, setelahnya Golkar--dia solid, lalu Gerindra. Papan menengah PKB dan Demokrat. Papan bawah Hanura, PAN, PKS, NasDem. Itu menurut saya.
ADVERTISEMENT
Saya lihat, berpolitik itu seperti main bola. Parpol yang punya kursi di parlemen ibaratnya sudah di tengah gawang. Tinggal ngejar ke gawang. Nah, kalau parpol yang enggak di parlemen, itu masih jauh dari gawang.
Pertimbangan saya, PDIP ini sudah di depan gawang. Punya kursi di DPR. Saya cermati, suaranya lumayan besar. Saya kan di Bogor, kemungkinan (konstituennya) mayoritas Islam yang fanatik ke partai. Kalau saya masuk, bisa disambut dan menambah suara.
Saya di-WhatsApp, katanya PDIP partai anti-Islam. Saya jawab, ‘Ente tidak mengerti peta politik.’ Lalu saya jelaskan positif-negatifnya. Jadi ini pilihan, saya sudah bismillah.
Ketika saya gabung PDIP, saya wanti-wanti betul kepada Hasto, sebaliknya Hasto wanti-wanti juga soal kepindahan saya, agar tidak bocor sampai waktu pendaftaran ke KPU.
ADVERTISEMENT
Saya bergabung dengan PDIP juga karena dorongan teman-teman dekat yang membuat hati saya menjadi bulat. Tidak ada sama sekali dorongan duit.
Soal duit, bismillah saja. Saya sudah siap sekitar 10 posko di 7 kecamatan untuk Pileg nanti. Sudah mulai asyik. Saya jalan, rencananya bertemu warga dulu, lalu kepala desa, camat, lurah, pengurus musala dan masjid. Semua akan saya temui.
Maju dari Daerah Pemilihan Bogor, ya?
Saya kan asli Bogor, keluarga juga di Bogor. Cuma KTP sini (Jakarta). Saya punya beberapa sekolah, pesantren, majelis taklim, dan bangun tujuh masjid di Bogor. Oleh karena itu saya nggak perlu bicara banyak soal visi misi program saat kampanye. Sudah ada.
Paman Yusuf Supendi, KH Sholeh Iskandar yang namanya diabadikan menjadi nama salah satu jalan protokol di Bogor, merupakan ulama besar dan pejuang kemerdekaan di kota itu.
Siapa yang mengajak Anda bergabung dengan PDIP?
ADVERTISEMENT
Ini jodoh saya bertemu PDIP. Saya bertemu Sekjen PDIP (Hasto Kristiyanto) karena bersahabat. Kami ngobrol sampai akhirnya saya bilang, “Bagaimana kalau saya bergabung dengan PDIP?”
Kami cuma bertemu dua kali. Ini soal persahabatan dan nasib.
Sejak berkonflik dengan PKS pada 2004, saya memang malah akrab dengan politikus non-PKS karena kader PKS dilarang untuk berkomunikasi dengan saya.
Jadi saya bergabung ke PDIP ini adalah ijtihad dan pilihan sikap setelah mempertimbangkan pro dan kontranya.
Ada pemicu yang membuat Anda yakin dengan pilihan itu?
Memang ada yang membuat saya mantap ke PDIP . Jadi saya punya langganan tukang roti pikul, sudah belasan tahun kenal saya di Bogor. Saya tanya ke dia, “Mang, mungkin nggak saya ke PDIP?”
ADVERTISEMENT
Dia jawab, “Pak Ustaz, sekarang kan sudah zaman demokrasi. Mau dari partai apa saja, bisa saja. Pak Ustaz kan politisi, sudah kenal banyak orang. Mau ke mana juga, dasar negara sama, Pancasila.”
Kaget saya, tukang roti pintar bicara demokrasi. Lalu kami berdiskusi lagi, dan saya yakin untuk berpolitik.
Saya ingin memberi manfaat buat orang lain, dan yakin di DPR bisa membantu dan memfasilitasi orang untuk hidup lebih baik. Lagi pula, saya tak cari apa-apa.
Saya punya konveksi kecil-kecilan, usaha yang cukup buat hidup saya. Sementara dua anak saya sudah menikah, dan satu lagi kuliah. Jadi, apa lagi yang saya cari?