Willem Iskander, Pejuang Pendidikan yang Jadi Guru di Usia 15 Tahun

13 Februari 2019 17:35 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Willem Iskander, guru pribumi di abad 19. Foto: Dok. Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Willem Iskander, guru pribumi di abad 19. Foto: Dok. Kumparan
ADVERTISEMENT
Kekerasan pada guru oleh murid belakangan kerap terjadi di negeri ini. Apakah hal ini menandakan bahwa guru tak lagi diguguh dan ditiru seperti kata pepatah dulu?
ADVERTISEMENT
Padahal, apabila berkaca pada sejarah, kemerdekaan bangsa ini tak bisa dilepaskan dari peran vital seorang guru. Mereka yang rela dan tetap semangat untuk mencerdaskan rakyat meski di bawah bayang-bayang kolonialisme.
Bahkan, beberapa pejuang kemerdekaan juga berprofesi sebagai guru. Sebut saja, Ki Hajar Dewantara, Mohammad Natsir, hingga Buya Hamka.
Namun, sebelum nama-nama itu, ada satu nama dari Sumatera yang lebih dulu menjadi guru. Dia adalah Satie Nasution atau yang lebih dikenal sebagai Willem Iskander.
Menjadi Guru di Usia 15 Tahun
Willem lahir di Pidoli Lombang, Panyabungan, Sumatera Utara pada Maret 1840. Dia merupakan anak bangsawan, ayahnya bernama Raja Tinating merupakan penguasa daerah kelahirannya. Sementara ibunya, Si Anggur boru Lubis berasal dari Rao-rao.
ADVERTISEMENT
Menurut tarombo atau silsilah raja-raja Mandailing, Willem Iskander termasuk generasi XI marga Nasution Dia anak bungsu dari 4 bersaudara. Ketiga abangnya adalah Sutan Kumala, Sutan Soripada, dan Sutan Kasah.
Willem tergolong beruntung karena lahir dengan status anak bangsawan. Artinya, dia diizinkan untuk duduk di bangku pendidikan. Apalagi, di tempat tinggalnya, Panyabungan yang merupakan Asistensi Residensi Mandailing-Angkola, ada sebuah sekolah. Sekolah yang didirikan oleh Asisten Residensi Mandailing-Angkola Alexander Philifus Godon.
Pembangunan sekolah di Panyabungan merupakan penerapan dari surat keputusan Raja Belanda Gerrut Schimmelpenninck, 30 September 1848. Isinya, tentang penyediaan anggaran sebesar 25.000 gulden tiap tahun untuk calon pegawai pemerintah. Termasuk birokrat dan guru di Hindia-Belanda
“Penduduk pribumi yang bisa mengikuti sekolah ini hanya dari anak-anak golongan bangsawan dan anak-anak pejabat dan untuk rakyat biasa masih belum diperkenankan,” tulis Prof S Nasution dalam buku Sejarah Pendidikan Indonesia (1983).
ADVERTISEMENT
Willem pun masuk sekolah itu pada tahun 1853 di tingkat Sekolah Rendah Dua Tahun. Murid di sekolah itu tak banyak, hanya sekitar 8 orang.
Mandailing 1899. Foto: Dok. Wikimedia Commons
Sementara guru yang pertama kali mengajar di sana bernama Si Laut. Namun, tak sampai setahun mengajar, Si Laut meninggal dan digantikan oleh H Nawawi.
Setelah lulus, Willem pun langsung menjadi guru di sekolahnya pada 1855. Waktu itu, usianya baru 15 tahun. Pada saat yang sama, dia juga diangkat menjadi Juru Tulis Bumiputera (Adjunct Inlandsch Schrijfer) kantor Asisten Residen Mandailing Angkola di Panyabungan.
Dari pengalaman itulah, Willem mendapat pengetahuan tentang berbagai hal seperti etika, disiplin, administrasi, dan bahasa Belanda. Selain itu, dia juga mulai mendapatkan wawasan soal gerakan pembaharuan.
