Willy Soesanto Senior Software Engineer Google

Willy Soesanto, Pria Medan yang Jadi Senior Software Engineer di Google New York

13 Februari 2022 15:31 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bekerja di perusahaan teknologi sebesar Google memang bukan hal yang dibayangkan Willy Soesanto saat kecil. Siapa sangka, selepas lulus dari Institut Teknologi Bandung (ITB), pria 27 tahun asal Medan itu mendapat kesempatan bekerja untuk Google Singapore. Kini kariernya moncer sebagai senior software engineer di Google New York, kantor terbesar kedua setelah kantor pusatnya di Silicon Valley, California.
Willy saat ini ditempatkan di divisi Discover, di mana dia bertugas mengembalikan artikel-artikel ke aplikasi Google. Setiap hari, Willy dan timnya berdiskusi soal isu apa yang perlu dicari solusinya. Ia juga bersinggungan langsung dengan project manager dan stakeholder lain.
“Soalnya kadang kita perlu meeting yang nanyain, sebenarnya product managernya masih tertarik dengan produknya (fiturnya) enggak? Atau dari engineer-nya sendiri, masih masuk akal, enggak, sih, implementasinya? Ya memastikan semuanya oke,” ujar Willy saat dihubungi kumparan via telepon WhatsApp, pada Selasa (8/2).
Discover sendiri merupakan halaman Google yang menunjukkan konten-konten sesuai minat pengguna secara otomatis. Rekomendasi konten itu muncul berdasarkan aktivitas di web dan aplikasi Google. Melalui Discover, pengguna bisa membaca artikel atau menonton video yang cenderung mereka sukai.
Willy Soesanto, Senior Software Engineer Google. Foto: Dok. Pribadi
Willy bercerita, awal tahun merupakan waktu yang cukup sibuk. Sebab, dirinya bersama product manager dan director akan menyusun strategi tahunan. Dari sana mereka bakal memetakan target apa saja yang ingin dicapai pada akhir tahun nanti.
“Jadi awal-awal quarter kita bagi-bagi kerjaan, seiring waktunya, new hire hadapin problemnya, nanti kita diskusi, ngobrol sama stakeholder, gantiin requirement, pivot product-nya karena enggak feasible (bisa dilakukan),” imbuh Willy.
Karier Willy bisa terbilang cepat berkembang. Sebelum New York, pria berkacamata itu bekerja selama tiga tahun sejak 2016 di kantor Google Singapura sebagai fresh graduate software engineer. Di sana ia mengerjakan proyek bangun aplikasi Google Pay untuk India.
Ia lantas dipromosikan sebagai engineer biasa saat akan ke New York. Tahun 2021, Willy diangkat jadi senior di Google New York.

Berkali-kali Ditolak, Bukan Halangan

Logo Google di kantor Google, New York. Foto: Dok. Pribadi
Willy punya cerita seru di balik kariernya yang cemerlang itu. Semasa kuliah di jurusan Informatika ITB, dia sudah punya keinginan bekerja di luar negeri.
Ia sampai bergabung dengan program pelatihan yang dibentuk alumni olimpiade komputer Indonesia, yaitu Indo2SV (Indonesia to Silicon Valley), pada tahun ketiga kuliah. Tujuannya, mempersiapkan diri dengan lomba dan latihan soal agar resume bisa tembus untuk magang di perusahaan teknologi raksasa.
Ia pun memberanikan diri mendaftar magang di Google, Facebook, dan perusahaan lainnya. Bahkan, ia sudah melewati 4 kali wawancara dengan Google. Sayang, saat itu Willy tidak lolos. Dia mengaku sempat kecewa dan tidak percaya diri.
Namun, salah satu senior panutannya, Reinardus Surya Pradhitya, mampu mengubah pikirannya.
Sampai suatu ketika di tahun ke-4 kuliah, Willy mendapat email dari Google yang menyimpan datanya saat melamar magang dulu. Kali ini ia ditawari posisi pegawai tetap sebagai software engineer untuk kantor pusat Google di California.
Tawaran menarik itu malah membuat Willy galau. Pasalnya, ia belum selesai menggarap tugas akhir, sehingga tak memungkinkan untuk bekerja dalam waktu dekat.
“Ini skripsinya aja baru sampai bagian kata pengantar. Terus katanya ‘Oke, deh, saya pass (berikan) ke recruiter (negara) lain aja deh, kayaknya kita enggak bisa nunggu lama’,” kenangnya.
Hasilnya, Willy ‘ditarik’ oleh Google Singapura usai lulus kuliah. Namun, proses adaptasi saat bekerja di negeri orang tidaklah mudah. Willy harus berhadapan dengan budaya baru. Salah satunya, bekerja di Google menuntutnya harus cakap berbahasa Inggris.
Suasana lounge di Google New York. Foto: Dok. Pribadi
Selama di ITB, ia memang ‘terpapar’ bahasa Inggris lewat buku-buku akademik yang bisa dimengerti setelah dibaca berkali-kali. Tapi tak bisa demikian saat di Singapura.
“Kalau ngobrol kan mereka langsung ngobrol sekali, kalimatnya pendek, dan harus ngerti. Saya ingat waktu awal-awalnya, saya dengar 1 kalimat terus saya translate dulu kalimatnya, terus baru kayak udah translate, oh, dia mau bilang gitu, ya. Baru saya balas. Jadi ada delay-nya kayak 20 detik, baru balas,” kata pria penyuka board game ini.
Selain itu, Willy mengatakan lebih sulit bagi pekerja pendatang sepertinya saat mencari komunitas, dibandingkan dengan mereka yang lebih dulu tinggal atau bersekolah di luar negeri.
“Ada beberapa kali kayak hah kenapa, sih, mau nyusahin diri sendiri gitu. Kalau misalnya balik Indo, kan, udah ada temen jadi enggak begitu sendirian. Tapi ya bertahan, cari komunitas yang cocok, terus udah, deh, ada circle sendiri akhirnya,” ujar Willy.

