Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Imbauan agar pekerja bekerja di rumah tidak efektif. Imbauan pemerintah tak punya kekuatan mengingkat. Skenario pembatasan sosial pun terancam ambyar.
Askolani, bukan nama sebenarnya, cuma bisa pasrah. Karyawan PT Permodalan Nasional Madani—salah satu anak perusahaan BUMN—ini harus berdesakan di kereta listrik menuju kantor di tengah gentingnya penyebaran wabah COVID-19 , Senin (23/3).
Ia tak punya pilihan. PT PNM tetap mewajibkan sebagian karyawannya masuk kantor. Kebijakan itu kontras dengan arahan Presiden Jokowi yang berulang kali meminta masyarakat menjaga jarak sosial, salah satunya dengan bekerja dari rumah (work from home).
Asko dan rekan-rekannya tak mendapat jawaban pasti kenapa perusahaan masih mengharuskan karyawan bekerja di kantor.
“Kalau kata direksi, ‘Dirut sendiri belum ada instruksi (WFH ) dari Kementerian BUMN karena Menteri BUMN Pak Erick Thohir masih masuk,’” kata Asko menirukan ucapan manajemen kantornya.
kumparan yang mencoba mengonfirmasi hal tersebut kepada Kementerian BUMN, belum mendapat jawaban.
Sementara itu, kolega Asko yang menolak masuk kantor di tengah merebaknya wabah COVID-19, memilih meliburkan diri. Mereka pun kehilangan uang makan dan transpor harian.
Ketidaksesuaian antara imbauan pemerintah dengan regulasi perusahaan BUMN membuat pekerja seperti Asko berada di posisi sulit.
“BUMN dan pemerintah saja belum sinkron, sedangkan kondisinya sudah begini ngeri,” katanya.
Bagi Asko, masalah makin pelik. Kantor tempatnya bekerja tidak punya alat penunjang sanitasi yang memadai.
“Masker juga enggak ada, hand sanitizer aja kurang,” ujar Asko. Ia tambah cemas.
Belum lagi, ia harus pergi-pulang menggunakan moda KRL Commuterline. Tak heran Asko tak pernah tenang bekerja dua hari belakangan.
Lagi-lagi, dia cuma bisa pasrah. “Berjuang aja, bismillah, meski ngeri juga saya.”
Ketika kumparan mengkonfirmasi soal aturan masuk kantor di tengah wabah corona ke PT PNM, perwakilan mereka menolak berkomentar.
“Mohon maaf, untuk kali ini PT PNM tidak bersedia untuk di-interview terkait kebijakan WFH dikarenakan satu dan lain hal,” ujarnya, meminta namanya tak disebut.
Keresahan tak cuma menghinggapi para pekerja yang masih harus masuk kantor. Keluarga mereka pun punya kekhawatiran sama.
Erna, juga bukan nama sebenarnya, resah karena suaminya tak juga diberi izin bekerja dari rumah. Sang suami masih harus bekerja di kantornya di Jakarta Selatan—kawasan yang punya jumlah pengidap COVID-19 tertinggi di Jakarta. Erna jelas waswas.
Suami Erma, yang bekerja di sebuah perusahaan multinasional, masih melaju dari Bekasi ke kantornya setiap hari.
Perusahaan tak memberi alasan tegas mengapa tak memperkenankan pegawainya bekerja dari rumah. Erna ketakutan bila suaminya tertular COVID-19 saat bekerja.
Erna menilai, imbauan pemerintah untuk membatasi jarak sosial itu tak punya taji. Sebab, masih banyak perusahaan yang tidak mengikuti saran itu.
“Saya dan anak di rumah mencoba bersih, tetapi saya tidak bisa kontrol suami saya di kantor bebas virus atau tidak,” kata Ema. “Jadi kepikiran banget. Setiap suami pulang, saya jadinya nangis, parno dengan berita.”
Apa yang dialami Asko dan suami Ema hanya sebagian kecil dari cerita mereka yang harus pergi bekerja seperti biasa di saat pemerintah mengimbau pekerja untuk work from home guna menekan angka penularan penyakit COVID-19.
Email redaksi kumparan menerima puluhan keluhan sejenis setiap harinya.
Imbauan Presiden Jokowi mengenai pentingnya bekerja dari rumah sejak 15 Maret ibarat angin lalu. Ucapan itu hanya berupa pernyataan lisan tanpa dituangkan dalam dokumen resmi yang bisa dijadikan acuan pengambilan kebijakan.
Padahal, pemerintah punya instrumen untuk memungkinkan hal itu terjadi. Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan 6/2018 memberi kewenangan pemerintah untuk menetapkan status pembatasan sosial berskala besar.
Penerapan pembatasan sosial skala besar, berdasarkan beleid tadi, juga harus disertai peliburan tempat kerja dan sekolah. Di Jakarta, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi sebenarnya juga mengeluarkan Surat Edaran 14/SE/2020 tentang Himbauan Bekerja di Rumah.
Isinya: meminta agar perusahaan menghentikan seluruh operasinya atau menghentikan sebagian operasinya. Persoalannya, Pemprov DKI tak punya kewenangan untuk memberi sanksi bagi perusahaan yang tak mengindahkannya.
Sementara Kementerian Tenaga Kerja tak bisa dimintai konfirmasi soal nasib para pekerja yang tak bisa bekerja dari rumah. kumparan berusaha menghubungi Staf Khusus Menaker Dita Indah Sari, Sekretaris Jenderal Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Andriani, serta Menaker Ida Fauziyah. Namun, tidak ada jawaban dari ketiganya.
Peneliti INDEF Bhima Yudhistira menilai, seraya melakukan imbauan bekerja dari rumah, pemerintah seharusnya menjadi fasilitator bagi pengusaha dan pekerja. Pemerintah harus bisa merinci jenis pekerjaan apa yang bisa dikerjakan di rumah, kemudian menjabarkannya dalam sebuah regulasi.
“Menjabarkan detail jenis pekerjaan apa yang bisa dilakukan dari rumah, sehingga pemilik perusahaan tidak bisa mengelak,” kata Bhima.
Selanjutnya, menurut dia, pemerintah perlu membuat regulasi mekanisme pengajuan “bekerja dari rumah” bagi jenis pekerjaan yang memang diatur dalam regulasi tersebut.
Sistem aduan untuk para pekerja harus dibuka guna menjaga hak-hak pekerja yang memang jenis pekerjaannya diizinkan untuk bekerja dari rumah.
“Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja, membuka ruang pengaduan pekerja yang ditolak mengajukan WFH oleh perusahaan atau manajemen,” kata Bhima.
Selama belum ada aturan tegas perlindungan pekerja yang ingin bekerja dari rumah, pekerja akan tetap rentan tertular coronavirus karena terpaksa harus keluar rumah. Ini jelas bolong besar dalam skenario pembatasan sosial yang dirancang pemerintah.