ADVERTISEMENT
Bagi Willem, menjadi seorang guru di masa kolonial bukan perkara mudah. Setiap gerak-geriknya diawasi oleh pemerintah.
Oleh karena itu, Willem sangat berhati-hati dan memilih mengikuti aturan untuk menyiapkan strategi. Baginya, yang terpenting saat itu adalah semakin banyak orang pribumi yang bisa mengenyam pendidikan.
“Willem Iskandar bukan saja memberikan pelajaran kepada murid-murid di kelas tetapi juga menyampaikan pelajaran secara teratur di halaman sekolah yang juga dihadiri oleh penduduk setempat,” tulis Basyral Hamidi Harahap dalam bukunya Peranan Willem Iskander dalam Pembaharuan (1986).
Sadar masih tetap diawasi, tak membuat Willem berdiam diri. Dia malah berkeliling ke rumah-rumah tokoh masyarakat untuk memberikan informasi soal etika, disiplin, dan berbagai hal positif lainnya. Dia pun kerap melibatkan murid-muridnya menjalani praktik mengajar di sekolah-sekolah non formal di penjuru kampung.
ADVERTISEMENT
Mengejar Ilmu hingga Belanda
Rasa haus Willem akan ilmu pengetahuan seakan tak pernah padam. Setelah lulus dari sekolah, meski sudah mendapat pekerjaan, ia mengajukan diri sebagai penerima beasiswa sekolah guru ke Belanda.
Godon pun dengan tangan terbuka menyetujui permohonan tersebut. Sebab, menurut Godon, Willem adalah cerminan guru modern yang bisa membuat pembaharuan di Mandailing.
Kesempatan yang diberikan Godon ke Willem ini dapat dikatakan penghargaan luar biasa bagi orang pribumi. Sebab sebelumnya, status pribumi dan orang Eropa bak bumi dan langit.
“Karena inlander atau pribumi adalah orang jajahan yang dianggap hina, kenyataan ini dapat memberi kesimpulan bahwa Willem Iskander adalah orang yang benar-benar luar biasa,” tulis Pangaduan Lubis dalam bukunya Lebih Jauh Tentang Willem Iskander dan Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk (2011).
Amsterdam abad ke-19. Foto: Dok. Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Willem dan Godon mulai berangkat dari Mandailing pada awal 1857. Mereka terlebih dahulu menuju wilayah Natal. Lalu, berlayar menuju Padang, Batavia, dan lanjut ke Belanda.
“Perjalanan dari Batavia memakan waktu berbulan-bulan. Karena itu dihadapi oleh Willem yang baru berusia 17 tahun, dapatlah kita bayangkan betapa luar biasa kuat jiwanya,” ujar Pangaduan.
Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya Willem dan Godon tiba di Amsterdam, September 1857. Dia pun memulai studinya di Vreeswijk sebagai langkah awal untuk melanjutkan di sekolah guru seperti yang direncanakan.
Hal pertama yang harus dipelajari Willem yakni gaya berpakaian orang Eropa. Termasuk memakai kaos kaki, jaket berbulu, dan sarung tangan.
Selanjutnya, dia juga belajar berinteraksi dengan orang Eropa. Karena semangat dan kemajuan yang ditunjukkannya, guru pertamanya Dapperen kemudian menyerahkan Willem ke pengajar lain yakni Groon van Printerer di Arnheim.
ADVERTISEMENT
Di sinilah nama Willem Iskander muncul pertama kali. Ia mengganti nama dari Satie Nasutioni lantaran harus menyesuaikan diri dengan kehidupan di sana.
Namun, ada pandangan lain dari pergantian nama ini. Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya ‘Tuanku Rao’ mengungkapkan, Raja Willem III-lah yang memberikan nama itu kepada Sati Nasution.