Kultur Kerja di Google

Sebelum masuk ke Google, Willy sempat magang di dua tempat di Indonesia, yakni IBM dan startup cermati.com. Menurutnya ada beberapa perbedaan kultur kerja yang mencolok antara perusahaan tersebut dengan Google.
Cafetaria di Google, New York. Makanan juga disediakan dalam bentuk prasmanan. Foto: Dok. Pribadi
“Dulunya saya di startup di Indo, kan, lebih banyak tanggung jawabnya. Sementara Google itu perusahaan gede jadi ada dikasih tanggung jawab, tapi tanggung jawabnya enggak sebesar waktu di startup,” kata Willy.
Ia menambahkan, bekerja di Google memungkinkan dirinya untuk melihat masalah yang jauh lebih besar.
Contohnya, dia jadi memahami bahwa sebuah aplikasi tidak bisa selalu dibuat UI (user interface) update-nya setiap bulan, sebab ada banyak proses yang harus dilalui, termasuk soal kecocokan regulasi fitur dengan regulasi negara tertentu. Selain itu, pengguna jadi harus terus beradaptasi dengan fitur aplikasi jika terlalu sering update.
Pantry dengan aneka snack dan minuman di Google New York. Foto: Dok. Pribadi
Terkait peluang bekerja di Google AS, menurut Willy, perusahaan multinasional itu memang target pasarnya cenderung ke AS. Jadi, peluang bagi mereka yang tinggal atau bersekolah di AS lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tinggal di luar negeri.
“Biasanya mereka mau hire (rekrut) dari luar negeri, itu karena memang butuh banget,” ungkapnya.

Mimpi Besar

Willy Soesanto saat merayakan kelulusan dari Institut Teknologi Bandung tahun 2016. Foto: Dok. Pribadi
Willy Soesanto bukanlah berasal dari keluarga yang super kaya. Sejak masa sekolah, ia tekun mendalami dunia komputer hingga mampu bekerja di luar negeri dengan usaha kerasnya sendiri.
Ia pun mengaku bukan pemenang medali OSN, meskipun kerap ikut lomba komputer hingga tingkat provinsi. Karena tak pernah masuk tim pelatnas (pelatihan nasional) OSN (Olimpiade Sains Nasional) selama SMA, ia justru tertarik ikut kelas pelatnas yang diadakan di kampusnya.
Dari sanalah ia banyak belajar dan ditunjuk jadi tim pembuat soal. Willy juga belajar dari para senior yang lebih dulu magang di Silicon Valley untuk memperkaya ilmu.
Ia sudah terbiasa gagal dan bangkit lagi. Satu hal yang pasti, Willy yakin menekuni bidang informatika akan membuka kesempatan tinggal di luar negeri yang lebih besar. Sekarang, dia sudah membuktikannya.
Namun, ia menampik bahwa bekerja di perusahaan sebesar Google adalah pencapaian terbesar dalam hidup.
Oleh sebab itu, Willy pun lebih memilih untuk bangga atas kegigihannya mendorong diri sendiri agar terus maju.
Bicara soal masa depan, pria yang hobi nongkrong dengan teman-teman ini mengaku tertarik bekerja untuk departemen finansial.
Willy pun tak menolak jika nantinya dia dipanggil untuk bekerja di Indonesia. Ia bahkan tertarik membangun startup sendiri. Tapi, ada syaratnya.
“Saya tahu di Indonesia market-nya besar banget dan banyak hal yang masih bisa dilakukan. Sebenarnya enggak harus saya yang jadi founder-nya, sih. Tapi kalau ada perusahaan yang cukup menarik dan ingin saya bergabung, saya juga enggak keberatan. Tapi produknya harus yang bikin saya kayak ‘wow’ gitu dan unik,” katanya.
Saat ditanya soal pertimbangan gaji, menurut Willy, “Iya, soalnya punya banyak duit memang lebih oke, kan. Tapi kadang harus mikirin, apa, sih, yang mau kita lakukan di hidup? Saya bisa bilang, saya ingin di waktu saya tidak terlalu mengejar duit lagi di kemudian harinya, saya bisa lebih fokus ke apa yang mau saya kerjakan. Saat ini saya masih balance out dua hal tersebut. Saya belum di tahap atau umur yang menurut saya enggak mikirin duit lagi gitu.”
Hubungi Willy via Instagram: @willysoesanto_
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten