Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Perayaan Hari Raya Imlek di China selalu semarak. Dekorasi dengan warna kuning dan merah mendominasi jalanan. Warga memadati taman dan tempat umum untuk mencari makan bersama keluarga. Tapi semarak Imlek 2020 seolah lenyap karena wabah virus corona .
ADVERTISEMENT
Suasana ini terlihat di Guangzhou , provinsi Guangdong. Sebanyak 311 warga Guangdong terjangkit virus corona. Terbanyak setelah Hubei dan Zhejiang. Belum ada laporan jumlah korban yang meninggal dari Guangdong.
Seorang WNI yang sudah tinggal di Guangzhou selama 16 tahun, Sarah Hendrapraja, mengatakan kondisi Kota Guangzhou sangat sepi. Warga banyak yang mengisolasi diri di rumah. Pemerintah juga melarang warga mendekati tempat keramaian.
“Saat ini Guangzhou is empty, dalam 200 meter misalnya, hanya ada 5 orang di jalan,” ungkap perempuan berusia 33 tahun ini kepada kumparan, Kamis (30/1).
Sudah menjadi tradisi, ungkap Sarah, bank dan kantor pemerintahan tutup saat libur Imlek. Untuk tahun ini, penutupan aktivitas layanan dijadwalkan sampai 31 Januari 2020. Namun karena wabah virus corona, penutupan diperpanjang hingga 3 Februari.
ADVERTISEMENT
“Jadi bank juga tutup sampai 3 Februari. Tapi transportasi publik masih digunakan, tapi diimbau selalu pakai masker,” ucap Sarah.
Selain itu, sejumlah supermarket, pasar tradisional, dan restoran masih tetap buka, ungkap Sarah. Memang, selama libur Imlek, banyak restoran yang tutup karena pemilik tidak mau membayar lebih kepada karyawan.
“Pasokan logistik, yes, I think it is enough for my city (cukup untuk Guangzhou). Tidak seperti di Wuhan yang merupakan area industri dan ditutup aksesnya,” tambah Sarah.
Menurut pengakuan Sarah, pemerintah Kota Guangzhou sangat membantu warganya dalam memberikan informasi soal corona. Ia menilai pemerintah sangat transparan dalam mengumumkan jumlah korban. Setiap hari, warga mendapatkan pesan broadcast soal virus corona dan apa yang harus dilakukan.
ADVERTISEMENT
“Head of area juga door-to-door ke warga. Pihak keamanan apartemen juga sering WeChat pribadi ke penghuni,” ungkapnya.
Meski begitu, pemerintah menutup akses jaringan ke pemberitaan media internasional sejak 27 Januari. Bahkan portal berita tetap tidak bisa dibuka walau menggunakan VPN.
Meski tinggal di kota terbanyak ketiga penderita virus, Sarah belum memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Perempuan asal Jakarta ini bersedia dievakuasi apabila pihak konsulat memerintahkannya. Dari informasi yang diterima, WNI sudah diperingatkan untuk siaga.
“Saya akan tetap di sini (Guangzhou). Saya baru mau terbang ke Singapura pada 2 Februari untuk bertemu dengan orang tua dan cek kesehatan,” tambah Sarah.
Sejauh ini, Sarah rutin minum air hangat atau teh, mengonsumsi vitamin C, zat besi, dan obat penambah darah untuk mencegah terjangkit virus corona.
ADVERTISEMENT
Ia juga kerap membersihkan hidung dengan alat khusus dan menggunakan obat tetes mata agar tidak kering. Tak lupa, ia mengenakan masker ketika bepergian.
Sarah mulai tinggal di Guangzhou sejak kuliah kedokteran di Jinan University pada 2004. Setelah lulus pada 2010, ia menjadi dokter di salah satu RS di Guangzhou.
Ia meninggalkan profesi dokternya pada 2012 dan pindah ke industri manufaktur. Hingga kini ia tinggal sendiri di Guangzhou, sementara keluarganya di Jakarta.
Kini, ia menjabat sebagai Executives Strategic Officer DOPACC Petrochemical China, perusahaan yang bergerak di penyaluran kemasan obat.
Ia melihat warga Guangzhou optimistis bisa lepas dari wabah virus corona . Ia mengapresiasi para dokter yang berjuang mengatasi virus ganas ini.
ADVERTISEMENT
“Kemarin sempat viral video dokter marah-marah, minta dipulangkan. Kalau sebenarnya mengerti Bahasa Mandarin, mereka itu minta pulang karena pemerintah itu belum siapin alat-alat. Bukan karena menyerah,” pungkas Sarah.