Wejangan Sang Penjaga Hutan ke Anaknya yang S3 di Jepang: Kesopanan dan Mandiri

19 Juni 2020 19:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penjaga Hutan Wanagama dan anaknya Sawitri. Foto: Dok. Sawitri
zoom-in-whitePerbesar
Penjaga Hutan Wanagama dan anaknya Sawitri. Foto: Dok. Sawitri
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Cita-cita Tukiyat (51), penjaga hutan Wanagama yang dikelola UGM di Gunungkidul, untuk menyekolahkan anak semata wayangnya hingga tinggi sebentar lagi tercapai. Putrinya bernama Sawitri (26) pada September mendatang akan mengakhiri studi S3 di Universitas Tsukuba, Jepang.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Sawitri ini tak terlepas dari pola pendidikan yang diajarkan oleh Tukiyat dan sang istri. Sebagai orang yang berpenghasilan pas-pasan, ia mendidik Sawitri dengan didikan keras.
Sopan santun, mandiri dan hidup prihatin menjadi ajaran Tukiyat kepada Sawitri sejak belia. Tukiyat mulai bekerja sebagai penjaga hutan pada tahun 1987 dengan upah Rp 14 ribu per bulan dan 10 kg beras. Ia, baru diangkat menjadi PNS pada tahun 2008.
Saat bertemu kumparan, Tukiyat mengenang upah yang pas-pasan di masa lalu menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga. Kendala ekonomi ini pula yang membuatnya mendidik sang anak dengan caranya sendiri. Tukiyat mengakui memang memberikan pendidikan yang keras kepada Sawitri.
"Kalau dulu dari kecil saya kan jelas orang tidak punya bahkan orang tua saya tidak punya maka saya turunkan kepada anak, jadi saya sama orang tua dididik keras tujuannya ternyata untuk supaya kita mandiri," ujar Tukiyat ditemui kumparan di hutan Wanagama, Jumat (19/6).
Rumah dinas Tukiyat dan keluarga. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
"Makanya saya punya anak Sawitri walaupun cewek juga keras. Jadi lahiran di kampung 35 hari saya bawa ke Wanagama, saya kan sudah tinggal di perumahan Wanagama 90-an. Di situ tidak ada tetangga," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Tetangga terdekat dari rumah dinas itu berjarak 1 kilometer, maka praktis Sawitri hanya bermain sendiri di hutan. Sawitri sesekali diajaknya ke kampung, misal sewaktu ada arisan
Pendidikan sopan santun kepada Sawitri dimulai dari situ. Sawitri harus menurut dengan tuntunan Tukiyat, seperti memberi salam dan bersalaman kepada yang sedang punya hajat.
"Setelah salaman selesai baru kita duduk dan dia tak suruh di samping saya harus duduk. Kan banyak anak kecil diajak orang tuanya sampai di tempatnya lari-lari. Saya enggak suka, saya didik walaupun kecil bagaimana sopan santun dan tata krama. Biar dia tahu sopan santun. Biar sampai selesai (arisan) tetap anteng," kata dia.
Penjaga Hutan Wanagama dan anaknya Sawitri. Foto: Dok. Sawitri
Tak sampai di situ, pendidikan mental juga ditempat Sawitri sejak TK. Saat TK, hanya satu kali Sawitri diantar bapaknya. Setelah itu Sawitri diminta berjalan sendiri ke sekolah. Padahal jarak rumah ke TK Banaran 6 mencapai 1,5 Kilometer.
ADVERTISEMENT
Hal itu pun berlanjut hingga Sawitri menempuh pendidikan di SD 3 Banaran hingga SMP 4 Playen. Di SMA 1 Wonosari pun Sawitri juga masih harus berjalan hingga ke jalan raya sebelum lanjut menggunakan angkutan umum.
Tukiyat pun tak takut ada sesuatu yang terjadi pada anaknya ketika berjalan sendiri. Meski, ia mengamini di kawasan hutan Wanagama masih ada harimau.
"Seingat saya harimau memang ada, tapi jarang keluar, itu di petak 5 ada gua. Tapi sekarang banyak orang lalu lalang. Mungkin sampai sekarang ada tapi jarang kelihatan," ungkap Tukiyat.
"Sawitri jalan tidak takut hewan buas, tidak was-was, aman. SD saja sudah ditinggal, kadang saya ditugaskan keluar. Mamaknya kadang ikut masak untuk tamu Wanagama di asrama jarang pulang, dia (Sawitri) di rumah sendiri," ujarnya.
Anak penjaga Hutan Wanagama, Sawitri. Foto: Dok. Sawitri
Hidup dengan prihatin diajarkan Tukiyat dengan membatasi uang jajan Sawitri. Dalam seminggu, hanya sekali Sawitri diberi uang jajan, itu saat ada jam pelajaran olahraga. Akan tetapi ternyata uang jajan itu tak sepenuhnya digunakan Sawitri yang lebih memilih makan di rumah.
ADVERTISEMENT
"Memang saya perlakukan mandiri, prihatin. Saya merasa bukannya enggak punya, tapi untuk mendidik anak kalau mau sekolah agak tinggi enggak kuat membiayai sedang gaji saya berapa dulu," katanya.
Sawitri tak pernah protes dengan kebijakan Tukiyat. Dia justru lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Buku-buku di perpustakaan Wanagama menjadi temannya sehari-hari. Tak mengherankan, sejak TK dia pun sudah pandai membaca melampaui rekan sebaya.
"Karena dari kecil saya didik keras mungkin sedikit-dikit jadi punya pikiran dewasa walaupun dia masih kecil," ujarnya.
Berkat pendidikan yang diajarkan itu, Sawitri pun akhirnya meraih pendidikan tinggi. Sawitri menyelesaikan studi S1 dan S2 di Fakultas Kehutanan UGM. Kemudian, sejak 2017, Sawitri meneruskan pendidikan S3 di Jepang dengan beasiswa penuh.
ADVERTISEMENT
Kini, jelang Sawitri meraih gelar doktor, Tukiyat berharap anaknya terus menjaga sopan santun yang dia ajarkan sejak kecil. Dia juga ingin ilmu yang diperoleh Sawitri dapat bermanfaat bagi nusa dan bangsa.
"Yang penting hanya satu sopan santun jangan ditinggal. Hati-hati, terus salat, dan jangan tinggalkan sopan santun," ujar Tukiyat.
"Kalau masalah pekerjaan kita sudah tahu akal kita sudah prihatin yang menentukan yang kuasa. Harapan orang tua tetap ada berguna bagi nusa dan bangsa. Kita hidup berusaha," pungkasnya.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
*****
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.