“Sebab, Raja Belanda tersebut sangat heran karena melihat seorang kulit hitam yang sangat lancar berbahasa Belanda dan menjadi bintang kelas pula,” tulis Mangaradja.
Raja Wilem III. Foto: Dok. Wikipedia
Pada 1859, Willem mendapatkan beasiswa secara penuh dari Raja Willem. Alhasil, dia bisa melanjutkan pendidikan di Oefenschool (sekolah guru) di Amsterdam di bawah pimpinan kepala sekolah Dirk Hekker.
Selain memperlajari mata kuliah pokok seperti, Bahasa, Fisika, dan Matematika, Willem juga mendapatkan pelajaran ekstrakurikuler sebagai bagian program pendidikannya. Beberapa kegiatannya antara lain mengunjungi berbagai museum, perpustakaan, membaca buku bacaan anak-anak, dan memperhatikan kemajuan kemajuan teknologi Eropa pada saat itu
ADVERTISEMENT
Lulus Jadi Guru, Sakit, dan Kembali ke Kampung Halaman
“Bulan Oktober 1860 Willem berhasil lulus dan memperoleh ijazah Guru Bantu (Hulponderwizer). Setelah mendapatkan ijazah Guru Bantu, dia masih berencana untuk melanjutkannnya ke jenjang Guru Kepala,” kata Ardi Ansyah dalam karyanya Willem Iskander Pelopor Pendidikan di Mandailing Sumatera Utara (2012).
Namun, rencana itu sirna. Willem terserang penyakit influenza dan paru-paru yang cukup parah. Setelah beberapa bulan sakit, dia harus menjalani operasi pengeluaran abses, April 1861 . Paru-paru Willem semakin terganggu dan ia begitu lemah saat itu.
Meski tetap belajar sebelum ujian naik tingkat, Pemerintah Belanda tak mau ambil risiko. Mereka kemudian mencabut beasiswa Willem yang membuatnya harus kembali ke Mandailing pada pertengahan tahun 1861.
ADVERTISEMENT
Dia dipulangkan menggunakan kapal Petronella Chatarina ditemani seorang dokter asal Belanda. Kepulangannya disambut meriah oleh warga Mandailing. Bagi rakyat Mandailing, kepulangan Willem yang membawa ijazah guru bertaraf Eropa menjadi suatu yang luar biasa.
“Ibarat maroban sulu di na galap, maroban tungkat di na landit (membawa cahaya dalam kegelapan, membawa tongkat di tempat yang licin,” tulis Pangaduan.
Rasa sakitnya seakan tak menjadi penghalang hasratnya untuk membangun pendidikan di Mandailing. Tak sampai satu bulan setelah tiba pada Desember 1861, Willem memutuskan untuk bertemu Gubernur Jenderal Sloet van den Boele di Batavia.
Gubernur Jenderal Sloet Van Den Boele. Foto: Dok. Wikipedia
Dia meminta izin untuk mendirikan sekolah guru di Mandailing. Keinginan Willem disambut baik oleh Sloet.
WIllem memilih Tano Bato sebagai lokasi didirikannya sekolah guru. Alasannya, memilih Tano Bato karena tempat itu merupakan tanah kelahirannya. Selain itu, udara di sana juga sangat sejuk.
ADVERTISEMENT
Sekolah yang dia bangun bersama masyarakat Mandailing itu sangat sederhana. Berdinding kayu dan atapnya dibuat dari daun rumbia.
“Sekolah ini merupakan sekolah guru kedua yang dibangun di Sumatera setelah yang pertama dibangun di Bukit Tinggi pada 1856,” ungkap Pangaduan.
Semakin hari, murid di sekolah itu semakin banyak. Mereka berasal dari kalangan non-bangsawan yang datang ke sekolah dengan pedati atau berjalan kaki.
Semangat Willem inilah yang kemudian membuatnya dikenal sebagai pelopor pembaharuan pendidikan di Sumatera.